Monday, November 17, 2025

PROMETHEUS MODERN: ETIKA DAN SAINS DALAM FILM FRANKENSTEIN 2025

 

Frankenstein adalah film fiksi ilmiah gotik Amerika Serikat tahun 2025 yang ditulis dan disutradarai oleh maestro visual, Guillermo del Toro. Film ini merupakan adaptasi dari novel legendaris karya Mary Shelley yang terbit pada 1818. Diproduksi dan  dirilis secara global oleh Netflix, film ini menghadirkan deretan bintang papan atas seperti Oscar Isaac sebagai Victor Frankenstein, Jacob Elordi sebagai Sang Makhluk, dengan didukung oleh Mia Goth, Christoph Waltz, dan Charles Dance. Kisah abadi tentang ilmuwan yang menantikan kodrat ilahi dengan menciptakan kehidupan ini kembali dihidupkan dengan visi gelap dan puitis khas del Toro.

Bayangkan sebuah laboratorium yang dipenuhi mesin uap dan kilatan listrik. Dari rakitan tubuh yang tak sempurna, terlahir sebuah kesadaran. Jacob Elordi, dengan raga menjulang dan sorot mata yang memancarkan luka sekaligus kepolosan, membangunkan kita pada sebuah realitas: monster yang sesungguhnya dalam Frankenstein bukanlah yang bangkit dari meja operasi, melainkan yang berdiri di depannya. Oscar Isaac, sebagai Victor Frankenstein, memerankan dengan sempurna sosok "monster" yang justru berwajah manusia—seorang jenius yang hancur oleh keangkuhan dan lari dari tanggung jawabnya sendiri. Film ini dengan genius membalikkan narasi, menjadikan sang ciptaan sebagai cermin yang paling jernih untuk melihat kegagalan sang pencipta.

MONSTER BERNAMA VICTOR - WAJAH KEANGKUHAN SAINS


Dalam adegan awal diceritakan, Victor Frankenstein (Oscar Isaac) tidak hadir sebagai karikatur ilmuwan gila yang umum. Sebaliknya, ia adalah sebuah produk tragis dari keinginan manusiawi: keinginan untuk melampaui kodrat dan mengatasi duka. Namun, dari sanalah monster pertama dalam kisah ini lahir—sebuah monster yang bernama keangkuhan sains.

Akar tragedi Victor dapat ditelusuri dari dinamika keluarganya. Di bawah bayang-bayang sang ayah, Leopold (Charles Dance), seorang dokter terkemuka yang menindas, dan didanai oleh pamannya, Heinrich Harlander (Christoph Waltz) yang ambisius, Victor tumbuh dengan beban untuk menjadi sesuatu. Kematian ibunya saat melahirkan menjadi luka psikologis yang menyuburkan obsesinya untuk menaklukkan maut. Ambisinya bukan lagi murni pencarian ilmiah, melainkan sebuah pemberontakan Prometheus untuk merebut wewenang ilahi—api kehidupan—dari tangan para dewa.

Keberhasilannya menghidupkan Sang Makhluk dari rakitan daging daur ulang, tubuh-tubuh mayat yang dijumpai dalam peperangan, menjadi puncak kemenangan manusia atas kematian. Namun, momen itu justru menjadi cermin yang memantulkan kegagalan moral Victor. Ketika mata Jacob Elordi sebagai Sang Makhluk pertama kali terbuka, yang muncul di wajah Viktor bukanlah kekaguman, melainkan kengerian dan rasa jijik yang mendalam. Reaksinya bukanlah merangkul ciptaannya, tetapi melarikan diri.

Tindakan pelarian inilah yang merupakan dosa terbesarnya, tindakan yang mengubahnya dari seorang jenius yang disegani menjadi monster yang sebenarnya. Ia adalah seorang pencipta yang menolak untuk menjadi pemelihara. Ia adalah seorang orang tua yang mengabaikan anaknya di saat paling rentan. Keangkuhan sainsnya, yang tanpa diimbangi tanggung jawab etis, melahirkan sebuah monster baru: monster pengabaian. Dan seperti semua monster sejati, monster ini tidak memiliki wujud jahitan dan baut, melainkan bersembunyi di balik wajah manusia bernama Victor Frankenstein, siap menghancurkan segala yang seharusnya ia lindungi.

CIPTAAN YANG MANUSIAWI - WAJAH KORBAN YANG DISALAHKAN


Jika Victor adalah personifikasi dari keangkuhan yang membusukkan, maka Sang Makhluk—diperankan dengan kedalaman yang menyentuh oleh Jacob Elordi—adalah perwujudan dari korban yang terusir. Dalam film ini, del Toro dengan cermat membongkar stereotip monster dengan menghadirkan sebuah karakter yang justru lebih manusiawi daripada kebanyakan manusia di sekitarnya. Perjalanannya adalah sebuah epos tragis tentang pencarian akan identitas, komunitas, dan kasih sayang di dunia yang menolaknya sejak napas pertamanya.

Ditinggalkan begitu saja oleh sang pencipta, makhluk tanpa nama ini memasuki dunia dalam keadaan polos, bagaikan anak bayi dalam raksasa yang kekar. Ia dipaksa untuk belajar segala sesuatu tentang dunia dari nol, melalui panca indra yang baru pertama kali digunakannya. Adegan-adegannya bersama Blind Man (David Bradley), seorang tua buta yang menghabiskan hidup ditengah hutan, menjadi titik terang dalam kesendiriannya; di sanalah, untuk pertama kalinya, ia mengalami belas kasih dan diajari tentang keindahan bahasa serta musik. Segmen ini dengan jelas membuktikan bahwa kapasitas untuk kebaikan, keinginan untuk belajar, dan kerinduan untuk terhubung telah ada dalam dirinya sejak awal. Ia bukanlah iblis yang lahir dari laboratorium, melainkan sebuah jiwa yang suci yang terperangkap dalam tubuh yang dianggap mengerikan. Satu etika humanis berharga yang del Toro sematkan dalam alur film ini adalah bagaiaman sang Makhluk belajar dari sosok buta, atau bagaimana sang buta – yang tidak melihat dunia – mendidik makhluk yang melihat dunia dalam keterlemparannya. 

Dunia tidak pernah memberinya kesempatan. Setiap upaya tulusnya untuk mendekati kemanusiaan—setiap isyarat kebaikan, setiap ekspresi kerinduannya—berakhir dengan teriakan ketakutan, tembakan yang mengguyur tubuh, dan kekerasan. Kekejaman yang akhirnya melekat pada dirinya bukanlah sifat bawaan, melainkan akumulasi dari setiap luka dan penolakan yang dipaksakan oleh dunia kepadanya. Dalam narasi del Toro, menjadi jelas: monster tidak dilahirkan, tetapi dibentuk. Dan pembentuk utamanya adalah sang pencipta sendiri, Victor, yang dengan pengabaian awalnya telah melemparkannya ke dalam lingkaran setan penolakan ini. 

Permintaannya yang mengharapkan dan penuh keputusasaan kepada Victor untuk menciptakan seorang pendamping adalah klimaks dari pencariannya akan pengakuan. Permintaan itu adalah permintaan yang paling manusiawi: untuk tidak lagi sendiri, untuk memiliki hubungan, untuk dicintai. Penolakan Victor untuk yang kedua kalinya—sebuah pengkhianatan yang bahkan lebih kejam daripada pengabaian pertamanya—adalah pukulan final. Penolakan ini membuktikan dengan tragis bahwa di mata penciptanya, ia memang pada dasarnya tak layak untuk dicintai, dan dengan demikian, secara permanen mengukuhkannya dalam takdir sebagai "monster" yang selama ini telah dipaksakan kepadanya.

Kisah-kisah kematian sang makhluk secara berulang dalam percobaan bunuh diri dan atau serangan pembunuhan adalah sebuah protes atas Viktor, dan personifikasi wajah sains modern. Bahwa kematian tidak membunuh sains, tetapi kematian pada akhirnya merengut manusia sang pencipta.  Pada adegan akhir, Viktor menghembuskan nafas terakhir ketika ia menyebut sang makhluk sebagai “anakku” dan mendapat ciuman hangat dari ciptaannya. Sebuah kesadaran yang terlambat, kesadaran sementara, yang pada akhirnya menyisakan "sadar yang berkelana" dan akan terus dicari manusia -  dialah sains. 

PERTUKARAN PERAN DAN CERMIN BAGI KEMANUSIAAN KITA


Dua narasi yang berjalan paralel—kejatuhan Victor dan kebangkitan Sang Makhluk—pada akhirnya bertemu dalam sebuah kebenaran yang tak terelakkan: film ini dengan genius melakukan pembalikan peran yang sempurna. Guillermo del Toro bukan sekadar menceritakan ulang mitos Frankenstein; ia membongkar dan merekonstruksinya untuk kita renungkan di era modern ini.

Victor Frankenstein, dengan jas laboratoriumnya yang rapih dan intelektualitasnya yang tinggi, justru menjelma menjadi monster yang sesungguhnya. Monsternya bukanlah berupa fisik yang mengerikan, melainkan wujud abstrak yang jauh lebih berbahaya: monster keangkuhan intelektual, pengabaian tanggung jawab, dan kehancuran moral. Tindakannya-lah yang bersifat destruktif, egois, dan secara sistematis merusak segala yang disentuhnya. Sebaliknya, Sang Makhluk, dengan tubuhnya yang penuh jahitan dan penampilan yang menakutkan, justru menjadi pembawa obor kemanusiaan yang paling hakiki. Ia adalah perwujudan dari kerinduan untuk belajar, kapasitas untuk mencintai, dan kebutuhan untuk memiliki tempat (bagian dari suatu komunitas).

