![]() |
| Gambar: Tifa di dalam Suhato |
Membaca Tifa dalam konteks ini secara spesifik saya buat dengan menganalisis kegunaannya pada masyarakat Negeri Hatu, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah. Dalam kesadaran penuh, saya membatasi jari-jari dan kuasa berpikir untuk menyebutkannya secara umum dalam konteks Maluku. Namun jika kemudian rasa yang diakibatkan atas bacaan ini “sama”, hendaklah penuhi tuntutan membaca tifa secara universal-yet-lokal. Saya menyukai sastra, dalam bacaan ini akan sangat sarat, maka permintaan maaf menjadi pendahuluan yang terlebih dahulu – paling tidak, ia, sastra, tidak membunuh intinya.
Bayangkan Anda mengikuti tarian Maku-Maku, Cakalele dan atau yang lainnya dengan diiringi tifa. Coba sejenak, nikmati dalam sadar yang jauh—bukan sebagai penonton, atau penari, tetapi sebagai bagian dari gelombang gerak itu sendiri. Rasakan bagaimana hentakan kaki Anda bukan lagi perintah dari pikiran, melainkan sebuah jawaban otomatis terhadap panggilan yang lebih dalam. Panggilan itu datang dari sebuah dentuman yang merambat melalui tanah, menggetarkan telapak kaki, naik ke betis, dan akhirnya menyatu dengan degup jantung sendiri.
Dalam keadaan separuh khayal itu, batas antara diri dan bunyi menjadi kabur. Anda tidak lagi mendengar Tifa; Anda menjadi perpanjangan dari nadanya. Setiap kibasan parang, setiap lirikan mata yang berapi-api, adalah bentuk lain dari getaran yang dilepaskan oleh sepotong kayu dan kulit yang dipukul oleh tangan yang penuh wibawa. Ia adalah arsitek yang tak terlihat, mengukir semangat, amarah, dan kebanggaan langsung ke dalam ruang dan tubuh.
Pengalaman inilah yang menjadi kunci untuk membongkar makna sejati dari Tifa. Ia mengajarkan bahwa yang kita hadapi bukanlah alat musik, melainkan sebuah jiwa yang dibunyikan.
MEMBACA BUNYI YANG HIDUP
Untuk memahami bagaimana sebuah bunyi bisa berubah menjadi pengalaman yang begitu menghanyutkan dan personal, kita membutuhkan sebuah lensa penafsiran—sebuah hermeneutika. Pendekatan ini mengajak kita untuk membaca Tifa layaknya sebuah teks suci yang hidup, di mana setiap bagiannya menyimpan lapisan makna yang dalam.
- Kulit yang Ditegangkan bukan hanya membran untuk menghasilkan bunyi, melainkan selaput yang menahan ingatan dan emosi kolektif.
- Tubuh Kayunya bukan hanya wadah, tetapi badan yang menjadi rumah bagi roh yang akan dihidupkan.
- Ritme yang Berulang bukan sekadar pola musikal, tetapi denyut nadi kultural yang memompa kehidupan ke dalam setiap upacara.
Tanpa penafsiran ini, kita akan terjebak pada perkenalan artefak semata. Tifa akan dilihat sebagai objek, padahal ia adalah subjek yang aktif. Ia bukan memiliki makna; ia adalah makna itu sendiri yang telah mengambil bentuk bunyi. Tifa adalah realisasi fisik dari jiwa kolektif. Bunyinya bukan mewakili semangat; ia adalah semangat itu sendiri yang termanifestasi. Tarian dan ritual hanyalah konsekuensi logis—respons yang tak terhindarkan—dari jiwa yang telah dinyalakan dan mencari perwujudan. Mari kita jelajahi bagaimana keyakinan ini diwujudkan dalam struktur yang paling nyata, dengan memulai dari Tifa Pusaka di Baileo: sang jantung yang tertidur.
TIFA PUSAKA DI BAILEO: SANG JANTUNG YANG TERTIDUR
Jika bunyi Tifa dalam tarian adalah jiwa yang sedang berdetak kencang, maka ada saat di mana jiwa itu beristirahat. Ia bersemayam dalam wujudnya yang paling suci: Tifa Pusaka yang disimpan di dalam Baileo.
Baileo, balai adat yang terbuka tanpa dinding, adalah jantung sekaligus otak dari negeri adat. Ia adalah ruang antara dunia manusia dan alam leluhur. Dan di ruang yang paling sakral inilah, Tifa Pusaka itu diletakkan. Bukan sebagai hiasan, bukan sebagai artefak museum, melainkan sebagai sebuah entitas yang hidup dan berkuasa. Penempatannya di Baileo adalah sebuah pernyataan hermeneutika yang gamblang: (1) Baileo adalah raga dari masyarakat adat, (2) Tifa Pusaka di dalamnya adalah jantung dari raga tersebut. Ia adalah sumber dari segala denyut. Sebagaimana jantung fisik kita yang berdetak dalam diam, menjamin kelangsungan hidup tanpa kita sadari, Tifa Pusaka ini adalah jantung simbolis yang denyutnya tak terdengar telinga, namun menghidupi seluruh tubuh budaya.
Ia tidur bukan karena mati, tetapi karena menyimpan potensi murni dari segala emosi dan semangat yang akan dibangkitkan dalam ritual. Kulit dan kayunya telah diresapi oleh sejarah, doa, dan sumpah leluhur. Ia adalah baterai spiritual yang telah diisi penuh, menunggu saatnya untuk dinyalakan. Inilah lapisan makna pertama. Tifa Pusaka bukanlah alat. Ia adalah subyek yang dihormati, repositori (gudang penyimpanan) nyawa kolektif. Dan untuk membangkitkannya, dibutuhkan sebuah tindakan yang sama sakralnya: sebuah ritual.
