Monday, November 17, 2025

PROMETHEUS MODERN: ETIKA DAN SAINS DALAM FILM FRANKENSTEIN 2025

 

Frankenstein adalah film fiksi ilmiah gotik Amerika Serikat tahun 2025 yang ditulis dan disutradarai oleh maestro visual, Guillermo del Toro. Film ini merupakan adaptasi dari novel legendaris karya Mary Shelley yang terbit pada 1818. Diproduksi dan  dirilis secara global oleh Netflix, film ini menghadirkan deretan bintang papan atas seperti Oscar Isaac sebagai Victor Frankenstein, Jacob Elordi sebagai Sang Makhluk, dengan didukung oleh Mia Goth, Christoph Waltz, dan Charles Dance. Kisah abadi tentang ilmuwan yang menantikan kodrat ilahi dengan menciptakan kehidupan ini kembali dihidupkan dengan visi gelap dan puitis khas del Toro.

Bayangkan sebuah laboratorium yang dipenuhi mesin uap dan kilatan listrik. Dari rakitan tubuh yang tak sempurna, terlahir sebuah kesadaran. Jacob Elordi, dengan raga menjulang dan sorot mata yang memancarkan luka sekaligus kepolosan, membangunkan kita pada sebuah realitas: monster yang sesungguhnya dalam Frankenstein bukanlah yang bangkit dari meja operasi, melainkan yang berdiri di depannya. Oscar Isaac, sebagai Victor Frankenstein, memerankan dengan sempurna sosok "monster" yang justru berwajah manusia—seorang jenius yang hancur oleh keangkuhan dan lari dari tanggung jawabnya sendiri. Film ini dengan genius membalikkan narasi, menjadikan sang ciptaan sebagai cermin yang paling jernih untuk melihat kegagalan sang pencipta.

MONSTER BERNAMA VICTOR - WAJAH KEANGKUHAN SAINS


Dalam adegan awal diceritakan, Victor Frankenstein (Oscar Isaac) tidak hadir sebagai karikatur ilmuwan gila yang umum. Sebaliknya, ia adalah sebuah produk tragis dari keinginan manusiawi: keinginan untuk melampaui kodrat dan mengatasi duka. Namun, dari sanalah monster pertama dalam kisah ini lahir—sebuah monster yang bernama keangkuhan sains.

Akar tragedi Victor dapat ditelusuri dari dinamika keluarganya. Di bawah bayang-bayang sang ayah, Leopold (Charles Dance), seorang dokter terkemuka yang menindas, dan didanai oleh pamannya, Heinrich Harlander (Christoph Waltz) yang ambisius, Victor tumbuh dengan beban untuk menjadi sesuatu. Kematian ibunya saat melahirkan menjadi luka psikologis yang menyuburkan obsesinya untuk menaklukkan maut. Ambisinya bukan lagi murni pencarian ilmiah, melainkan sebuah pemberontakan Prometheus untuk merebut wewenang ilahi—api kehidupan—dari tangan para dewa.

Keberhasilannya menghidupkan Sang Makhluk dari rakitan daging daur ulang, tubuh-tubuh mayat yang dijumpai dalam peperangan, menjadi puncak kemenangan manusia atas kematian. Namun, momen itu justru menjadi cermin yang memantulkan kegagalan moral Victor. Ketika mata Jacob Elordi sebagai Sang Makhluk pertama kali terbuka, yang muncul di wajah Viktor bukanlah kekaguman, melainkan kengerian dan rasa jijik yang mendalam. Reaksinya bukanlah merangkul ciptaannya, tetapi melarikan diri.

Tindakan pelarian inilah yang merupakan dosa terbesarnya, tindakan yang mengubahnya dari seorang jenius yang disegani menjadi monster yang sebenarnya. Ia adalah seorang pencipta yang menolak untuk menjadi pemelihara. Ia adalah seorang orang tua yang mengabaikan anaknya di saat paling rentan. Keangkuhan sainsnya, yang tanpa diimbangi tanggung jawab etis, melahirkan sebuah monster baru: monster pengabaian. Dan seperti semua monster sejati, monster ini tidak memiliki wujud jahitan dan baut, melainkan bersembunyi di balik wajah manusia bernama Victor Frankenstein, siap menghancurkan segala yang seharusnya ia lindungi.