Pertentangan mendasar dalam film ini pun bergeser. Ini bukan lagi sekadar konflik antara manusia yang beradab dan monster yang buas, melainkan pertarungan antara Pengabaian versus Kebutuhan untuk Dicintai. Victor mewakili sisi gelap penciptaan—sebuah tindakan yang berhenti pada kesombongan dan menolak segala konsekuensi. Sementara makhluk ciptaannya mewakili korban dari sisi gelap itu—sebuah kehidupan yang menuntut untuk diakui, dipahami, dan dianggap bernilai.

Melalui visual gotik-industrialnya yang memukau, penuh dengan mesin uap, bayangan, dan arsitektur yang megah sekaligus menindas, del Toro membangun sebuah metafora raksasa bagi jiwa-jiwa yang retak dan hubungan yang rusak. Dunia dalam film ini adalah cermin dari kondisi batin para karakternya: dingin, mekanistis, dan kekurangan kehangatan manusiawi yang esensial. Film ini, pada akhirnya, adalah sebuah cermin yang ditunjukkan langsung kepada kita, penontonnya. Di sebuah dunia yang semakin maju secara teknologi namun sering kali kehilangan empati, Frankenstein del Toro menggugah kita untuk bertanya: Dalam upaya kita mencipta—baik itu teknologi, institusi, maupun hubungan—apakah kita bertindak sebagai Victor yang angkuh, ataukah kita memilih untuk mengakui tanggung jawab dan kemanusiaan dalam setiap "ciptaan" dan "yang lain" yang kita temui?

SIAPA MONSTER YANG SEBENARNYA?


Pada akhirnya, Frankenstein karya Guillermo del Toro berdiri bukan hanya sebagai sebuah mahakarya sinematik, tetapi sebagai pertanyaan filosofis yang menggema kuat dan relevan sepanjang zaman. Film ini berhasil melampaui adaptasi biasa dengan melakukan pembedahan yang tajam terhadap jiwa dari novel Mary Shelley, menghadirkan kembali kisah klasik ini sebagai sebuah tragedi modern tentang penciptaan dan pengabaian.

Melalui penokohan Victor Frankenstein, kita disadarkan bahwa monster paling berbahaya tidak selalu yang paling terlihat. Monster itu bisa bersembunyi di balik wajah seorang jenius, dalam keangkuhan sains yang buta terhadap etika, dan dalam ketakutan untuk bertanggung jawab atas ciptaan sendiri. Sebaliknya, melalui penggambaran Sang Makhluk, kita diingatkan bahwa kemanusiaan sejati terletak pada kapasitas untuk merasa, belajar, dan mencintai—bukan pada kesempurnaan wujud fisik.

Frankenstein versi del Toro ini dengan demikian berhasil menjadi lebih dari sekadar kisah horor. Ia adalah sebuah alegori yang dalam tentang tanggung jawab—baik dalam sains, seni, maupun relasi insani. Film ini menegaskan bahwa setiap penciptaan membawa serta konsekuensi, dan setiap kehidupan membawa harga diri yang harus diakui.

Kita bisa merenungkan: monster sejati dalam Frankenstein bukanlah makhluk yang diciptakan di laboratorium, melainkan kemanusiaan yang hilang dalam diri sang pencipta. Dalam dunia kita yang semakin kompleks dan penuh dengan "penciptaan" baru—mulai dari kecerdasan buatan hingga rekayasa genetika—kisah Victor dan makhluknya menjadi peringatan abadi: keagungan sejati bukan terletak pada kemampuan kita mencipta, tetapi pada keberanian kita merawat, memahami, dan bertanggung jawab atas segala yang kita hadirkan ke dunia.

Demikianlah Frankenstein tidak hanya menghantui kita dengan gambaran monsternya, tetapi justru dengan kebenaran yang diungkapkannya tentang diri kita sendiri—sebuah pencerminan yang akan terus relevan selama manusia masih memiliki kemampuan, dan godaan, untuk bermain menjadi Tuhan.


Friday, November 7, 2025

MEMBACA TIFA SEBAGAI DENYUT NADI MANUSIA




Gambar: Tifa di dalam Suhato

Membaca Tifa dalam konteks ini secara spesifik saya buat dengan menganalisis kegunaannya pada masyarakat Negeri Hatu, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah. Dalam kesadaran penuh, saya membatasi jari-jari dan kuasa berpikir untuk menyebutkannya secara umum dalam konteks Maluku.  Namun jika kemudian rasa yang diakibatkan atas bacaan ini “sama”, hendaklah penuhi tuntutan membaca tifa secara universal-yet-lokal. Saya menyukai sastra, dalam bacaan ini akan sangat sarat, maka permintaan maaf menjadi pendahuluan yang terlebih dahulu – paling tidak, ia, sastra, tidak membunuh intinya. 

Bayangkan Anda mengikuti tarian Maku-Maku, Cakalele dan atau yang lainnya dengan diiringi tifa. Coba sejenak, nikmati dalam sadar yang jauh—bukan sebagai penonton, atau penari, tetapi sebagai bagian dari gelombang gerak itu sendiri. Rasakan bagaimana hentakan kaki Anda bukan lagi perintah dari pikiran, melainkan sebuah jawaban otomatis terhadap panggilan yang lebih dalam. Panggilan itu datang dari sebuah dentuman yang merambat melalui tanah, menggetarkan telapak kaki, naik ke betis, dan akhirnya menyatu dengan degup jantung sendiri.

Dalam keadaan separuh khayal itu, batas antara diri dan bunyi menjadi kabur. Anda tidak lagi mendengar Tifa; Anda menjadi perpanjangan dari nadanya. Setiap kibasan parang, setiap lirikan mata yang berapi-api, adalah bentuk lain dari getaran yang dilepaskan oleh sepotong kayu dan kulit yang dipukul oleh tangan yang penuh wibawa. Ia adalah arsitek yang tak terlihat, mengukir semangat, amarah, dan kebanggaan langsung ke dalam ruang dan tubuh.

Pengalaman inilah yang menjadi kunci untuk membongkar makna sejati dari Tifa. Ia mengajarkan bahwa yang kita hadapi bukanlah alat musik, melainkan sebuah jiwa yang dibunyikan.


MEMBACA BUNYI YANG HIDUP

Untuk memahami bagaimana sebuah bunyi bisa berubah menjadi pengalaman yang begitu menghanyutkan dan personal, kita membutuhkan sebuah lensa penafsiran—sebuah hermeneutika. Pendekatan ini mengajak kita untuk membaca Tifa layaknya sebuah teks suci yang hidup, di mana setiap bagiannya menyimpan lapisan makna yang dalam.

  • Kulit yang Ditegangkan bukan hanya membran untuk menghasilkan bunyi, melainkan selaput yang menahan ingatan dan emosi kolektif.
  • Tubuh Kayunya bukan hanya wadah, tetapi badan yang menjadi rumah bagi roh yang akan dihidupkan.
  • Ritme yang Berulang bukan sekadar pola musikal, tetapi denyut nadi kultural yang memompa kehidupan ke dalam setiap upacara.

Tanpa penafsiran ini, kita akan terjebak pada perkenalan artefak semata. Tifa akan dilihat sebagai objek, padahal ia adalah subjek yang aktif. Ia bukan memiliki makna; ia adalah makna itu sendiri yang telah mengambil bentuk bunyi.  Tifa adalah realisasi fisik dari jiwa kolektif. Bunyinya bukan mewakili semangat; ia adalah semangat itu sendiri yang termanifestasi. Tarian dan ritual hanyalah konsekuensi logis—respons yang tak terhindarkan—dari jiwa yang telah dinyalakan dan mencari perwujudan. Mari kita jelajahi bagaimana keyakinan ini diwujudkan dalam struktur yang paling nyata, dengan memulai dari Tifa Pusaka di Baileo: sang jantung yang tertidur.

TIFA PUSAKA DI BAILEO: SANG JANTUNG YANG TERTIDUR

Jika bunyi Tifa dalam tarian adalah jiwa yang sedang berdetak kencang, maka ada saat di mana jiwa itu beristirahat. Ia bersemayam dalam wujudnya yang paling suci: Tifa Pusaka yang disimpan di dalam Baileo.

Baileo, balai adat yang terbuka tanpa dinding, adalah jantung sekaligus otak dari negeri adat. Ia adalah ruang antara dunia manusia dan alam leluhur. Dan di ruang yang paling sakral inilah, Tifa Pusaka itu diletakkan. Bukan sebagai hiasan, bukan sebagai artefak museum, melainkan sebagai sebuah entitas yang hidup dan berkuasa. Penempatannya di Baileo adalah sebuah pernyataan hermeneutika yang gamblang: (1) Baileo adalah raga dari masyarakat adat, (2) Tifa Pusaka di dalamnya adalah jantung dari raga tersebut. Ia adalah sumber dari segala denyut. Sebagaimana jantung fisik kita yang berdetak dalam diam, menjamin kelangsungan hidup tanpa kita sadari, Tifa Pusaka ini adalah jantung simbolis yang denyutnya tak terdengar telinga, namun menghidupi seluruh tubuh budaya.

