Tuesday, October 28, 2025

“TETE MANIS KAMI YANG DI SURGA...” Memaknai Kembali Tete Manis Sebagai Jembatan Spiritual Orang Maluku

 


Gambar: Google

Di ruang-ruang sunyi gereja, di dalam kitab-kitab suci yang ditulis dengan tinta emas, dan dalam perdebatan teologis yang berlangsung berabad-abad, Tuhan sering kali hadir dengan wajah yang agung dan sedikit menakutkan. Dia adalah Yang Mutlak, Sang Maha Kuasa, Penguasa Semesta Alam—sebuah Pribadi yang begitu transenden sehingga jarak antara Dia dan manusia terasa bagai jurang yang tak terjembatani. Bahasa-bahasa agung ini, meskipun mulia, sering kali terasa dingin dan jauh dari denyut nadi keseharian hidup kita. Ia adalah Tuhan dari para nabi dan raja, Tuhan dari doktrin dan hukum, sebuah Kekuatan yang patut ditakuti dan ditaati.

Namun, laut punya bahasanya sendiri, dan pulau-pulau punya caranya sendiri untuk memahami angin. Di gugusan kepulauan Maluku, di mana gemuruh ombak Samudera Pasifik bercampur dengan desau angin di pepohonan pala dan cengkih, sebuah sebutan untuk Tuhan terlahir dari rahim kebudayaan yang hangat dan personal: “Tete Manis”. Dua kata sederhana ini, jika diterjemahkan secara harfiah, berarti "Kakek yang Manis." Ia bukanlah gelar resmi yang tertulis dalam kitab suci mana pun, tetapi ia hidup dan bernafas dalam spiritualitas sehari-hari orang Maluku. Ia adalah panggilan akrab yang terucap dari mulut anak-anak, sebuah doa yang penuh kerinduan, dan sebuah penegasan bahwa Tuhan bukanlah Penguasa yang jauh, melainkan sosok keluarga yang paling dikasihi.

Pemahaman ini berangkat dari sebuah realitas sosiologis yang mendalam. Dalam struktur keluarga Orang Maluku, dan di banyak budaya Nusantara, nenek dan kakek (tete) menempati posisi yang unik dan istimewa. Mereka adalah sumber cerita, pewaris kebijaksanaan, dan—yang paling penting—sumber kasih sayang yang tanpa syarat. Berbeda dengan orang tua yang sering kali memikul peran disipliner, seorang "Tete" adalah pelindung, pemberi perlindungan, dan sosok yang selalu memiliki waktu untuk mendengarkan serta membagikan "sesuatu yang manis," baik itu berupa permen, nasihat, atau sekadar senyuman. Dari pangkuan merekalah, seorang anak pertama kali belajar tentang rasa aman, penerimaan, dan cinta yang tulus.

Lalu, bagaimana jika Tuhan dipahami dengan kacamata yang sama? Inilah lompatan imajinasi teologis yang genius. Dengan menyapa-Nya sebagai Tete Manis, Orang Maluku bukan sedang merendahkan martabat ilahi-Nya. Sebaliknya, mereka sedang menjembatani jurang transendensi itu dengan pengalaman manusiawi yang paling universal: ikatan kasih antara cucu dan kakeknya. Konsep ini dengan seketika melucuti segala ketakutan dan menggantinya dengan kepercayaan yang mendalam. Seorang anak tidak takut mendekati kakeknya yang baik hati; mereka berlari, memeluk, dan berbagi cerita. Dengan cara yang sama, "Tete Manis" mengajak setiap orang untuk mendekati Tuhan bukan dengan gemetar ketakutan, tetapi dengan keberanian seorang cucu yang percaya diri akan diterima dan dikasihi.

Oleh karena itu, menelusuri lebih dalam makna di balik sebutan Tete Manis mengajak kita  berdialog dengan pemikiran filsuf modern tentang bahasa, simbol, dan pengalaman, untuk menunjukkan bagaimana sebuah budaya lokal dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi pemahaman kita yang universal tentang relasi antara manusia dan yang Ilahi. Mari kita melangkah masuk ke dalam dunia di mana Tuhan tidak hanya Agung, tetapi juga—dengan cara yang sangat nyata—Manis.