CIPTAAN YANG MANUSIAWI - WAJAH KORBAN YANG DISALAHKAN


Jika Victor adalah personifikasi dari keangkuhan yang membusukkan, maka Sang Makhluk—diperankan dengan kedalaman yang menyentuh oleh Jacob Elordi—adalah perwujudan dari korban yang terusir. Dalam film ini, del Toro dengan cermat membongkar stereotip monster dengan menghadirkan sebuah karakter yang justru lebih manusiawi daripada kebanyakan manusia di sekitarnya. Perjalanannya adalah sebuah epos tragis tentang pencarian akan identitas, komunitas, dan kasih sayang di dunia yang menolaknya sejak napas pertamanya.

Ditinggalkan begitu saja oleh sang pencipta, makhluk tanpa nama ini memasuki dunia dalam keadaan polos, bagaikan anak bayi dalam raksasa yang kekar. Ia dipaksa untuk belajar segala sesuatu tentang dunia dari nol, melalui panca indra yang baru pertama kali digunakannya. Adegan-adegannya bersama Blind Man (David Bradley), seorang tua buta yang menghabiskan hidup ditengah hutan, menjadi titik terang dalam kesendiriannya; di sanalah, untuk pertama kalinya, ia mengalami belas kasih dan diajari tentang keindahan bahasa serta musik. Segmen ini dengan jelas membuktikan bahwa kapasitas untuk kebaikan, keinginan untuk belajar, dan kerinduan untuk terhubung telah ada dalam dirinya sejak awal. Ia bukanlah iblis yang lahir dari laboratorium, melainkan sebuah jiwa yang suci yang terperangkap dalam tubuh yang dianggap mengerikan. Satu etika humanis berharga yang del Toro sematkan dalam alur film ini adalah bagaiaman sang Makhluk belajar dari sosok buta, atau bagaimana sang buta – yang tidak melihat dunia – mendidik makhluk yang melihat dunia dalam keterlemparannya. 

Dunia tidak pernah memberinya kesempatan. Setiap upaya tulusnya untuk mendekati kemanusiaan—setiap isyarat kebaikan, setiap ekspresi kerinduannya—berakhir dengan teriakan ketakutan, tembakan yang mengguyur tubuh, dan kekerasan. Kekejaman yang akhirnya melekat pada dirinya bukanlah sifat bawaan, melainkan akumulasi dari setiap luka dan penolakan yang dipaksakan oleh dunia kepadanya. Dalam narasi del Toro, menjadi jelas: monster tidak dilahirkan, tetapi dibentuk. Dan pembentuk utamanya adalah sang pencipta sendiri, Victor, yang dengan pengabaian awalnya telah melemparkannya ke dalam lingkaran setan penolakan ini. 

Permintaannya yang mengharapkan dan penuh keputusasaan kepada Victor untuk menciptakan seorang pendamping adalah klimaks dari pencariannya akan pengakuan. Permintaan itu adalah permintaan yang paling manusiawi: untuk tidak lagi sendiri, untuk memiliki hubungan, untuk dicintai. Penolakan Victor untuk yang kedua kalinya—sebuah pengkhianatan yang bahkan lebih kejam daripada pengabaian pertamanya—adalah pukulan final. Penolakan ini membuktikan dengan tragis bahwa di mata penciptanya, ia memang pada dasarnya tak layak untuk dicintai, dan dengan demikian, secara permanen mengukuhkannya dalam takdir sebagai "monster" yang selama ini telah dipaksakan kepadanya.

Kisah-kisah kematian sang makhluk secara berulang dalam percobaan bunuh diri dan atau serangan pembunuhan adalah sebuah protes atas Viktor, dan personifikasi wajah sains modern. Bahwa kematian tidak membunuh sains, tetapi kematian pada akhirnya merengut manusia sang pencipta.  Pada adegan akhir, Viktor menghembuskan nafas terakhir ketika ia menyebut sang makhluk sebagai “anakku” dan mendapat ciuman hangat dari ciptaannya. Sebuah kesadaran yang terlambat, kesadaran sementara, yang pada akhirnya menyisakan "sadar yang berkelana" dan akan terus dicari manusia -  dialah sains. 

PERTUKARAN PERAN DAN CERMIN BAGI KEMANUSIAAN KITA


Dua narasi yang berjalan paralel—kejatuhan Victor dan kebangkitan Sang Makhluk—pada akhirnya bertemu dalam sebuah kebenaran yang tak terelakkan: film ini dengan genius melakukan pembalikan peran yang sempurna. Guillermo del Toro bukan sekadar menceritakan ulang mitos Frankenstein; ia membongkar dan merekonstruksinya untuk kita renungkan di era modern ini.