Ia tidur bukan karena mati, tetapi karena menyimpan potensi murni dari segala emosi dan semangat yang akan dibangkitkan dalam ritual. Kulit dan kayunya telah diresapi oleh sejarah, doa, dan sumpah leluhur. Ia adalah baterai spiritual yang telah diisi penuh, menunggu saatnya untuk dinyalakan. Inilah lapisan makna pertama. Tifa Pusaka bukanlah alat. Ia adalah subyek yang dihormati, repositori (gudang penyimpanan) nyawa kolektif. Dan untuk membangkitkannya, dibutuhkan sebuah tindakan yang sama sakralnya: sebuah ritual.

RITUAL AKTIVASI:MEMBANGUN SANG DENYUT NADI

Tifa Pusaka tidak boleh diambil begitu saja. Ia harus dikeluarkan dengan serangkaian ritual khusus oleh Tua Adat. Prosesi ini adalah kunci hermeneutika yang kedua. Tindakan-tindakan dalam ritual ini adalah sebuah bahasa yang harus kita tafsir.

Apa makna di balik ritual pengeluaran ini?

  • Ini adalah transisi dari potensi ke aksi, dari diam ke hidup, dari sakral yang tersembunyi ke sakral yang termanifestasi.
  • Tua Adat, dalam fungsi ini, bukanlah seorang "pemain alat musik". Ia adalah seorang ahli jantung spiritual, seorang konduktor yang memiliki otoritas untuk memulai detak pertama.
  • Ritualnya sendiri adalah nafas pertama yang menghidupkan kembali tubuh budaya yang akan melaksanakan upacara.

Tanpa ritual ini, Tifa Pusaka hanyalah sebuah benda mati. Ritual inilah yang mentransformasikannya dari sebuah simbol yang diam menjadi sebuah kekuatan yang aktif. Ia adalah saklar yang menghubungkan arus spiritual dari leluhur kepada masyarakat yang hadir. Dan setelah jantung ini berdetak, barulah denyutnya boleh disambut oleh seluruh tubuh.

Di sinilah kita melihat kejeniusan sistem simbol. Setelah Tifa Pusaka "disematkan" atau ditempatkan pada posisinya dengan ritual, barulah Tifa-Tifa lain—yang mungkin disimpan di rumah raja atau di tangan para pemuda—boleh dibunyikan. Urutan ini bukan sekadar protokol. Ini adalah sebuah metafora hidup tentang bagaimana emosi dan semangat kolektif itu disalurkan. Tifa Pusaka di Baileo adalah jantungnya, dan tifa-Tifa lain adalah pembuluh nadinya yang menyebarkan denyut kehidupan itu ke seluruh anggota tubuh masyarakat. Bunyi yang bergema adalah darah spiritual yang dipompa ke seluruh penjuru negeri.

Detak jantung pusat itu mengatur irama, menentukan intensitas, dan memberikan jiwa bagi seluruh orkestra bunyi yang akan menggerakkan tarian dan mengobarkan semangat. Semua bunyi berasal darinya dan mengacu kepadanya. Lalu, apa yang terjadi ketika bunyi itu akhirnya keluar? 

BUNYI SEBAGAI PENAMPAKAN

Setelah melalui proses sakral dari Baileo, dihidupkan oleh Tua Adat, dan dituntun dalam hierarki, bunyi Tifa akhirnya bergema. Dan bunyi inilah yang menjadi jawaban atas pertanyaan mendasar: Mengapa semua penghormatan ini necessary?

Jawabannya karena itu adalah diri sendiri. Dalam kerangka hermeneutika, bunyi Tifa di sini telah mencapai status simbol yang paling tinggi: ia adalah simbol yang menghadirkan (present symbol). Ia bukan tanda yang mewakili sesuatu yang absen. Ia adalah penampakan langsung dari sesuatu yang hadir.  

Apa yang hadir itu?

  • Bukan hanya semangat, melainkan semangat itu sendiri yang menjadi bunyi
  • Bukan hanya emosi, melainkan emosi yang termaterialisasi
  • Bukan hanya jiwa kolektif, melainkan jiwa kolektif yang sedang menyatakan diri

Inilah makna dari bunyi yang bukan hanya membangkitkan emosi, tapi itulah emosi yg telah ada sebelum dan saat dibunyikan. Emosi itu—semangat  dalam Cakalele, rasa syukur dalam Maku-Maku—telah tersimpan sebagai potensi murni dalam kayu Tifa, dalam ingatan leluhur, dalam DNA budaya masyarakat. Proses ritual dan pukulan akhir hanyalah trigger yang melepaskan potensi itu menjadi realitas yang bisa didengar dan dirasakan.

Tubuh penari yang bergerak, jantung penonton yang berdebar, adalah bukti bahwa "diri sendiri" yang dibunyikan itu sedang mencari dan menemukan perwujudannya dalam setiap individu yang terhubung secara kultural. Anda berdebar karena jantung budaya Anda sedang berdetak. Anda menari karena jiwa kolektif Anda yang sedang berbunyi itu membutuhkan gerak.

Melalui hermeneutika ini, kita melihat bahwa terdapat sebuah sistem makna yang hidup dan bernapas. Dari Jantung yang Tertidur di Baileo, melalui Ritual Kelahiran Kembali oleh Tua Adat, disalurkan melalui Pembuluh Nadi Tifa-Tifa lain, hingga akhirnya Menjadi Diri yang Menyatakan dalam bunyi, Tifa adalah sebuah lingkaran sakral yang sempurna. Ia mengajarkan pada kita bahwa budaya bukanlah tentang benda. Budaya adalah tentang kehidupan—tentang bagaimana sebuah komunitas menjadikan nilai, emosi, dan jiwanya sesuatu yang bisa didengar, bisa dirasakan, dan bisa dihidupi.

Selama Tifa masih dipukul dengan kesadaran dan ritual, selama itu pula denyut nadi kebudayaan Maluku akan terus berdetak, abadi, menyatakan dirinya dari masa ke masa.


Wednesday, November 5, 2025

Subjektivitas Barat: Subjek Kosong

 


Kata subjek kosong lahir dalam Simposium Nasional Filsafat Nusantara yang diselenggarakan Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Selasa 28 Oktober 2025. Sejak itu, untuk  pertama kali kata ini dicetuskan Romo A. Setyo Wibowo, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Satu klaim subjektivitas yang diberikan untuk filsafat Timur dan Nusantara pada khususnya. Namun benarkah demikian? Mari telaah injil filsafat Barat yang sejenak bagai kitab suci pengetahuan di ruang-ruang kelas. 

Dalam jagat pemikiran modern, kita sering dijunjung tinggi pada altar rasionalitas dan bukti empiris. Barat, sebagai episentrum kelahiran banyak paradigma keilmuan, telah menawarkan sebuah lensa untuk memahami realitas—sebuah lensa yang diklaim objektif dan universal. Namun, di balik klaim-klaim kebenaran itu, tersembunyi sebuah pertanyaan yang sering diabaikan: di manakah posisi "Sang Aku"—subjek yang sadar dan hidup—dalam seluruh bangunan pengetahuan ini? Keresahan ini mengelitik naluri kemanusiaan saya, untuk sejenak berefleksi kritis terhadap cara pandang Barat yang kerap meminggirkan subjektivitas yang utuh, dan menggantikannya dengan fungsi-fungsi mekanistis.

Rasio dan Empirisme: Dua Tiran yang Mengklaim Kebenaran

Subjektivitas Barat yang lahir dari rahim Renaisans dan atau Pencerahan (Enlightenment) erat bersekutu dengan rasionalitas. Suatu momen kelahiran kembali sebagai tanda corak kefilsafatan yang dulu dibangun Socrates, Platon dan Aristoteles, menjadikan manusia sebagai objek penelitian - sebutan yang kita kenal, Antroposentrisme. Segala sesuatu harus dibuktikan, dipecah, dan dianalisis. Fenomena yang ditangkap indra tidak diterima begitu saja, melainkan harus melalui pengadilan rasio untuk mendapat justifikasi. Proses ini, meski melahirkan kemajuan sains dan teknologi, sering kali berubah menjadi semacam "pemujaan pada pembuktian".

Kita melihat bagaimana seluruh anatomi manusia—baik fisik maupun mental—diurai menjadi bagian-bagian kecil: neuron, sinapsis, stimulus-respon. Dalam proses reduksionistik ini, "aku" yang menyeluruh justru tersisihkan. Aku tak lebih dari sekumpulan proses biokimia, sebuah mesin kognitif yang kompleks. Yang tersisa bukan lagi subjek yang hidup, melainkan sebuah model teoretis yang kering.

Subjektivitas Barat, atas klaim pembuktian, memenjarakan aku (Ego: dalam sebutan Jerman) dalam universalitas. Subjek harus berpikir, subjek harus melihat — antara berpikir dan melihat, siapa yang dahulu ada, dan siapa yang lebih dipercaya?

Di sini kita dihadapkan pada sebuah paradoks: kita menggunakan rasio untuk memahami rasio, menggunakan indra untuk memverifikasi indra. Sebuah lingkaran yang seolah-olah tak berujung.

Subjek Kosong: Aku yang Hilang dalam Pusaran Ideologi

Dalam upaya membangun kebenaran universal, kaum-kaum dengan ideologi tertentu—entah itu saintisme, kapitalisme, atau positivisme—tampil dengan dalil-dalil pembuktian mereka masing-masing. Mereka berdebat, berpolemik, dan saling menyangkal, namun sering kali melupakan satu hal: ada "subjek yang sunyi" yang menjadi fondasi dari segala pengalaman.

