Wednesday, November 5, 2025

Subjektivitas Barat: Subjek Kosong

 


Kata subjek kosong lahir dalam Simposium Nasional Filsafat Nusantara yang diselenggarakan Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Selasa 28 Oktober 2025. Sejak itu, untuk  pertama kali kata ini dicetuskan Romo A. Setyo Wibowo, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Satu klaim subjektivitas yang diberikan untuk filsafat Timur dan Nusantara pada khususnya. Namun benarkah demikian? Mari telaah injil filsafat Barat yang sejenak bagai kitab suci pengetahuan di ruang-ruang kelas. 

Dalam jagat pemikiran modern, kita sering dijunjung tinggi pada altar rasionalitas dan bukti empiris. Barat, sebagai episentrum kelahiran banyak paradigma keilmuan, telah menawarkan sebuah lensa untuk memahami realitas—sebuah lensa yang diklaim objektif dan universal. Namun, di balik klaim-klaim kebenaran itu, tersembunyi sebuah pertanyaan yang sering diabaikan: di manakah posisi "Sang Aku"—subjek yang sadar dan hidup—dalam seluruh bangunan pengetahuan ini? Keresahan ini mengelitik naluri kemanusiaan saya, untuk sejenak berefleksi kritis terhadap cara pandang Barat yang kerap meminggirkan subjektivitas yang utuh, dan menggantikannya dengan fungsi-fungsi mekanistis.

Rasio dan Empirisme: Dua Tiran yang Mengklaim Kebenaran

Subjektivitas Barat yang lahir dari rahim Renaisans dan atau Pencerahan (Enlightenment) erat bersekutu dengan rasionalitas. Suatu momen kelahiran kembali sebagai tanda corak kefilsafatan yang dulu dibangun Socrates, Platon dan Aristoteles, menjadikan manusia sebagai objek penelitian - sebutan yang kita kenal, Antroposentrisme. Segala sesuatu harus dibuktikan, dipecah, dan dianalisis. Fenomena yang ditangkap indra tidak diterima begitu saja, melainkan harus melalui pengadilan rasio untuk mendapat justifikasi. Proses ini, meski melahirkan kemajuan sains dan teknologi, sering kali berubah menjadi semacam "pemujaan pada pembuktian".

Kita melihat bagaimana seluruh anatomi manusia—baik fisik maupun mental—diurai menjadi bagian-bagian kecil: neuron, sinapsis, stimulus-respon. Dalam proses reduksionistik ini, "aku" yang menyeluruh justru tersisihkan. Aku tak lebih dari sekumpulan proses biokimia, sebuah mesin kognitif yang kompleks. Yang tersisa bukan lagi subjek yang hidup, melainkan sebuah model teoretis yang kering.

Subjektivitas Barat, atas klaim pembuktian, memenjarakan aku (Ego: dalam sebutan Jerman) dalam universalitas. Subjek harus berpikir, subjek harus melihat — antara berpikir dan melihat, siapa yang dahulu ada, dan siapa yang lebih dipercaya?

Di sini kita dihadapkan pada sebuah paradoks: kita menggunakan rasio untuk memahami rasio, menggunakan indra untuk memverifikasi indra. Sebuah lingkaran yang seolah-olah tak berujung.

Subjek Kosong: Aku yang Hilang dalam Pusaran Ideologi

Dalam upaya membangun kebenaran universal, kaum-kaum dengan ideologi tertentu—entah itu saintisme, kapitalisme, atau positivisme—tampil dengan dalil-dalil pembuktian mereka masing-masing. Mereka berdebat, berpolemik, dan saling menyangkal, namun sering kali melupakan satu hal: ada "subjek yang sunyi" yang menjadi fondasi dari segala pengalaman.