Victor Frankenstein, dengan jas laboratoriumnya yang rapih dan intelektualitasnya yang tinggi, justru menjelma menjadi monster yang sesungguhnya. Monsternya bukanlah berupa fisik yang mengerikan, melainkan wujud abstrak yang jauh lebih berbahaya: monster keangkuhan intelektual, pengabaian tanggung jawab, dan kehancuran moral. Tindakannya-lah yang bersifat destruktif, egois, dan secara sistematis merusak segala yang disentuhnya. Sebaliknya, Sang Makhluk, dengan tubuhnya yang penuh jahitan dan penampilan yang menakutkan, justru menjadi pembawa obor kemanusiaan yang paling hakiki. Ia adalah perwujudan dari kerinduan untuk belajar, kapasitas untuk mencintai, dan kebutuhan untuk memiliki tempat (bagian dari suatu komunitas).

Pertentangan mendasar dalam film ini pun bergeser. Ini bukan lagi sekadar konflik antara manusia yang beradab dan monster yang buas, melainkan pertarungan antara Pengabaian versus Kebutuhan untuk Dicintai. Victor mewakili sisi gelap penciptaan—sebuah tindakan yang berhenti pada kesombongan dan menolak segala konsekuensi. Sementara makhluk ciptaannya mewakili korban dari sisi gelap itu—sebuah kehidupan yang menuntut untuk diakui, dipahami, dan dianggap bernilai.

Melalui visual gotik-industrialnya yang memukau, penuh dengan mesin uap, bayangan, dan arsitektur yang megah sekaligus menindas, del Toro membangun sebuah metafora raksasa bagi jiwa-jiwa yang retak dan hubungan yang rusak. Dunia dalam film ini adalah cermin dari kondisi batin para karakternya: dingin, mekanistis, dan kekurangan kehangatan manusiawi yang esensial. Film ini, pada akhirnya, adalah sebuah cermin yang ditunjukkan langsung kepada kita, penontonnya. Di sebuah dunia yang semakin maju secara teknologi namun sering kali kehilangan empati, Frankenstein del Toro menggugah kita untuk bertanya: Dalam upaya kita mencipta—baik itu teknologi, institusi, maupun hubungan—apakah kita bertindak sebagai Victor yang angkuh, ataukah kita memilih untuk mengakui tanggung jawab dan kemanusiaan dalam setiap "ciptaan" dan "yang lain" yang kita temui?

SIAPA MONSTER YANG SEBENARNYA?


Pada akhirnya, Frankenstein karya Guillermo del Toro berdiri bukan hanya sebagai sebuah mahakarya sinematik, tetapi sebagai pertanyaan filosofis yang menggema kuat dan relevan sepanjang zaman. Film ini berhasil melampaui adaptasi biasa dengan melakukan pembedahan yang tajam terhadap jiwa dari novel Mary Shelley, menghadirkan kembali kisah klasik ini sebagai sebuah tragedi modern tentang penciptaan dan pengabaian.

Melalui penokohan Victor Frankenstein, kita disadarkan bahwa monster paling berbahaya tidak selalu yang paling terlihat. Monster itu bisa bersembunyi di balik wajah seorang jenius, dalam keangkuhan sains yang buta terhadap etika, dan dalam ketakutan untuk bertanggung jawab atas ciptaan sendiri. Sebaliknya, melalui penggambaran Sang Makhluk, kita diingatkan bahwa kemanusiaan sejati terletak pada kapasitas untuk merasa, belajar, dan mencintai—bukan pada kesempurnaan wujud fisik.

Frankenstein versi del Toro ini dengan demikian berhasil menjadi lebih dari sekadar kisah horor. Ia adalah sebuah alegori yang dalam tentang tanggung jawab—baik dalam sains, seni, maupun relasi insani. Film ini menegaskan bahwa setiap penciptaan membawa serta konsekuensi, dan setiap kehidupan membawa harga diri yang harus diakui.

Kita bisa merenungkan: monster sejati dalam Frankenstein bukanlah makhluk yang diciptakan di laboratorium, melainkan kemanusiaan yang hilang dalam diri sang pencipta. Dalam dunia kita yang semakin kompleks dan penuh dengan "penciptaan" baru—mulai dari kecerdasan buatan hingga rekayasa genetika—kisah Victor dan makhluknya menjadi peringatan abadi: keagungan sejati bukan terletak pada kemampuan kita mencipta, tetapi pada keberanian kita merawat, memahami, dan bertanggung jawab atas segala yang kita hadirkan ke dunia.

Demikianlah Frankenstein tidak hanya menghantui kita dengan gambaran monsternya, tetapi justru dengan kebenaran yang diungkapkannya tentang diri kita sendiri—sebuah pencerminan yang akan terus relevan selama manusia masih memiliki kemampuan, dan godaan, untuk bermain menjadi Tuhan.


No comments:

Post a Comment