Subjek yang sunyi ini adalah kesadaran murni yang hadir sebelum kata, sebelum konsep, sebelum analisis. Ia adalah "aku" yang mengamati, merasakan, dan mengalami—bukan sekadar produk dari otak atau indra. Ketika otak dengan seluruh neuronya bekerja, atau ketika indra menangkap realitas, siapakah yang menyaksikan semua proses itu? Siapakah yang memberi makna pada semua data mentah tersebut?

Dapatkah rasio dan indra mempunyai substansi hanya karena hal sepelenya yaitu fenomena objek yang berdiri seperti safana? Sejauh sejarah filsafat Barat berbicara tentang subjek, sejauh itu mereka berbicara tentang subjek yang kosong.

Pertanyaan-pertanyaan ini menyentuh lubang hitam dalam pemikiran Barat: pengabaian terhadap kesadaran sebagai fenomena primer.

Kematian dan Titik Nol: Makna yang Sirna

Mari sejenak kita merenungkan kematian. Saat seorang lelaki yang berusia hampir 90 tahun meninggal, dalam sekejap ia berubah dari subjek yang berkuasa menjadi "yang tiada". Rasio yang dahulu merancang strategi, indra yang menikmati kemewahan, serta ego yang membangun identitas—semuanya lenyap. Apa yang tersisa?

Kematian mengingatkan kita bahwa semua klaim kebenaran, semua pembuktian empiris, pada akhirnya bermuara pada ketiadaan. Namun, justru dalam kesadaran akan kematian inilah "aku" yang sejati sering kali paling terasa. Aku yang menyadari keterbatasan, aku yang mempertanyakan makna, aku yang merasakan kehadirannya justru ketika ia diambang ketiadaan.

Kita sering terjebak dalam paradoks verbal seperti "mana yang lebih dahulu: telur atau ayam?"—lalu berdebat tanpa ujung. Kita lupa bahwa pertanyaan itu sendiri hanya bermakna dalam kesadaran subjek yang mempertanyakannya.

Mencari Aku yang Hilang: Sebuah Proyek Kembali ke Kesadaran

Lalu, ke manakah kita harus berjalan? Jika subjektivitas Barat telah membawa kita pada keterasingan dari diri sendiri, mungkin inilah saatnya untuk mencari jalan pulang—kembali kepada "aku" yang sadar. Aku bukanlah puzle yang tersusun dari kepingan neuron atau data indrawi. Aku adalah pusat pengalaman yang memberi makna pada semua itu. Otak dan indra adalah alat, bukan sang diri. Mereka seperti perahu yang membawa kita mengarungi lautan realitas, tetapi bukan nahkoda yang menentukan arah.

Universalitas, rasionalitas, idealisme, adalah bagian-bagian yang berkelana dalam ruang hampa, seakan-akan masih mencari aku yang tersembunyi dalam diksi, linguistik, dan segala cerca epistemik Barat.

Kita perlu mengingat kembali bahwa sebelum ada konsep, sebelum ada bahasa, sebelum ada pembuktian—ada kesadaran. Dan dari sanalah segalanya bermula.

Tentu, ini bukanlah seruan untuk menolak sains atau rasionalitas. Mereka adalah alat yang sangat berharga. Namun, kita perlu menyadari batas-batasnya. Ketika rasio dan empiri berusaha menjawab segalanya, mereka justru mengkhianati hakikatnya sendiri. Mungkin tugas kita sekarang adalah merajut kembali subjektivitas yang utuh: sebuah cara berada di dunia yang tidak hanya berpikir, tetapi juga merasakan; tidak hanya membuktikan, tetapi juga mengalami; tidak hanya menganalisis, tetapi juga menghayati.

Hanya dengan begitu, "aku" tidak lagi menjadi tawanan dalam sangkar rasio, tetapi menjadi subjek yang merdeka—yang hadir sepenuhnya dalam realitas, dengan segala misteri dan maknanya.

Saat Kritik ini ditulis, saya sementara mengetik sambil melebarkan pintu, sembari meletakan undangan di atas alas kaki. Masuklah. 



Tuesday, November 4, 2025

Kematian: Epikuros Membuat Pernyataan Yesus Mengkonfirmasi




Apa yang terjadi ketika kita mati? Apakah kematian adalah akhir segalanya, atau justru pintu menuju sesuatu yang lain? Filsuf Yunani kuno, Epikuros, menawarkan sebuah pandangan yang menenangkan: "Kematian bukanlah sesuatu yang buruk bagi kita." Alasannya sederhana: selama kita masih ada, kematian belum datang; dan ketika kematian tiba, kita sudah tidak ada lagi untuk merasakannya. Kematian adalah ketiadaan rasa dan nilai—ia netral. 

Namun, iman Kristen membawa narasi yang tampaknya bertolak belakang: kematian Yesus di kayu salib—sebuah kematian yang penuh penderitaan dan secara kasat mata terlihat sebagai tragedi tertinggi. Di sinilah kita menemukan paradoks yang menarik. Jika kematian itu netral, mengapa kematian Yesus terasa begitu bermakna dan buruk secara moral?

Jawabannya terletak pada "sebab" di balik kematian-Nya. Nilai buruk itu melekat pada ketidakadilan, pengkhianatan, dan kebencian yang menyebabkannya—bukan pada kematian sebagai akhir biologis. Kematian justru menjadi tempat penyelesaian. Ia mengakhiri rangkaian keburukan itu dan menyerapnya ke dalam ketiadaan. Dalam arti ini, kematian Yesus sejalan dengan logika Epikuros: kematian pada dirinya sendiri bukanlah hal yang buruk.

Walau sejalan, Kekristenan tidak berhenti di sana. Kebangkitan Yesus adalah babak berikutnya yang membalikkan seluruh narasi. Jika kematian adalah ketiadaan nilai, maka kebangkitan adalah "penghidupan kembali" nilai-nilai itu. Kasih, pengorbanan, dan kebaikan yang Yesus tinggalkan tidak hilang ditelan ketiadaan. Justru, melalui kebangkitan, nilai-nilai itu diteguhkan dan dilanjutkan dalam sebuah realitas yang baru.

Kematian Yesus mengosongkan kematian dari "keburukannya," dan kebangkitan-Nya mengisinya kembali dengan makna dan harapan yang baru.

Di sini, kita memahami kematian sebagai sebuah jeda. Dalam kematian Yesus, segala nilai—baik kebaikan maupun keburukan—mengalami jeda. Kematian menghentikan sementara segala klaim moral manusia atas diri-Nya. Nilai-nilai itu tidak ikut mati, melainkan dibekukan dalam ruang ketiadaan. Namun, jeda bukanlah penghapusan. Kebangkitan adalah kepastian bahwa nilai-nilai sejati akan mengalami re-konfirmasi dan keberlanjutan.

Dalam hidup kita pun, nilai-nilai yang kita perjuangkan seringkali mengalami "jeda". Kebaikan kita disalahpahami, kebenaran kita diabaikan, seolah hilang dalam belantara kehidupan yang bebas menginterpretasi. Namun, melalui kebangkitan Yesus, kita diingatkan: setiap jeda akan ada kelanjutannya.

Kematian, dalam terang ini, berfungsi sebagai ruang netral. Seperti denyut nadi, nilai-nilai dalam hidup kita berdenyut—kadang kuat, kadang lemah—namun kematian akan menetralkan semuanya, menyiapkan ruang untuk penilaian yang sesungguhnya. Salib Yesus menjadi simbol pertemuan antara waktu horisontal—sejarah manusia dengan segala tafsirnya—dan waktu vertikal—keabadian Allah yang melampaui pemahaman kita.

Oleh karena itu, bagi orang Kristen, Salib bukanlah simbol kekalahan, melainkan kemenangan atas kematian. Kita diajak untuk melihat kematian bukan sebagai momok, tetapi sebagai peralihan. Seperti Yesus, kita pun diundang untuk melampaui "kebahagiaan kematian" ala Epikuros—yang hanya melihat kematian sebagai ketenangan—menuju sukacita yang lebih besar: bahwa dalam kematian bersama Kristus, nilai-nilai hidup kita tidak akan hilang, tetapi akan dipulihkan dan disempurnakan dalam kehidupan yang kekal.

Kematian bukanlah akhir segalanya. Ia hanyalah jeda dalam sebuah simfoni abadi—sebuah pause sebelum meledak dalam kidung kebangkitan yang tak berkesudahan.

Penantian kita bukan sekadar pada penyempurnaan nilai-nilai hidup di kehidupan kekal dalam narasi teologis yang sering kita dengar. Yang lebih hakiki adalah memahami bahwa kematian memiliki waktunya sendiri—bukan dalam kerangka temporal kita, melainkan sebagai sebuah horizon eksistensial yang pasti. Kapan dan seperti apa kematian itu hadir bukanlah soal waktu, melainkan soal kepenuhan.

Oleh sebab itu, sejauh ketiadaan akan tiba dan pembekuan nilai-nilai kita terjadi, justru di situlah letak janji keberlanjutannya. Kematian bukan akhir cerita; ia adalah awal bagi kehidupan yang terus berjalan dalam cara yang lain. Dalam "jeda" kematian itulah, nilai-nilai yang kita hidupi justru mengalami proses konfirmasi bersama kehidupan. Ia dibiarkan bebas ditafsir, diperdebatkan, dan dihidupi dalam ingatan dan warisan yang kita tinggalkan. Kematian, dengan demikian, bukanlah penghapus makna, melainkan ruang di mana makna ditempa dan dikonfirmasi ulang—sebelum akhirnya dibangkitkan dalam bentuknya yang sepenuhnya baru.