MELACAK JEJAK KEMANUSIAAN DALAM YANG ILAHI: SEBUAH PENGANTAR HUMANIS

Sebelum kita menyelami samudera filsafat yang dalam, izinkan saya mengajak kita untuk sejenak berhenti dan merasakan. Merasakan kenangan kita masing-masing. Hemat saya, setiap orang—apapun latar budayanya—menyimpan sebuah memori primordial tentang kasih sayang yang tanpa syarat. Bagi saya, dan mungkin juga bagi kita semua, memori itu seringkali berbentuk seorang perempuan tua dengan senyum sabar, atau seorang laki-laki tua dengan tawa yang berderai, yang kita panggil nenek dan kakek.

Dalam ingatan kolektif kitalah,  kunci untuk memahami kejeniusan kultural dari sebutan Tete Manis ini. Menurut saya, ini bukan pertama-tama soal teologi, melainkan tentang pengalaman menjadi manusia. Sebelum kita diajari untuk takut kepada Tuhan yang Maha Menghakimi, kita lebih dulu belajar tentang kelembutan dari pelukan seorang kakek. Sebelum kita memahami konsep dosa dan pahala, kita telah merasakan manisnya sebuah perhatian tulus yang diberikan tanpa penghitungan.

Di sinilah, Orang Maluku bukan hanya mencipta sebuah metafora, tetapi mereka menyentuh sebuah kebenaran psikologis dan spiritual yang universal. Mereka membangun jembatan menuju Yang Ilahi dengan menggunakan bahan terkuat yang mereka miliki: pengalaman kemanusiaan mereka sendiri yang paling otentik. Tete bukanlah sebuah konsep yang abstrak; ia adalah wujud nyata dari penerimaan, kebijaksanaan yang tidak menggurui, dan sebuah cinta yang membuat seorang anak merasa aman untuk sepenuhnya menjadi dirinya sendiri.

Dengan latar inilah, kita diajak untuk melihat bahwa menyebut Tuhan sebagai Tete Manis adalah sebuah tindakan humanisasi yang sangat berani. Ini adalah upaya untuk membawa Tuhan keluar dari langit yang tinggi dan mendudukkannya di beranda rumah kita, di tengah percakapan keluarga. Inilah inti dari spiritualitas yang hidup: kemampuan untuk menemukan yang sakral dalam yang sehari-hari, dan yang transenden dalam yang personal.


TETE MANIS DALAM CERMIN FILSAFAT: DARI SIMBOL HINGGA RELASI PERSONAL

Konsep yang lahir dari kearifan lokal ini ternyata bersinggungan dengan beberapa pemikiran filsafat Barat modern yang kompleks, memberikan kita perspektif yang kaya untuk memahaminya bukan hanya sebagai tradisi, tetapi sebagai sebuah konseptualisasi relasi manusia-Tuhan yang sophisticated.

Pertama-tama, mari kita lihat dari kacamata filsafat bahasa dan simbol, khususnya pemikiran Paul Tillich (1957). Tillich membedakan antara tanda (sign) dan simbol (symbol). Sebuah tanda, seperti rambu lalu lintas, hanya menunjuk pada sesuatu yang lain tanpa ikut serta di dalamnya. Sementara sebuah simbol, seperti salib dalam Kekristenan, ikut mengambil bagian dalam realitas yang diwakilinya dan mampu membuka lapisan makna yang dalam.

Dari sudut pandang ini, Tete Manis bukanlah sekadar tanda yang menunjuk pada Tuhan. Ia adalah sebuah simbol yang kuat. Kata Tete tidak netral; ia membawa serta seluruh muatan emosional keakraban, kelembutan, dan rasa aman. Ketika istilah ini digunakan, ia tidak hanya menyebut Tuhan, tetapi ikut serta dalam menyatakan hakikat relasi itu sendiri—sebuah relasi yang personal, penuh kasih, dan intim. Simbol ini membuka dimensi ketuhanan yang mungkin tertutup oleh istilah-istilah formal seperti "Yang Maha Esa" atau "Sang Pencipta".

