Saturday, November 1, 2025

Mengugat Label Dosa pada Hawa: Dari Mitos Patriarkal Menuju Hermeneutika Pembebasan

 



Gambar: Adam and Eve in the Garden of Eden


Selama berabad-abad, narasi Kejadian 3 dalam tradisi teologis Kristen menetapkan Hawa sebagai simbol "dosa asal" membawa malapetaka bagi umat manusia. Label ini bukan sekadar kategori teologis netral, melainkan senjata epistemologis yang memvalidasi struktur patriarkal—dari Tertullian yang menyebut perempuan pintu gerbang iblis hingga Agustinus yang menafsirkan tindakan Hawa sebagai dasar kodrat perempuan yang lemah. Penempatan dosa pada Hawa berfungsi sebagai justifikasi subordinasi gender, pemutusan akses pengetahuan, dan pengaburan tanggung jawab struktural. Gugatan ini bertujuan membongkar paradigma tersebut melalui dua lensa: teologi eksistensial (Hawa sebagai "Ibu Pengetahuan") dan dialektika Felix Culpa Aquinas, untuk menunjukkan bahwa penempatan dosa pada Hawa bukan hanya keliru secara teks, tetapi juga merampas potensi pembebasan dalam narasi keselamatan.

Tafsir dominan tentang Hawa lahir dari hermeneutika kekuasaan, bukan eksegesis netral. Reduksi Hawa sebagai penyebab kejatuhan mengabaikan konteks teks Kejadian 3: Adam hadir dan diam saat Hawa berdialog dengan ular (Kej. 3:6), menunjukkan tanggung jawab kolektif. Namun, tradisi teologis (Luther, Calvin) memfokuskan kutukan pada Hawa (hasratmu akan kepada suamimu, dan dia akan menguasaimu sebagai pembenaran teologis untuk patriarki). Label dosa ini lebih lanjut mengaburkan dimensi epistemologis tindakan Hawa: memetik buah Pohon Pengetahuan adalah tindakan inquisitif (rasa ingin tahu akan batas eksistensi), otonon (keputusan menentang otoritas demi pengetahuan), dan emansipatoris (pemutusan dari keadaan pra-reflektif Eden menuju kesadaran diri). Seperti ditulis Phyllis Trible (1978), penafsiran patriarkal membunuh potensi Hawa sebagai simbol kesadaran dan mengubahnya menjadi monumen ketakatan. Konsekuensinya tragis: perempuan dikecualikan dari jabatan imamat, tubuh perempuan diatur sebagai sumber godaan, dan mitos Hawa berdosa melegitimasi kekerasan gender—seperti dikritik Elisabeth Schüssler Fiorenza (1983), Narasi Kejadian 3 menjadi alat untuk menekan suara perempuan.

Reinterpretasi Hawa sebagai "Ibu Pengetahuan" bukan sekadar retorika feminis, melainkan keharusan epistemologis. Tindakannya memicu kelahiran Dasein (kesadaran eksistensial): sebelum Kejatuhan, manusia hidup dalam keadaan "pra-reflektif"—tanpa pertanyaan, tanpa pilihan, tanpa kesadaran akan kematian. Setelah memakan buah, "mata terbuka" (Kej. 3:7), dan manusia menjadi subjek yang bertanya (sadar akan diri sebagai entitas terpisah), makhluk moral (mengenal dualitas baik-jahat), dan Homo viator (pengembara yang sadar akan kematian). Heidegger (1962) menyebut ini Geworfenheit (keterlemparan)—manusia terlempar ke dunia dengan beban tanggung jawab atas pilihan. Hawa adalah pelopor eksistensial yang membuka gerbang ini. "Chaos" pasca-Kejatuhan—keterpisahan dari Allah, sesama, dan alam—bukan kutukan, melainkan biaya pengetahuan autentik. 