Kita boleh tenang. Sebab, kematian adalah jeda yang netral, dan kebangkitan adalah konfirmasi abadi bahwa tidak satu pun nilai sejati yang akan hilang dalam sunyi.



Saturday, November 1, 2025

Mengugat Label Dosa pada Hawa: Dari Mitos Patriarkal Menuju Hermeneutika Pembebasan

 



Gambar: Adam and Eve in the Garden of Eden


Selama berabad-abad, narasi Kejadian 3 dalam tradisi teologis Kristen menetapkan Hawa sebagai simbol "dosa asal" membawa malapetaka bagi umat manusia. Label ini bukan sekadar kategori teologis netral, melainkan senjata epistemologis yang memvalidasi struktur patriarkal—dari Tertullian yang menyebut perempuan pintu gerbang iblis hingga Agustinus yang menafsirkan tindakan Hawa sebagai dasar kodrat perempuan yang lemah. Penempatan dosa pada Hawa berfungsi sebagai justifikasi subordinasi gender, pemutusan akses pengetahuan, dan pengaburan tanggung jawab struktural. Gugatan ini bertujuan membongkar paradigma tersebut melalui dua lensa: teologi eksistensial (Hawa sebagai "Ibu Pengetahuan") dan dialektika Felix Culpa Aquinas, untuk menunjukkan bahwa penempatan dosa pada Hawa bukan hanya keliru secara teks, tetapi juga merampas potensi pembebasan dalam narasi keselamatan.

Tafsir dominan tentang Hawa lahir dari hermeneutika kekuasaan, bukan eksegesis netral. Reduksi Hawa sebagai penyebab kejatuhan mengabaikan konteks teks Kejadian 3: Adam hadir dan diam saat Hawa berdialog dengan ular (Kej. 3:6), menunjukkan tanggung jawab kolektif. Namun, tradisi teologis (Luther, Calvin) memfokuskan kutukan pada Hawa (hasratmu akan kepada suamimu, dan dia akan menguasaimu sebagai pembenaran teologis untuk patriarki). Label dosa ini lebih lanjut mengaburkan dimensi epistemologis tindakan Hawa: memetik buah Pohon Pengetahuan adalah tindakan inquisitif (rasa ingin tahu akan batas eksistensi), otonon (keputusan menentang otoritas demi pengetahuan), dan emansipatoris (pemutusan dari keadaan pra-reflektif Eden menuju kesadaran diri). Seperti ditulis Phyllis Trible (1978), penafsiran patriarkal membunuh potensi Hawa sebagai simbol kesadaran dan mengubahnya menjadi monumen ketakatan. Konsekuensinya tragis: perempuan dikecualikan dari jabatan imamat, tubuh perempuan diatur sebagai sumber godaan, dan mitos Hawa berdosa melegitimasi kekerasan gender—seperti dikritik Elisabeth Schüssler Fiorenza (1983), Narasi Kejadian 3 menjadi alat untuk menekan suara perempuan.

Reinterpretasi Hawa sebagai "Ibu Pengetahuan" bukan sekadar retorika feminis, melainkan keharusan epistemologis. Tindakannya memicu kelahiran Dasein (kesadaran eksistensial): sebelum Kejatuhan, manusia hidup dalam keadaan "pra-reflektif"—tanpa pertanyaan, tanpa pilihan, tanpa kesadaran akan kematian. Setelah memakan buah, "mata terbuka" (Kej. 3:7), dan manusia menjadi subjek yang bertanya (sadar akan diri sebagai entitas terpisah), makhluk moral (mengenal dualitas baik-jahat), dan Homo viator (pengembara yang sadar akan kematian). Heidegger (1962) menyebut ini Geworfenheit (keterlemparan)—manusia terlempar ke dunia dengan beban tanggung jawab atas pilihan. Hawa adalah pelopor eksistensial yang membuka gerbang ini. "Chaos" pasca-Kejatuhan—keterpisahan dari Allah, sesama, dan alam—bukan kutukan, melainkan biaya pengetahuan autentik. 

Seperti Prometheus, Hawa membawa api kesadaran dengan risiko penderitaan, tetapi penderitaan ini justru menjadi tanah subur bagi kemanusiaan: tanpa kesadaran akan kematian, seni dan filsafat tidak akan lahir; tanpa pengalaman keterasingan, cinta dan rekonsiliasi tidak bermakna; tanpa konfrontasi dengan kejahatan, perjuangan keadilan tidak ada. Seperti ditekankan Paul Ricoeur (1960), rasa malu Adam-Hawa bukan tanda dosa, melainkan pengalaman primordial dari brokenness—kesadaran bahwa kemanusiaan tumbuh dalam kerapuhan. Label dosa gagal membedakan antara pelanggaran hukum dan loncatan ontologis: Hawa melanggar perintah Allah, tetapi tindakannya adalah necessary transgression (pelanggaran perlu) untuk mencapai kematangan eksistensial dan tragic initiation (inisiasi tragis) menuju kemanusiaan sejati.

Di sinilah kegeniusan Aquinas dalam Felix Culpa (dosa yang berbahagia) menawarkan jalan keluar. Dalam Summa Theologiae (III, q.1, a.3), ia menegaskan bahwa Inkarnasi adalah maius bonum (kebaikan yang lebih besar) karena melalui penderitaan dan kematian Kristus, Allah memasuki "chaos" yang dibuka Hawa, mengubah penderitaan menjadi jalan persekutuan dengan ilahi, dan menaikkan manusia ke martabat anak Allah—sesuatu yang tidak mungkin di Eden. Felix Culpa membebaskan Hawa dari beban dosa dengan menempatkannya dalam naratif keselamatan yang lebih luas: Hawa menanyakan Apa arti menjadi manusia? melalui tindakan memetik buah, dan Kristus menjawab Kemanusiaanmu ditebus dalam penderitaan dan kebangkitan-Ku. Seperti diungkapkan Karl Rahner (1941), manusia adalah pendengar Sabda—tindakan Hawa adalah pertanyaan eksistensial yang dijawab Kristus. 

Sintesis ini menawarkan teologi penderitaan yang transformatif: chaos yang dilahirkan Hawa (kematian, penderitaan, ketidakadilan) tidak dihapus, tetapi dikuduskan—kematian dijawab dengan kebangkitan, keterasingan dengan rekonsiliasi, pengetahuan tragis dengan hikmat salib. Sebagaimana ditulis Miroslav Volf (1996), Penebusan bukan penghapusan chaos, melainkan pemulihan makna di dalamnya. Dalam kerangka ini, Hawa bukan ibu dosa, melainkan pelopor jalan salib—tanpa loncatan kesadarannya, penebusan Kristus tidak akan memiliki makna mendalam.

Gugatan atas penempatan dosa pada Hawa bukan sekadar koreksi historis, melainkan kebutuhan teologis untuk masa depan. Dekonstruksi mitos Hawa berdosa adalah langkah awal menuju teologi feminis yang adil, seperti ditulis Elisabeth Johnson: Allah yang menderita bersama korban ketidakadilan adalah sumber kekuatan untuk mengubah chaos menjadi ciptaan baru. Rehabilitasi Hawa sebagai "Ibu Pengetahuan" memulihkan martabat perempuan dalam narasi iman—perempuan bukan sumber dosa, melainkan pembawa kesadaran yang membuka jalan bagi kemanusiaan dewasa. 

Dialektika Hawa-Kristus menawarkan spiritualitas autentik bagi manusia modern: iman bukan pelarian dari penderitaan, melainkan keberanian untuk menemukan Allah di tengah chaos—seperti Hawa yang memilih pengetahuan meski harus kehilangan Eden, dan Kristus yang memilih salib meski harus merasakan keterasingan. Narasi Kejadian 3 akhirnya bukan cerita tentang dosa yang dihukum, melainkan pengetahuan yang ditebus: Hawa tidak lagi simbol malu, melainkan teladan keberanian eksistensial yang mengajarkan bahwa kemanusiaan sejati lahir bukan dari ketundukan pasif, melainkan dari pertanyaan, pilihan, dan pengharapan akan penebusan di tengah chaos.


MENANTI POROS NEGERI HATU: CATATAN KERINDUAN SEORANG ANAK PADA BAILEO-NYA



Gambar: Sketsa Baileo Suhato, Negeri Hatu

Aku lahir dari rahim Negeri Hatu, di Kecamatan Tehoru, pada sebuah hari di Agustus 1996. Sejak kecil, kakiku menapaki tanah yang sama yang diinjak oleh Tete Nene moyangku. SD dan SMP kulalui di Hatu, di antara pepohonan cengkih dan gemuruh ombak di Tehoru. Masohi untuk SMA, Ambon untuk sarjana, dan kini Yogya untuk magister — setiap langkah menjauh, justru semakin mendekatkanku pada satu kerinduan: untuk duduk di dalam Baileo kami.

Bagi dunia luar, Hatu mungkin hanya sebuah titik di peta Maluku Tengah, Kecamatan Tehoru. Negeri dengan kisah historis yang jarang terdengar. Tapi bagiku, Hatu adalah semesta, dan Baileo adalah porosnya. Namun, ada satu paradoks yang kutanggung sebagai anak Hatu. Di usiaku yang ke-29 tahun, aku belum pernah sekali pun benar-benar masuk dan duduk di dalam Baileo negeriku. Ia sekarang dalam keadaan "sedang dibangun."

