![]() |
| Gambar: Sketsa Baileo Suhato, Negeri Hatu |
Aku lahir dari rahim Negeri Hatu, di Kecamatan Tehoru, pada sebuah hari di Agustus 1996. Sejak kecil, kakiku menapaki tanah yang sama yang diinjak oleh Tete Nene moyangku. SD dan SMP kulalui di Hatu, di antara pepohonan cengkih dan gemuruh ombak di Tehoru. Masohi untuk SMA, Ambon untuk sarjana, dan kini Yogya untuk magister — setiap langkah menjauh, justru semakin mendekatkanku pada satu kerinduan: untuk duduk di dalam Baileo kami.
Bagi dunia luar, Hatu mungkin hanya sebuah titik di peta Maluku Tengah, Kecamatan Tehoru. Negeri dengan kisah historis yang jarang terdengar. Tapi bagiku, Hatu adalah semesta, dan Baileo adalah porosnya. Namun, ada satu paradoks yang kutanggung sebagai anak Hatu. Di usiaku yang ke-29 tahun, aku belum pernah sekali pun benar-benar masuk dan duduk di dalam Baileo negeriku. Ia sekarang dalam keadaan "sedang dibangun."
Ya, Baileo kami telah mengalami sembilan kali renovasi, sejauh yang saya ketahui dari lisan para tetua adat.
Bagi yang tak paham, ini mungkin terdengar seperti kegagalan pembangunan. Tapi bagiku dan mungkin bagi warga Hatu lainnya, ini adalah sebuah epik kesabaran kolektif. Ini adalah cerita tentang bagaimana kami tidak mau tergesa-gesa dalam menyempurnakan "jantung" negeri kami.
Aku ingat, prosesnya selalu penuh dengan masohi. Setiap rencana penebangan kayu, penggantian atap rumbia, atau perbaikan lantai, adalah hasil musyawarah yang panjang. Bukan sekadar rapat, tapi sebuah dialog antara generasi, antara yang muda dan yang tua, antara yang di kampung dan yang di perantauan. Setiap pahatan pada kayu adalah sebuah konsensus. Setiap tiang yang didirikan adalah sebuah peneguhan kembali komitmen.
Aku belajar tentang "ruang" dari para filsuf Barat, tapi konsep mereka tentang ruang yang terukur dan objektif, terasa hampa bagiku. Bagiku, ruang adalah tentang hubungan. Dan Baileo Hatu adalah ruang hubungan itu. Keterbukaannya yang tanpa dinding, adalah ajaran tentang transparansi dan kejujuran. Di sana, tidak ada yang bisa disembunyikan, baik dari sesama manusia maupun dari alam. Pilar-pilarnya yang kokoh, adalah representasi dari fam dan soa yang menopang masyarakat Hatu. Kita berdiri karena kita saling menopang. Atapnya yang menjulang, adalah aspirasi kami untuk selalu terhubung dengan Lahatala (Tuhan) dan hal-hal yang luhur. Lantainya yang sama rata, adalah pengingat bahwa di hadapan adat dan leluhur, kita semua setara.
Baileo yang belum selesai itu, bagaikan tubuh yang masih menunggu jiwa yang tepat untuk menghuninya. Ia menunggu semua unsur—manusia, alam, dan leluhur—bersepakat bahwa inilah waktunya.
Kerinduanku untuk memasukinya bukanlah kerinduan turis yang ingin melihat-lihat. Ini adalah kerinduan seorang anak yang ingin pulang ke pusat identitasnya. Ingin merasakan, dengan seluruh panca indera dan kalbu, bagaimana duduk di dalam "tubuh" kolektif bangsaku sendiri. Ingin mendengar bukan hanya suara manusia, tapi juga bisikan Tete Nene dalam desau angin yang melintas di antara pilar-pilar kayunya.
Aku percaya, proses yang lama dan berulang ini justru mengajarkanku tentang makna yang sesungguhnya. Baileo tidak hadir untuk jadi sempurna, tapi untuk menyatukan.
Maka, aku masih menunggu. Dengan sabar, dengan rindu.
Aku berharap, tidak lama lagi, Baileo Negeri Hatu telah berdiri tegak dan sempurna. Dan untuk pertama kalinya, aku akan melepas sandalku, melangkah pelan masuk, duduk bersila di lantainya, dan akhirnya… menjadi sepenuhnya, anak Negeri Hatu yang telah pulang ke porosnya.
Lali supu lali, hutua supu hutua

No comments:
Post a Comment