RITUAL AKTIVASI:MEMBANGUN SANG DENYUT NADI
Tifa Pusaka tidak boleh diambil begitu saja. Ia harus dikeluarkan dengan serangkaian ritual khusus oleh Tua Adat. Prosesi ini adalah kunci hermeneutika yang kedua. Tindakan-tindakan dalam ritual ini adalah sebuah bahasa yang harus kita tafsir.
Apa makna di balik ritual pengeluaran ini?
- Ini adalah transisi dari potensi ke aksi, dari diam ke hidup, dari sakral yang tersembunyi ke sakral yang termanifestasi.
- Tua Adat, dalam fungsi ini, bukanlah seorang "pemain alat musik". Ia adalah seorang ahli jantung spiritual, seorang konduktor yang memiliki otoritas untuk memulai detak pertama.
- Ritualnya sendiri adalah nafas pertama yang menghidupkan kembali tubuh budaya yang akan melaksanakan upacara.
Tanpa ritual ini, Tifa Pusaka hanyalah sebuah benda mati. Ritual inilah yang mentransformasikannya dari sebuah simbol yang diam menjadi sebuah kekuatan yang aktif. Ia adalah saklar yang menghubungkan arus spiritual dari leluhur kepada masyarakat yang hadir. Dan setelah jantung ini berdetak, barulah denyutnya boleh disambut oleh seluruh tubuh.
Di sinilah kita melihat kejeniusan sistem simbol. Setelah Tifa Pusaka "disematkan" atau ditempatkan pada posisinya dengan ritual, barulah Tifa-Tifa lain—yang mungkin disimpan di rumah raja atau di tangan para pemuda—boleh dibunyikan. Urutan ini bukan sekadar protokol. Ini adalah sebuah metafora hidup tentang bagaimana emosi dan semangat kolektif itu disalurkan. Tifa Pusaka di Baileo adalah jantungnya, dan tifa-Tifa lain adalah pembuluh nadinya yang menyebarkan denyut kehidupan itu ke seluruh anggota tubuh masyarakat. Bunyi yang bergema adalah darah spiritual yang dipompa ke seluruh penjuru negeri.
Detak jantung pusat itu mengatur irama, menentukan intensitas, dan memberikan jiwa bagi seluruh orkestra bunyi yang akan menggerakkan tarian dan mengobarkan semangat. Semua bunyi berasal darinya dan mengacu kepadanya. Lalu, apa yang terjadi ketika bunyi itu akhirnya keluar?
BUNYI SEBAGAI PENAMPAKAN
Setelah melalui proses sakral dari Baileo, dihidupkan oleh Tua Adat, dan dituntun dalam hierarki, bunyi Tifa akhirnya bergema. Dan bunyi inilah yang menjadi jawaban atas pertanyaan mendasar: Mengapa semua penghormatan ini necessary?
Jawabannya karena itu adalah diri sendiri. Dalam kerangka hermeneutika, bunyi Tifa di sini telah mencapai status simbol yang paling tinggi: ia adalah simbol yang menghadirkan (present symbol). Ia bukan tanda yang mewakili sesuatu yang absen. Ia adalah penampakan langsung dari sesuatu yang hadir.
Apa yang hadir itu?
- Bukan hanya semangat, melainkan semangat itu sendiri yang menjadi bunyi
- Bukan hanya emosi, melainkan emosi yang termaterialisasi
- Bukan hanya jiwa kolektif, melainkan jiwa kolektif yang sedang menyatakan diri
Inilah makna dari bunyi yang bukan hanya membangkitkan emosi, tapi itulah emosi yg telah ada sebelum dan saat dibunyikan. Emosi itu—semangat dalam Cakalele, rasa syukur dalam Maku-Maku—telah tersimpan sebagai potensi murni dalam kayu Tifa, dalam ingatan leluhur, dalam DNA budaya masyarakat. Proses ritual dan pukulan akhir hanyalah trigger yang melepaskan potensi itu menjadi realitas yang bisa didengar dan dirasakan.
Tubuh penari yang bergerak, jantung penonton yang berdebar, adalah bukti bahwa "diri sendiri" yang dibunyikan itu sedang mencari dan menemukan perwujudannya dalam setiap individu yang terhubung secara kultural. Anda berdebar karena jantung budaya Anda sedang berdetak. Anda menari karena jiwa kolektif Anda yang sedang berbunyi itu membutuhkan gerak.
Melalui hermeneutika ini, kita melihat bahwa terdapat sebuah sistem makna yang hidup dan bernapas. Dari Jantung yang Tertidur di Baileo, melalui Ritual Kelahiran Kembali oleh Tua Adat, disalurkan melalui Pembuluh Nadi Tifa-Tifa lain, hingga akhirnya Menjadi Diri yang Menyatakan dalam bunyi, Tifa adalah sebuah lingkaran sakral yang sempurna. Ia mengajarkan pada kita bahwa budaya bukanlah tentang benda. Budaya adalah tentang kehidupan—tentang bagaimana sebuah komunitas menjadikan nilai, emosi, dan jiwanya sesuatu yang bisa didengar, bisa dirasakan, dan bisa dihidupi.
Selama Tifa masih dipukul dengan kesadaran dan ritual, selama itu pula denyut nadi kebudayaan Maluku akan terus berdetak, abadi, menyatakan dirinya dari masa ke masa.

No comments:
Post a Comment