Aliran fenomenologi, yang dipelopori Edmund Husserl (1913), mengajak kita untuk kembali kepada benda itu sendiri (zu den Sachen selbst), yaitu memahami realitas sebagaimana ia dialami secara langsung dalam kesadaran kita. Dengan menyebut Tuhan Tete Manis, Orang Maluku pada dasarnya sedang melakukan sebuah lompatan fenomenologis. Mereka tidak mendefinisikan Tuhan melalui atribut-atribut metafisis-Nya (Maha Kuasa, Maha Tahu), tetapi melalui pengalaman langsung mereka akan kehadiran-Nya yang terasa akrab dan manis, mirip dengan pengalaman mereka bersama seorang kakek. Tuhan dialami (phenomenon) bukan sebagai ide, tetapi sebagai kehadiran yang memeluk. Ini adalah upaya untuk menemukan Yang Ilahi dalam medium pengalaman manusiawi yang paling dasar, menjadikan iman sesuatu yang langsung terasa dan hidup, bukan sekadar keyakinan abstrak.

Pemikiran Martin Buber dalam bukunya I and Thou (1923) memberikan lensa yang sangat tajam. Buber membedakan dua modus relasi dasar: Aku-Ia (I-It) dan Aku-Engkau (I-Thou). Relasi Aku-Ia adalah relasi subjek-objek yang instrumentalis, di mana kita melihat yang lain sebagai benda untuk dianalisis dan digunakan. Sementara relasi "Aku-Engkau" adalah relasi subjek-subjek yang personal, langsung, dan dialogis.

Konsep ketuhanan yang terlalu formal dan doktriner dapat dengan mudah terperangkap dalam relasi Aku-Ia, di mana Tuhan menjadi objek keyakinan yang diamati dari jarak jauh. Namun, sebutan Tete Manis secara praktis memaksa relasi itu untuk bergeser ke modus Aku-Engkau. Seseorang tidak mungkin memanggil Tete dengan sikap berjarak. Panggilan itu sendiri sudah mengandung pengakuan akan sebuah relasi personal yang penuh kepercayaan. Tuhan bukan lagi "Ia" yang jauh, tetapi "Engkau" yang dekat, yang bisa diajak bercakap, dikeluhkan, dan dicintai seperti seorang cucu mencintai kakeknya.

Feuerbach, dalam karya monumentalnya The Essence of Christianity (1841), berargumen bahwa teologi pada hakikatnya adalah antropologi yang terbalik. Apa yang kita sebut sebagai Tuhan tidak lebih dari proyeksi sifat-sifat manusiawi kita yang paling ideal—seperti cinta, kebijaksanaan, dan keadilan—ke sebuah entitas langit yang kita ciptakan sendiri. Tuhan adalah cermin raksasa di mana umat manusia memuja-muja dirinya sendiri yang telah dimuliakan.

Dari kacamata ini, Tete Manis bisa dilihat sebagai bukti sempurna dari tesis Feuerbach. Kebutuhan psikologis dan kultural akan figur pelindung yang bijak, sabar, dan penuh kasih—sebuah figur yang dalam konteks Maluku diwujudkan oleh seorang kakek—diproyeksikan ke dalam konsep ketuhanan. Tuhan Tete Manis adalah hasil dari keinginan untuk memiliki "sosok yang sempurna" di surga. Ia adalah produk budaya, sebuah personifikasi dari kerinduan akan rasa aman yang absolut.