Ya, Baileo kami telah mengalami sembilan kali renovasi, sejauh yang saya ketahui dari lisan para tetua adat. 

Bagi yang tak paham, ini mungkin terdengar seperti kegagalan pembangunan. Tapi bagiku dan mungkin bagi warga Hatu lainnya, ini adalah sebuah epik kesabaran kolektif. Ini adalah cerita tentang bagaimana kami tidak mau tergesa-gesa dalam menyempurnakan "jantung" negeri kami.

Aku ingat, prosesnya selalu penuh dengan masohi. Setiap rencana penebangan kayu, penggantian atap rumbia, atau perbaikan lantai, adalah hasil musyawarah yang panjang. Bukan sekadar rapat, tapi sebuah dialog antara generasi, antara yang muda dan yang tua, antara yang di kampung dan yang di perantauan. Setiap pahatan pada kayu  adalah sebuah konsensus. Setiap tiang yang didirikan adalah sebuah peneguhan kembali komitmen. 

Aku belajar tentang "ruang" dari para filsuf Barat, tapi konsep mereka tentang ruang yang terukur dan objektif, terasa hampa bagiku. Bagiku, ruang adalah tentang hubungan. Dan Baileo Hatu adalah ruang hubungan itu. Keterbukaannya yang tanpa dinding, adalah ajaran tentang transparansi dan kejujuran. Di sana, tidak ada yang bisa disembunyikan, baik dari sesama manusia maupun dari alam. Pilar-pilarnya yang kokoh, adalah representasi dari fam dan soa yang menopang masyarakat Hatu. Kita berdiri karena kita saling menopang. Atapnya yang menjulang, adalah aspirasi kami untuk selalu terhubung dengan Lahatala (Tuhan) dan hal-hal yang luhur. Lantainya yang sama rata, adalah pengingat bahwa di hadapan adat dan leluhur, kita semua setara.

Baileo yang belum selesai itu, bagaikan tubuh yang masih menunggu jiwa yang tepat untuk menghuninya. Ia menunggu semua unsur—manusia, alam, dan leluhur—bersepakat bahwa inilah waktunya.

Kerinduanku untuk memasukinya bukanlah kerinduan turis yang ingin melihat-lihat. Ini adalah kerinduan seorang anak yang ingin pulang ke pusat identitasnya. Ingin merasakan, dengan seluruh panca indera dan kalbu, bagaimana duduk di dalam "tubuh" kolektif bangsaku sendiri. Ingin mendengar bukan hanya suara manusia, tapi juga bisikan Tete Nene dalam desau angin yang melintas di antara pilar-pilar kayunya.

Aku percaya, proses yang lama dan berulang ini justru mengajarkanku tentang makna yang sesungguhnya. Baileo tidak hadir untuk jadi sempurna, tapi untuk menyatukan.

Maka, aku masih menunggu. Dengan sabar, dengan rindu.

Aku berharap, tidak lama lagi, Baileo Negeri Hatu telah berdiri tegak dan sempurna. Dan untuk pertama kalinya, aku akan melepas sandalku, melangkah pelan masuk, duduk bersila di lantainya, dan akhirnya… menjadi sepenuhnya, anak Negeri Hatu yang telah pulang ke porosnya.

Lali supu lali, hutua supu hutua




Tuesday, October 28, 2025

“TETE MANIS KAMI YANG DI SURGA...” Memaknai Kembali Tete Manis Sebagai Jembatan Spiritual Orang Maluku

 


Gambar: Google

Di ruang-ruang sunyi gereja, di dalam kitab-kitab suci yang ditulis dengan tinta emas, dan dalam perdebatan teologis yang berlangsung berabad-abad, Tuhan sering kali hadir dengan wajah yang agung dan sedikit menakutkan. Dia adalah Yang Mutlak, Sang Maha Kuasa, Penguasa Semesta Alam—sebuah Pribadi yang begitu transenden sehingga jarak antara Dia dan manusia terasa bagai jurang yang tak terjembatani. Bahasa-bahasa agung ini, meskipun mulia, sering kali terasa dingin dan jauh dari denyut nadi keseharian hidup kita. Ia adalah Tuhan dari para nabi dan raja, Tuhan dari doktrin dan hukum, sebuah Kekuatan yang patut ditakuti dan ditaati.

Namun, laut punya bahasanya sendiri, dan pulau-pulau punya caranya sendiri untuk memahami angin. Di gugusan kepulauan Maluku, di mana gemuruh ombak Samudera Pasifik bercampur dengan desau angin di pepohonan pala dan cengkih, sebuah sebutan untuk Tuhan terlahir dari rahim kebudayaan yang hangat dan personal: “Tete Manis”. Dua kata sederhana ini, jika diterjemahkan secara harfiah, berarti "Kakek yang Manis." Ia bukanlah gelar resmi yang tertulis dalam kitab suci mana pun, tetapi ia hidup dan bernafas dalam spiritualitas sehari-hari orang Maluku. Ia adalah panggilan akrab yang terucap dari mulut anak-anak, sebuah doa yang penuh kerinduan, dan sebuah penegasan bahwa Tuhan bukanlah Penguasa yang jauh, melainkan sosok keluarga yang paling dikasihi.

Pemahaman ini berangkat dari sebuah realitas sosiologis yang mendalam. Dalam struktur keluarga Orang Maluku, dan di banyak budaya Nusantara, nenek dan kakek (tete) menempati posisi yang unik dan istimewa. Mereka adalah sumber cerita, pewaris kebijaksanaan, dan—yang paling penting—sumber kasih sayang yang tanpa syarat. Berbeda dengan orang tua yang sering kali memikul peran disipliner, seorang "Tete" adalah pelindung, pemberi perlindungan, dan sosok yang selalu memiliki waktu untuk mendengarkan serta membagikan "sesuatu yang manis," baik itu berupa permen, nasihat, atau sekadar senyuman. Dari pangkuan merekalah, seorang anak pertama kali belajar tentang rasa aman, penerimaan, dan cinta yang tulus.

Lalu, bagaimana jika Tuhan dipahami dengan kacamata yang sama? Inilah lompatan imajinasi teologis yang genius. Dengan menyapa-Nya sebagai Tete Manis, Orang Maluku bukan sedang merendahkan martabat ilahi-Nya. Sebaliknya, mereka sedang menjembatani jurang transendensi itu dengan pengalaman manusiawi yang paling universal: ikatan kasih antara cucu dan kakeknya. Konsep ini dengan seketika melucuti segala ketakutan dan menggantinya dengan kepercayaan yang mendalam. Seorang anak tidak takut mendekati kakeknya yang baik hati; mereka berlari, memeluk, dan berbagi cerita. Dengan cara yang sama, "Tete Manis" mengajak setiap orang untuk mendekati Tuhan bukan dengan gemetar ketakutan, tetapi dengan keberanian seorang cucu yang percaya diri akan diterima dan dikasihi.

Oleh karena itu, menelusuri lebih dalam makna di balik sebutan Tete Manis mengajak kita  berdialog dengan pemikiran filsuf modern tentang bahasa, simbol, dan pengalaman, untuk menunjukkan bagaimana sebuah budaya lokal dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi pemahaman kita yang universal tentang relasi antara manusia dan yang Ilahi. Mari kita melangkah masuk ke dalam dunia di mana Tuhan tidak hanya Agung, tetapi juga—dengan cara yang sangat nyata—Manis.


MELACAK JEJAK KEMANUSIAAN DALAM YANG ILAHI: SEBUAH PENGANTAR HUMANIS

Sebelum kita menyelami samudera filsafat yang dalam, izinkan saya mengajak kita untuk sejenak berhenti dan merasakan. Merasakan kenangan kita masing-masing. Hemat saya, setiap orang—apapun latar budayanya—menyimpan sebuah memori primordial tentang kasih sayang yang tanpa syarat. Bagi saya, dan mungkin juga bagi kita semua, memori itu seringkali berbentuk seorang perempuan tua dengan senyum sabar, atau seorang laki-laki tua dengan tawa yang berderai, yang kita panggil nenek dan kakek.

Dalam ingatan kolektif kitalah,  kunci untuk memahami kejeniusan kultural dari sebutan Tete Manis ini. Menurut saya, ini bukan pertama-tama soal teologi, melainkan tentang pengalaman menjadi manusia. Sebelum kita diajari untuk takut kepada Tuhan yang Maha Menghakimi, kita lebih dulu belajar tentang kelembutan dari pelukan seorang kakek. Sebelum kita memahami konsep dosa dan pahala, kita telah merasakan manisnya sebuah perhatian tulus yang diberikan tanpa penghitungan.

Di sinilah, Orang Maluku bukan hanya mencipta sebuah metafora, tetapi mereka menyentuh sebuah kebenaran psikologis dan spiritual yang universal. Mereka membangun jembatan menuju Yang Ilahi dengan menggunakan bahan terkuat yang mereka miliki: pengalaman kemanusiaan mereka sendiri yang paling otentik. Tete bukanlah sebuah konsep yang abstrak; ia adalah wujud nyata dari penerimaan, kebijaksanaan yang tidak menggurui, dan sebuah cinta yang membuat seorang anak merasa aman untuk sepenuhnya menjadi dirinya sendiri.