Subjek yang sunyi ini adalah kesadaran murni yang hadir sebelum kata, sebelum konsep, sebelum analisis. Ia adalah "aku" yang mengamati, merasakan, dan mengalami—bukan sekadar produk dari otak atau indra. Ketika otak dengan seluruh neuronya bekerja, atau ketika indra menangkap realitas, siapakah yang menyaksikan semua proses itu? Siapakah yang memberi makna pada semua data mentah tersebut?

Dapatkah rasio dan indra mempunyai substansi hanya karena hal sepelenya yaitu fenomena objek yang berdiri seperti safana? Sejauh sejarah filsafat Barat berbicara tentang subjek, sejauh itu mereka berbicara tentang subjek yang kosong.

Pertanyaan-pertanyaan ini menyentuh lubang hitam dalam pemikiran Barat: pengabaian terhadap kesadaran sebagai fenomena primer.

Kematian dan Titik Nol: Makna yang Sirna

Mari sejenak kita merenungkan kematian. Saat seorang lelaki yang berusia hampir 90 tahun meninggal, dalam sekejap ia berubah dari subjek yang berkuasa menjadi "yang tiada". Rasio yang dahulu merancang strategi, indra yang menikmati kemewahan, serta ego yang membangun identitas—semuanya lenyap. Apa yang tersisa?

Kematian mengingatkan kita bahwa semua klaim kebenaran, semua pembuktian empiris, pada akhirnya bermuara pada ketiadaan. Namun, justru dalam kesadaran akan kematian inilah "aku" yang sejati sering kali paling terasa. Aku yang menyadari keterbatasan, aku yang mempertanyakan makna, aku yang merasakan kehadirannya justru ketika ia diambang ketiadaan.

Kita sering terjebak dalam paradoks verbal seperti "mana yang lebih dahulu: telur atau ayam?"—lalu berdebat tanpa ujung. Kita lupa bahwa pertanyaan itu sendiri hanya bermakna dalam kesadaran subjek yang mempertanyakannya.

Mencari Aku yang Hilang: Sebuah Proyek Kembali ke Kesadaran

Lalu, ke manakah kita harus berjalan? Jika subjektivitas Barat telah membawa kita pada keterasingan dari diri sendiri, mungkin inilah saatnya untuk mencari jalan pulang—kembali kepada "aku" yang sadar. Aku bukanlah puzle yang tersusun dari kepingan neuron atau data indrawi. Aku adalah pusat pengalaman yang memberi makna pada semua itu. Otak dan indra adalah alat, bukan sang diri. Mereka seperti perahu yang membawa kita mengarungi lautan realitas, tetapi bukan nahkoda yang menentukan arah.

Universalitas, rasionalitas, idealisme, adalah bagian-bagian yang berkelana dalam ruang hampa, seakan-akan masih mencari aku yang tersembunyi dalam diksi, linguistik, dan segala cerca epistemik Barat.

Kita perlu mengingat kembali bahwa sebelum ada konsep, sebelum ada bahasa, sebelum ada pembuktian—ada kesadaran. Dan dari sanalah segalanya bermula.

Tentu, ini bukanlah seruan untuk menolak sains atau rasionalitas. Mereka adalah alat yang sangat berharga. Namun, kita perlu menyadari batas-batasnya. Ketika rasio dan empiri berusaha menjawab segalanya, mereka justru mengkhianati hakikatnya sendiri. Mungkin tugas kita sekarang adalah merajut kembali subjektivitas yang utuh: sebuah cara berada di dunia yang tidak hanya berpikir, tetapi juga merasakan; tidak hanya membuktikan, tetapi juga mengalami; tidak hanya menganalisis, tetapi juga menghayati.

Hanya dengan begitu, "aku" tidak lagi menjadi tawanan dalam sangkar rasio, tetapi menjadi subjek yang merdeka—yang hadir sepenuhnya dalam realitas, dengan segala misteri dan maknanya.

Saat Kritik ini ditulis, saya sementara mengetik sambil melebarkan pintu, sembari meletakan undangan di atas alas kaki. Masuklah. 



No comments:

Post a Comment