Namun, jika kita berhenti pada Feuerbach, kita mungkin kehilangan makna yang lebih dalam. Bagi orang beriman, tanggapan terhadap kritik ini bukanlah dengan menyangkal bahwa proses pemilihan metafora terjadi, tetapi dengan memaknai ulang proses itu sendiri. Pertama, hemat saya, yang dilakukan oleh budaya Maluku bukanlah menciptakan Tuhan sesuai dengan gambaran mereka, melainkan menemukan bahasa yang paling tepat untuk menggambarkan relasi yang telah mereka alami dan yakini. Bahasa kakek dipilih karena ia adalah analogi terkuat yang mereka miliki untuk memahami bagaimana Yang Maha Tinggi berelasi dengan mereka yang kecil dan lemah.

Kedua, dan ini yang lebih penting, konsep Tete Manis dapat dipandang bukan sebagai bukti proyeksi, melainkan sebagai bentuk wahyu yang kontekstual. Gagasan ini menyatakan bahwa karena Tuhan begitu transenden dan tak terpahami, Dia memilih untuk menyatakan Diri-Nya dalam bahasa dan kategori yang dapat dipahami oleh suatu budaya tertentu. Dengan merangkul sebutan Tete Manis, kita melihat sebuah proses di mana Yang Ilahi dengan rendah hati turun, menyapa umat manusia di tingkat pengalaman mereka yang paling personal dan menghibur.

Dengan demikian, melalui lensa filsafat ini, sebutan Tete Manis bukanlah konsep yang naif. Ia adalah sebuah perangkat filosofis yang canggih—sebuah simbol yang partisipatif, sebuah pengalaman yang fenomenologis, dan sebuah jembatan menuju relasi personal yang dialogis. Ia menjawab kegelisahan manusia modern akan Tuhan yang terasa jauh, dengan menawarkan sebuah pertemuan yang hangat dan langsung dalam ruang hati.

Dengan kata lain, Tete Manis bukanlah bukti bahwa manusia menciptakan Tuhan menurut gambarnya sendiri, melainkan petunjuk bahwa Tuhan rela dikenal melalui metafora kemanusiaan kita. Ia adalah pertemuan antara yang Transenden dan yang personal, di mana kekayaan budaya manusia menjadi wadah yang sah dan bermartabat untuk mengalami kasih Ilahi. Dengan demikian, konsep ini justru mengangkat pengalaman religius lokal menjadi sebuah dialog yang otentik, bukan sekadar ilusi yang perlu dibongkar.


RELEVANSI KONTEMPORER: TETE MANIS DI TENGAH DUNIA YANG RETAK

Apa artinya semua ini bagi kita hari ini? Dalam dunia yang kerap diselimuti oleh kegaduhan, polarisasi, dan spiritualitas yang penuh kecemasan, konsep yang lahir dari kepulauan Maluku ini justru menawarkan segelas air kesejukan yang menyehatkan jiwa.

Di tengah maraknya narasi keagamaan yang menekankan murka, hukuman, dan transaksi pahala-dosa, Tete Manis hadir sebagai antitesis yang menyejukkan. Ia mengingatkan kita pada suatu dimensi spiritualitas yang hampir terlupakan: bahwa iman pada hakikatnya adalah soal relasi kasih, bukan mekanisme hukum yang menakutkan. Seorang anak tidak melupakan sopan santun kepada kakeknya karena takut dihukum, tetapi karena mencintainya. Dengan cara yang sama, spiritualitas Tete Manis membangun ketaatan dan moralitas yang berangkat dari rasa cinta dan hormat, bukan dari ketakutan akan neraka. Ini adalah fondasi etika yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.

Dalam konteks pendidikan agama, terutama untuk anak-anak, konsep Tete Manis adalah sebuah alat pedagogis yang genius. Daripada memperkenalkan Tuhan sebagai sosok hakim yang sulit dipahami, kita dapat membimbing seorang anak untuk membangun hubungan yang positif dan penuh kepercayaan dengan Tete Manis mereka di surga. Pendekatan ini melindungi jiwa anak dari trauma ketakutan religius sekaligus menanamkan benih iman yang dalam dan personal. Sebuah fondasi iman yang dibangun di atas rasa percaya dan kasih sayang akan jauh lebih kokoh daripada yang dibangun di atas ketakutan.