Dengan latar inilah, kita diajak untuk melihat bahwa menyebut Tuhan sebagai Tete Manis adalah sebuah tindakan humanisasi yang sangat berani. Ini adalah upaya untuk membawa Tuhan keluar dari langit yang tinggi dan mendudukkannya di beranda rumah kita, di tengah percakapan keluarga. Inilah inti dari spiritualitas yang hidup: kemampuan untuk menemukan yang sakral dalam yang sehari-hari, dan yang transenden dalam yang personal.


TETE MANIS DALAM CERMIN FILSAFAT: DARI SIMBOL HINGGA RELASI PERSONAL

Konsep yang lahir dari kearifan lokal ini ternyata bersinggungan dengan beberapa pemikiran filsafat Barat modern yang kompleks, memberikan kita perspektif yang kaya untuk memahaminya bukan hanya sebagai tradisi, tetapi sebagai sebuah konseptualisasi relasi manusia-Tuhan yang sophisticated.

Pertama-tama, mari kita lihat dari kacamata filsafat bahasa dan simbol, khususnya pemikiran Paul Tillich (1957). Tillich membedakan antara tanda (sign) dan simbol (symbol). Sebuah tanda, seperti rambu lalu lintas, hanya menunjuk pada sesuatu yang lain tanpa ikut serta di dalamnya. Sementara sebuah simbol, seperti salib dalam Kekristenan, ikut mengambil bagian dalam realitas yang diwakilinya dan mampu membuka lapisan makna yang dalam.

Dari sudut pandang ini, Tete Manis bukanlah sekadar tanda yang menunjuk pada Tuhan. Ia adalah sebuah simbol yang kuat. Kata Tete tidak netral; ia membawa serta seluruh muatan emosional keakraban, kelembutan, dan rasa aman. Ketika istilah ini digunakan, ia tidak hanya menyebut Tuhan, tetapi ikut serta dalam menyatakan hakikat relasi itu sendiri—sebuah relasi yang personal, penuh kasih, dan intim. Simbol ini membuka dimensi ketuhanan yang mungkin tertutup oleh istilah-istilah formal seperti "Yang Maha Esa" atau "Sang Pencipta".

Aliran fenomenologi, yang dipelopori Edmund Husserl (1913), mengajak kita untuk kembali kepada benda itu sendiri (zu den Sachen selbst), yaitu memahami realitas sebagaimana ia dialami secara langsung dalam kesadaran kita. Dengan menyebut Tuhan Tete Manis, Orang Maluku pada dasarnya sedang melakukan sebuah lompatan fenomenologis. Mereka tidak mendefinisikan Tuhan melalui atribut-atribut metafisis-Nya (Maha Kuasa, Maha Tahu), tetapi melalui pengalaman langsung mereka akan kehadiran-Nya yang terasa akrab dan manis, mirip dengan pengalaman mereka bersama seorang kakek. Tuhan dialami (phenomenon) bukan sebagai ide, tetapi sebagai kehadiran yang memeluk. Ini adalah upaya untuk menemukan Yang Ilahi dalam medium pengalaman manusiawi yang paling dasar, menjadikan iman sesuatu yang langsung terasa dan hidup, bukan sekadar keyakinan abstrak.

Pemikiran Martin Buber dalam bukunya I and Thou (1923) memberikan lensa yang sangat tajam. Buber membedakan dua modus relasi dasar: Aku-Ia (I-It) dan Aku-Engkau (I-Thou). Relasi Aku-Ia adalah relasi subjek-objek yang instrumentalis, di mana kita melihat yang lain sebagai benda untuk dianalisis dan digunakan. Sementara relasi "Aku-Engkau" adalah relasi subjek-subjek yang personal, langsung, dan dialogis.

Konsep ketuhanan yang terlalu formal dan doktriner dapat dengan mudah terperangkap dalam relasi Aku-Ia, di mana Tuhan menjadi objek keyakinan yang diamati dari jarak jauh. Namun, sebutan Tete Manis secara praktis memaksa relasi itu untuk bergeser ke modus Aku-Engkau. Seseorang tidak mungkin memanggil Tete dengan sikap berjarak. Panggilan itu sendiri sudah mengandung pengakuan akan sebuah relasi personal yang penuh kepercayaan. Tuhan bukan lagi "Ia" yang jauh, tetapi "Engkau" yang dekat, yang bisa diajak bercakap, dikeluhkan, dan dicintai seperti seorang cucu mencintai kakeknya.

Feuerbach, dalam karya monumentalnya The Essence of Christianity (1841), berargumen bahwa teologi pada hakikatnya adalah antropologi yang terbalik. Apa yang kita sebut sebagai Tuhan tidak lebih dari proyeksi sifat-sifat manusiawi kita yang paling ideal—seperti cinta, kebijaksanaan, dan keadilan—ke sebuah entitas langit yang kita ciptakan sendiri. Tuhan adalah cermin raksasa di mana umat manusia memuja-muja dirinya sendiri yang telah dimuliakan.

Dari kacamata ini, Tete Manis bisa dilihat sebagai bukti sempurna dari tesis Feuerbach. Kebutuhan psikologis dan kultural akan figur pelindung yang bijak, sabar, dan penuh kasih—sebuah figur yang dalam konteks Maluku diwujudkan oleh seorang kakek—diproyeksikan ke dalam konsep ketuhanan. Tuhan Tete Manis adalah hasil dari keinginan untuk memiliki "sosok yang sempurna" di surga. Ia adalah produk budaya, sebuah personifikasi dari kerinduan akan rasa aman yang absolut.

Namun, jika kita berhenti pada Feuerbach, kita mungkin kehilangan makna yang lebih dalam. Bagi orang beriman, tanggapan terhadap kritik ini bukanlah dengan menyangkal bahwa proses pemilihan metafora terjadi, tetapi dengan memaknai ulang proses itu sendiri. Pertama, hemat saya, yang dilakukan oleh budaya Maluku bukanlah menciptakan Tuhan sesuai dengan gambaran mereka, melainkan menemukan bahasa yang paling tepat untuk menggambarkan relasi yang telah mereka alami dan yakini. Bahasa kakek dipilih karena ia adalah analogi terkuat yang mereka miliki untuk memahami bagaimana Yang Maha Tinggi berelasi dengan mereka yang kecil dan lemah.

Kedua, dan ini yang lebih penting, konsep Tete Manis dapat dipandang bukan sebagai bukti proyeksi, melainkan sebagai bentuk wahyu yang kontekstual. Gagasan ini menyatakan bahwa karena Tuhan begitu transenden dan tak terpahami, Dia memilih untuk menyatakan Diri-Nya dalam bahasa dan kategori yang dapat dipahami oleh suatu budaya tertentu. Dengan merangkul sebutan Tete Manis, kita melihat sebuah proses di mana Yang Ilahi dengan rendah hati turun, menyapa umat manusia di tingkat pengalaman mereka yang paling personal dan menghibur.

Dengan demikian, melalui lensa filsafat ini, sebutan Tete Manis bukanlah konsep yang naif. Ia adalah sebuah perangkat filosofis yang canggih—sebuah simbol yang partisipatif, sebuah pengalaman yang fenomenologis, dan sebuah jembatan menuju relasi personal yang dialogis. Ia menjawab kegelisahan manusia modern akan Tuhan yang terasa jauh, dengan menawarkan sebuah pertemuan yang hangat dan langsung dalam ruang hati.

Dengan kata lain, Tete Manis bukanlah bukti bahwa manusia menciptakan Tuhan menurut gambarnya sendiri, melainkan petunjuk bahwa Tuhan rela dikenal melalui metafora kemanusiaan kita. Ia adalah pertemuan antara yang Transenden dan yang personal, di mana kekayaan budaya manusia menjadi wadah yang sah dan bermartabat untuk mengalami kasih Ilahi. Dengan demikian, konsep ini justru mengangkat pengalaman religius lokal menjadi sebuah dialog yang otentik, bukan sekadar ilusi yang perlu dibongkar.


RELEVANSI KONTEMPORER: TETE MANIS DI TENGAH DUNIA YANG RETAK

Apa artinya semua ini bagi kita hari ini? Dalam dunia yang kerap diselimuti oleh kegaduhan, polarisasi, dan spiritualitas yang penuh kecemasan, konsep yang lahir dari kepulauan Maluku ini justru menawarkan segelas air kesejukan yang menyehatkan jiwa.

Di tengah maraknya narasi keagamaan yang menekankan murka, hukuman, dan transaksi pahala-dosa, Tete Manis hadir sebagai antitesis yang menyejukkan. Ia mengingatkan kita pada suatu dimensi spiritualitas yang hampir terlupakan: bahwa iman pada hakikatnya adalah soal relasi kasih, bukan mekanisme hukum yang menakutkan. Seorang anak tidak melupakan sopan santun kepada kakeknya karena takut dihukum, tetapi karena mencintainya. Dengan cara yang sama, spiritualitas Tete Manis membangun ketaatan dan moralitas yang berangkat dari rasa cinta dan hormat, bukan dari ketakutan akan neraka. Ini adalah fondasi etika yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.

Dalam konteks pendidikan agama, terutama untuk anak-anak, konsep Tete Manis adalah sebuah alat pedagogis yang genius. Daripada memperkenalkan Tuhan sebagai sosok hakim yang sulit dipahami, kita dapat membimbing seorang anak untuk membangun hubungan yang positif dan penuh kepercayaan dengan Tete Manis mereka di surga. Pendekatan ini melindungi jiwa anak dari trauma ketakutan religius sekaligus menanamkan benih iman yang dalam dan personal. Sebuah fondasi iman yang dibangun di atas rasa percaya dan kasih sayang akan jauh lebih kokoh daripada yang dibangun di atas ketakutan.