Seperti Prometheus, Hawa membawa api kesadaran dengan risiko penderitaan, tetapi penderitaan ini justru menjadi tanah subur bagi kemanusiaan: tanpa kesadaran akan kematian, seni dan filsafat tidak akan lahir; tanpa pengalaman keterasingan, cinta dan rekonsiliasi tidak bermakna; tanpa konfrontasi dengan kejahatan, perjuangan keadilan tidak ada. Seperti ditekankan Paul Ricoeur (1960), rasa malu Adam-Hawa bukan tanda dosa, melainkan pengalaman primordial dari brokenness—kesadaran bahwa kemanusiaan tumbuh dalam kerapuhan. Label dosa gagal membedakan antara pelanggaran hukum dan loncatan ontologis: Hawa melanggar perintah Allah, tetapi tindakannya adalah necessary transgression (pelanggaran perlu) untuk mencapai kematangan eksistensial dan tragic initiation (inisiasi tragis) menuju kemanusiaan sejati.

Di sinilah kegeniusan Aquinas dalam Felix Culpa (dosa yang berbahagia) menawarkan jalan keluar. Dalam Summa Theologiae (III, q.1, a.3), ia menegaskan bahwa Inkarnasi adalah maius bonum (kebaikan yang lebih besar) karena melalui penderitaan dan kematian Kristus, Allah memasuki "chaos" yang dibuka Hawa, mengubah penderitaan menjadi jalan persekutuan dengan ilahi, dan menaikkan manusia ke martabat anak Allah—sesuatu yang tidak mungkin di Eden. Felix Culpa membebaskan Hawa dari beban dosa dengan menempatkannya dalam naratif keselamatan yang lebih luas: Hawa menanyakan Apa arti menjadi manusia? melalui tindakan memetik buah, dan Kristus menjawab Kemanusiaanmu ditebus dalam penderitaan dan kebangkitan-Ku. Seperti diungkapkan Karl Rahner (1941), manusia adalah pendengar Sabda—tindakan Hawa adalah pertanyaan eksistensial yang dijawab Kristus. 

Sintesis ini menawarkan teologi penderitaan yang transformatif: chaos yang dilahirkan Hawa (kematian, penderitaan, ketidakadilan) tidak dihapus, tetapi dikuduskan—kematian dijawab dengan kebangkitan, keterasingan dengan rekonsiliasi, pengetahuan tragis dengan hikmat salib. Sebagaimana ditulis Miroslav Volf (1996), Penebusan bukan penghapusan chaos, melainkan pemulihan makna di dalamnya. Dalam kerangka ini, Hawa bukan ibu dosa, melainkan pelopor jalan salib—tanpa loncatan kesadarannya, penebusan Kristus tidak akan memiliki makna mendalam.

Gugatan atas penempatan dosa pada Hawa bukan sekadar koreksi historis, melainkan kebutuhan teologis untuk masa depan. Dekonstruksi mitos Hawa berdosa adalah langkah awal menuju teologi feminis yang adil, seperti ditulis Elisabeth Johnson: Allah yang menderita bersama korban ketidakadilan adalah sumber kekuatan untuk mengubah chaos menjadi ciptaan baru. Rehabilitasi Hawa sebagai "Ibu Pengetahuan" memulihkan martabat perempuan dalam narasi iman—perempuan bukan sumber dosa, melainkan pembawa kesadaran yang membuka jalan bagi kemanusiaan dewasa. 

Dialektika Hawa-Kristus menawarkan spiritualitas autentik bagi manusia modern: iman bukan pelarian dari penderitaan, melainkan keberanian untuk menemukan Allah di tengah chaos—seperti Hawa yang memilih pengetahuan meski harus kehilangan Eden, dan Kristus yang memilih salib meski harus merasakan keterasingan. Narasi Kejadian 3 akhirnya bukan cerita tentang dosa yang dihukum, melainkan pengetahuan yang ditebus: Hawa tidak lagi simbol malu, melainkan teladan keberanian eksistensial yang mengajarkan bahwa kemanusiaan sejati lahir bukan dari ketundukan pasif, melainkan dari pertanyaan, pilihan, dan pengharapan akan penebusan di tengah chaos.


No comments:

Post a Comment