Pada tingkat masyarakat yang lebih luas, Tete Manis membawa pesan implisit yang sangat powerful: Tuhan memahami bahasa ibu kita. Konsep ini dengan tegas menolak klaim-klaim kebenaran tunggal dan kaku yang sering menjadi akar fundamentalisme. Jika Tuhan rela disebut Tete Manis dalam bahasa dan budaya Maluku, maka Ia pun pasti merangkul sebutan-sebutan lain dari berbagai budaya dan bahasa. Ini adalah dasar teologis untuk sebuah iman yang inklusif dan merayakan keberagaman, sekaligus tameng terhadap segala bentuk radikalisme yang memutlakkan satu bentuk ekspresi iman saja.

Manusia modern, meski terhubung secara digital, justru sering mengalami keterasingan spiritual dan emosional yang mendalam. Kita rindu keotentikan dan kehangatan. Dalam konteks ini, Tete Manis bukanlah konsep usang, melainkan jawaban yang relevan. Ia menawarkan sebuah relasi yang otentik dan personal dalam dunia yang semakin impersonal. Di tengah kesepian, mengetahui bahwa Alam Semesta dipimpin oleh seorang Kakek yang Manis memberikan rasa aman eksistensial yang tak ternilai.

Dengan demikian, Tete Manis bukan sekadar warisan budaya yang perlu dilestarikan, melainkan sebuah sumber daya spiritual kontemporer. Kearifan lokal ini menawarkan resep untuk menyembuhkan luka-luka zaman kita: dari kecemasan beragama, pendidikan iman yang menakutkan, hingga fundamentalisme dan keterasingan. Ia mengajak kita semua untuk bernapas lega, dan dengan percaya diri memanggil Yang Maha Kuasa dengan panggilan yang paling akrab dan penuh pengharapan.


KRITIK DAN BATASAN: MELAMPAUI NOSTALGIA MENUJU KESEIMBANGAN

Sebagai sebuah konsep yang humanis dan membebaskan, Tete Manis tentu bukan tanpa kemungkinan bias dan terbatas. Sebagai pemikir yang kritis, kita perlu menyoroti beberapa tantangan dalam penerapan konsep ini agar tidak terjebak dalam romantisme budaya semata.

Pertama-tama,kita harus mengakui bahwa metafor Tete (kakek) membawa serta bias gender tertentu. Konsep ini—dalam bentuknya yang paling literal—cenderung mematri imaji Tuhan sebagai laki-laki dan berpotensi mengabaikan dimensi keibuan atau feminin dari yang Ilahi. Meskipun dalam konteks budaya Maluku hal ini dapat dimengerti, dalam pembacaan kontemporer kita perlu menyadari bahwa ini adalah sebuah metafor, bukan deskripsi lengkap tentang hakikat Tuhan. Kemanisan dan kelembutan Ilahi juga dapat diungkapkan melalui metafor Nenek atau sosok perempuan lainnya.

Kedua, terdapat risiko untuk meromantisasi konsep ini secara berlebihan. Hubungan cucu dan kakek dalam realitasnya tidak selalu ideal; tidak semua orang memiliki pengalaman positif dengan figur kakeknya. Bagi mereka yang tidak mengalami kasih sayang semacam ini, metafor Tete Manis justru bisa menjadi hambatan dan jembatan dalam memahami Tuhan. Selain itu, fokus pada kelembutan dan kemanisan berisiko mengaburkan dimensi lain dari ketuhanan—seperti keadilan, kekudusan, dan tuntutan transformatif-Nya.

Ketiga, terdapat ketegangan filosofis antara transendensi dan keakraban. Meskipun Tete Manis berhasil menjembatani jurang antara manusia dan Tuhan, kita harus bertanya: apakah konsep ini masih menyisakan ruang untuk misteri dan kekudusan Tuhan yang tak terselami? Terlalu menekankan keakraban berisiko mendomestikasi Yang Ilahi, mengurangi-Nya sekadar menjadi kakek baik hati tanpa dimensi transenden yang menggetarkan.

