Apa yang terjadi ketika kita mati? Apakah kematian adalah akhir segalanya, atau justru pintu menuju sesuatu yang lain? Filsuf Yunani kuno, Epikuros, menawarkan sebuah pandangan yang menenangkan: "Kematian bukanlah sesuatu yang buruk bagi kita." Alasannya sederhana: selama kita masih ada, kematian belum datang; dan ketika kematian tiba, kita sudah tidak ada lagi untuk merasakannya. Kematian adalah ketiadaan rasa dan nilai—ia netral.
Namun, iman Kristen membawa narasi yang tampaknya bertolak belakang: kematian Yesus di kayu salib—sebuah kematian yang penuh penderitaan dan secara kasat mata terlihat sebagai tragedi tertinggi. Di sinilah kita menemukan paradoks yang menarik. Jika kematian itu netral, mengapa kematian Yesus terasa begitu bermakna dan buruk secara moral?
Jawabannya terletak pada "sebab" di balik kematian-Nya. Nilai buruk itu melekat pada ketidakadilan, pengkhianatan, dan kebencian yang menyebabkannya—bukan pada kematian sebagai akhir biologis. Kematian justru menjadi tempat penyelesaian. Ia mengakhiri rangkaian keburukan itu dan menyerapnya ke dalam ketiadaan. Dalam arti ini, kematian Yesus sejalan dengan logika Epikuros: kematian pada dirinya sendiri bukanlah hal yang buruk.
Walau sejalan, Kekristenan tidak berhenti di sana. Kebangkitan Yesus adalah babak berikutnya yang membalikkan seluruh narasi. Jika kematian adalah ketiadaan nilai, maka kebangkitan adalah "penghidupan kembali" nilai-nilai itu. Kasih, pengorbanan, dan kebaikan yang Yesus tinggalkan tidak hilang ditelan ketiadaan. Justru, melalui kebangkitan, nilai-nilai itu diteguhkan dan dilanjutkan dalam sebuah realitas yang baru.
Kematian Yesus mengosongkan kematian dari "keburukannya," dan kebangkitan-Nya mengisinya kembali dengan makna dan harapan yang baru.
Di sini, kita memahami kematian sebagai sebuah jeda. Dalam kematian Yesus, segala nilai—baik kebaikan maupun keburukan—mengalami jeda. Kematian menghentikan sementara segala klaim moral manusia atas diri-Nya. Nilai-nilai itu tidak ikut mati, melainkan dibekukan dalam ruang ketiadaan. Namun, jeda bukanlah penghapusan. Kebangkitan adalah kepastian bahwa nilai-nilai sejati akan mengalami re-konfirmasi dan keberlanjutan.
Dalam hidup kita pun, nilai-nilai yang kita perjuangkan seringkali mengalami "jeda". Kebaikan kita disalahpahami, kebenaran kita diabaikan, seolah hilang dalam belantara kehidupan yang bebas menginterpretasi. Namun, melalui kebangkitan Yesus, kita diingatkan: setiap jeda akan ada kelanjutannya.
Kematian, dalam terang ini, berfungsi sebagai ruang netral. Seperti denyut nadi, nilai-nilai dalam hidup kita berdenyut—kadang kuat, kadang lemah—namun kematian akan menetralkan semuanya, menyiapkan ruang untuk penilaian yang sesungguhnya. Salib Yesus menjadi simbol pertemuan antara waktu horisontal—sejarah manusia dengan segala tafsirnya—dan waktu vertikal—keabadian Allah yang melampaui pemahaman kita.
Oleh karena itu, bagi orang Kristen, Salib bukanlah simbol kekalahan, melainkan kemenangan atas kematian. Kita diajak untuk melihat kematian bukan sebagai momok, tetapi sebagai peralihan. Seperti Yesus, kita pun diundang untuk melampaui "kebahagiaan kematian" ala Epikuros—yang hanya melihat kematian sebagai ketenangan—menuju sukacita yang lebih besar: bahwa dalam kematian bersama Kristus, nilai-nilai hidup kita tidak akan hilang, tetapi akan dipulihkan dan disempurnakan dalam kehidupan yang kekal.
Kematian bukanlah akhir segalanya. Ia hanyalah jeda dalam sebuah simfoni abadi—sebuah pause sebelum meledak dalam kidung kebangkitan yang tak berkesudahan.
Penantian kita bukan sekadar pada penyempurnaan nilai-nilai hidup di kehidupan kekal dalam narasi teologis yang sering kita dengar. Yang lebih hakiki adalah memahami bahwa kematian memiliki waktunya sendiri—bukan dalam kerangka temporal kita, melainkan sebagai sebuah horizon eksistensial yang pasti. Kapan dan seperti apa kematian itu hadir bukanlah soal waktu, melainkan soal kepenuhan.
Oleh sebab itu, sejauh ketiadaan akan tiba dan pembekuan nilai-nilai kita terjadi, justru di situlah letak janji keberlanjutannya. Kematian bukan akhir cerita; ia adalah awal bagi kehidupan yang terus berjalan dalam cara yang lain. Dalam "jeda" kematian itulah, nilai-nilai yang kita hidupi justru mengalami proses konfirmasi bersama kehidupan. Ia dibiarkan bebas ditafsir, diperdebatkan, dan dihidupi dalam ingatan dan warisan yang kita tinggalkan. Kematian, dengan demikian, bukanlah penghapus makna, melainkan ruang di mana makna ditempa dan dikonfirmasi ulang—sebelum akhirnya dibangkitkan dalam bentuknya yang sepenuhnya baru.
Kita boleh tenang. Sebab, kematian adalah jeda yang netral, dan kebangkitan adalah konfirmasi abadi bahwa tidak satu pun nilai sejati yang akan hilang dalam sunyi.

No comments:
Post a Comment