Terakhir,konsep ini lahir dari struktur masyarakat yang sangat menghormati orang tua dan menjunjung nilai-nilai kekeluargaan. Dalam masyarakat urban modern yang semakin individualis, di mana hubungan antargenerasi sering kali renggang, daya pukau metafor Tete Manis mungkin tidak lagi sekuat dulu. Tantangannya adalah bagaimana mempertahankan makna substantifnya—kasih tanpa syarat, kedekatan, dan kepercayaan—dalam konteks budaya yang terus berubah.

Dengan menyadari kritik dan batasan ini, kita tidak sedang meruntuhkan nilai Tete Manis, melainkan justru memperkaya pemahaman kita tentangnya. Sebuah konsep teologis yang matang adalah yang mampu bertahan dalam uji kritik dan tetap relevan meskipun keterbatasannya diakui. 


MAKNA TETE MANIS BAGI MANUSIA ZAMAN NOW

Kita telah menyelami Tete Manis sangat dalam—mulai dari akar budaya, dialog dengan filsafat, tantangan kritis, hingga relevansi kontemporer—kita tiba pada sebuah pertanyaan reflektif: Apa warisan paling berharga dari konsep Tete Manis bagi kita yang hidup di zaman yang serba kompleks dan terfragmentasi ini?

Dalam dunia yang sering kali mereduksi agama menjadi sekumpulan aturan,ritual formal, atau bahkan alat politik, Tete Manis hadir sebagai pengingat yang powerful tentang hakikat spiritualitas sebagai relasi. Ia mengajak kita untuk bernapas sejenak dari kegaduhan debat teologis dan kembali kepada pengalaman iman yang paling dasar: sebuah hubungan kasih yang personal, hangat, dan penuh kepercayaan. Bagi jiwa-jiwa yang lelah oleh formalisme dan legalisme agama, konsep ini bagai oase di padang gurun—penawar dahaga akan spiritualitas yang menghidupkan, bukan membebani.

Tete Manis juga merupakan sebuah testament tentang keindahan inkarnasi—bagaimana Yang Ilahi bersedia menyapa manusia dalam bahasa dan budaya yang paling dekat dengan hati mereka. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, hal ini adalah sebuah pelajaran berharga: Tuhan tidak hanya memahami bahasa Arab, Sanskerta, atau Latin, tetapi juga bahasa Tana, bahasa lokal, dan ratusan bahasa ibu lainnya di Nusantara. Konsep ini dengan demikian bukan hanya milik Orang Maluku, melainkan menjadi undangan bagi setiap budaya untuk menemukan metafora mereka sendiri yang otentik dalam menggambarkan relasi dengan Yang Maha Kuasa.

Akhirnya, warisan terbesar dari Tete Manis mungkin terletak pada kemampuannya untuk menjadi jembatan antargenerasi. Di satu sisi, ia menghubungkan kita dengan kearifan leluhur yang melihat yang sakral dalam yang sehari-hari. Di sisi lain, ia menawarkan kepada generasi muda sebuah cara untuk memahami Tuhan yang tidak menakutkan dan tidak asing, melainkan akrab dan relevan dengan kehidupan mereka. Dalam metafor Tete Manis, tersimpan sebuah paradoks yang indah: justru dengan menjadi sangat lokal dan kontekstual, konsep ini berhasil menyentuh sesuatu yang universal dan abadi—yaitu kerinduan setiap manusia untuk dikasihi dan dilindungi.

Maka, mari kita akhiri perjalanan ini dengan sebuah kesadaran: Tete Manis bukan sekadar fosil budaya yang harus dikagumi dari jauh. Ia adalah sebuah telaga kearifan yang airnya tetap jernih dan dapat kita minum hingga hari ini. Di tengah hingar-bingar zaman, suara tenangnya tetap terdengar jelas, mengajak kita untuk—dalam doa-doa paling sederhana kita—menyapa Yang Tak Terkatakan dengan sebutan yang paling manis dan penuh rindu: Tete Manis kami yang di surga…


No comments:

Post a Comment