Pada tingkat masyarakat yang lebih luas, Tete Manis membawa pesan implisit yang sangat powerful: Tuhan memahami bahasa ibu kita. Konsep ini dengan tegas menolak klaim-klaim kebenaran tunggal dan kaku yang sering menjadi akar fundamentalisme. Jika Tuhan rela disebut Tete Manis dalam bahasa dan budaya Maluku, maka Ia pun pasti merangkul sebutan-sebutan lain dari berbagai budaya dan bahasa. Ini adalah dasar teologis untuk sebuah iman yang inklusif dan merayakan keberagaman, sekaligus tameng terhadap segala bentuk radikalisme yang memutlakkan satu bentuk ekspresi iman saja.

Manusia modern, meski terhubung secara digital, justru sering mengalami keterasingan spiritual dan emosional yang mendalam. Kita rindu keotentikan dan kehangatan. Dalam konteks ini, Tete Manis bukanlah konsep usang, melainkan jawaban yang relevan. Ia menawarkan sebuah relasi yang otentik dan personal dalam dunia yang semakin impersonal. Di tengah kesepian, mengetahui bahwa Alam Semesta dipimpin oleh seorang Kakek yang Manis memberikan rasa aman eksistensial yang tak ternilai.

Dengan demikian, Tete Manis bukan sekadar warisan budaya yang perlu dilestarikan, melainkan sebuah sumber daya spiritual kontemporer. Kearifan lokal ini menawarkan resep untuk menyembuhkan luka-luka zaman kita: dari kecemasan beragama, pendidikan iman yang menakutkan, hingga fundamentalisme dan keterasingan. Ia mengajak kita semua untuk bernapas lega, dan dengan percaya diri memanggil Yang Maha Kuasa dengan panggilan yang paling akrab dan penuh pengharapan.


KRITIK DAN BATASAN: MELAMPAUI NOSTALGIA MENUJU KESEIMBANGAN

Sebagai sebuah konsep yang humanis dan membebaskan, Tete Manis tentu bukan tanpa kemungkinan bias dan terbatas. Sebagai pemikir yang kritis, kita perlu menyoroti beberapa tantangan dalam penerapan konsep ini agar tidak terjebak dalam romantisme budaya semata.

Pertama-tama,kita harus mengakui bahwa metafor Tete (kakek) membawa serta bias gender tertentu. Konsep ini—dalam bentuknya yang paling literal—cenderung mematri imaji Tuhan sebagai laki-laki dan berpotensi mengabaikan dimensi keibuan atau feminin dari yang Ilahi. Meskipun dalam konteks budaya Maluku hal ini dapat dimengerti, dalam pembacaan kontemporer kita perlu menyadari bahwa ini adalah sebuah metafor, bukan deskripsi lengkap tentang hakikat Tuhan. Kemanisan dan kelembutan Ilahi juga dapat diungkapkan melalui metafor Nenek atau sosok perempuan lainnya.

Kedua, terdapat risiko untuk meromantisasi konsep ini secara berlebihan. Hubungan cucu dan kakek dalam realitasnya tidak selalu ideal; tidak semua orang memiliki pengalaman positif dengan figur kakeknya. Bagi mereka yang tidak mengalami kasih sayang semacam ini, metafor Tete Manis justru bisa menjadi hambatan dan jembatan dalam memahami Tuhan. Selain itu, fokus pada kelembutan dan kemanisan berisiko mengaburkan dimensi lain dari ketuhanan—seperti keadilan, kekudusan, dan tuntutan transformatif-Nya.

Ketiga, terdapat ketegangan filosofis antara transendensi dan keakraban. Meskipun Tete Manis berhasil menjembatani jurang antara manusia dan Tuhan, kita harus bertanya: apakah konsep ini masih menyisakan ruang untuk misteri dan kekudusan Tuhan yang tak terselami? Terlalu menekankan keakraban berisiko mendomestikasi Yang Ilahi, mengurangi-Nya sekadar menjadi kakek baik hati tanpa dimensi transenden yang menggetarkan.

Terakhir,konsep ini lahir dari struktur masyarakat yang sangat menghormati orang tua dan menjunjung nilai-nilai kekeluargaan. Dalam masyarakat urban modern yang semakin individualis, di mana hubungan antargenerasi sering kali renggang, daya pukau metafor Tete Manis mungkin tidak lagi sekuat dulu. Tantangannya adalah bagaimana mempertahankan makna substantifnya—kasih tanpa syarat, kedekatan, dan kepercayaan—dalam konteks budaya yang terus berubah.

Dengan menyadari kritik dan batasan ini, kita tidak sedang meruntuhkan nilai Tete Manis, melainkan justru memperkaya pemahaman kita tentangnya. Sebuah konsep teologis yang matang adalah yang mampu bertahan dalam uji kritik dan tetap relevan meskipun keterbatasannya diakui. 


MAKNA TETE MANIS BAGI MANUSIA ZAMAN NOW

Kita telah menyelami Tete Manis sangat dalam—mulai dari akar budaya, dialog dengan filsafat, tantangan kritis, hingga relevansi kontemporer—kita tiba pada sebuah pertanyaan reflektif: Apa warisan paling berharga dari konsep Tete Manis bagi kita yang hidup di zaman yang serba kompleks dan terfragmentasi ini?

Dalam dunia yang sering kali mereduksi agama menjadi sekumpulan aturan,ritual formal, atau bahkan alat politik, Tete Manis hadir sebagai pengingat yang powerful tentang hakikat spiritualitas sebagai relasi. Ia mengajak kita untuk bernapas sejenak dari kegaduhan debat teologis dan kembali kepada pengalaman iman yang paling dasar: sebuah hubungan kasih yang personal, hangat, dan penuh kepercayaan. Bagi jiwa-jiwa yang lelah oleh formalisme dan legalisme agama, konsep ini bagai oase di padang gurun—penawar dahaga akan spiritualitas yang menghidupkan, bukan membebani.

Tete Manis juga merupakan sebuah testament tentang keindahan inkarnasi—bagaimana Yang Ilahi bersedia menyapa manusia dalam bahasa dan budaya yang paling dekat dengan hati mereka. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, hal ini adalah sebuah pelajaran berharga: Tuhan tidak hanya memahami bahasa Arab, Sanskerta, atau Latin, tetapi juga bahasa Tana, bahasa lokal, dan ratusan bahasa ibu lainnya di Nusantara. Konsep ini dengan demikian bukan hanya milik Orang Maluku, melainkan menjadi undangan bagi setiap budaya untuk menemukan metafora mereka sendiri yang otentik dalam menggambarkan relasi dengan Yang Maha Kuasa.

Akhirnya, warisan terbesar dari Tete Manis mungkin terletak pada kemampuannya untuk menjadi jembatan antargenerasi. Di satu sisi, ia menghubungkan kita dengan kearifan leluhur yang melihat yang sakral dalam yang sehari-hari. Di sisi lain, ia menawarkan kepada generasi muda sebuah cara untuk memahami Tuhan yang tidak menakutkan dan tidak asing, melainkan akrab dan relevan dengan kehidupan mereka. Dalam metafor Tete Manis, tersimpan sebuah paradoks yang indah: justru dengan menjadi sangat lokal dan kontekstual, konsep ini berhasil menyentuh sesuatu yang universal dan abadi—yaitu kerinduan setiap manusia untuk dikasihi dan dilindungi.

Maka, mari kita akhiri perjalanan ini dengan sebuah kesadaran: Tete Manis bukan sekadar fosil budaya yang harus dikagumi dari jauh. Ia adalah sebuah telaga kearifan yang airnya tetap jernih dan dapat kita minum hingga hari ini. Di tengah hingar-bingar zaman, suara tenangnya tetap terdengar jelas, mengajak kita untuk—dalam doa-doa paling sederhana kita—menyapa Yang Tak Terkatakan dengan sebutan yang paling manis dan penuh rindu: Tete Manis kami yang di surga…


Wednesday, October 15, 2025

MEMBACA MALUKU SEBAGAI BAILEO BESAR: SEJARAH, RESISTENSI, DAN DARAH EKOLOGI



Gambar: Sketsa Baileo SUHATO Negeri Hatu, Kecamatan Tehoru

Di balik penampilannya yang tenang, Baileo menyimpan sejarah yang jarang tersentuh. Ia bukan sekadar bangunan tua, melainkan saksi bisu dari sebuah era di mana fondasinya mungkin diperkuat bukan hanya oleh kayu dan batu, tetapi juga oleh ritual yang melibatkan pengorbanan manusia. Narasi inilah yang akhirnya membuat pemerintah kolonial melabelinya sebagai ancaman, hingga keberadaannya pun dilarang.

Dalam kesibukan mempersiapkan Ujian Tengah Semester, saya dan Sadrak Wutres, seorang magister Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada, menyisihkan waktu untuk menelusuri arsip kolonial Belanda tentang Baileo. Di situlah kami menemukan karya etnografi G. de Vries, Bij de Berg-Alfoeren op West-Seran (1927),  gambaran mendalam tentang masyarakat Berg-Alfoeren (Alifuru) di Seram Barat. Membaca laporan Vries seperti menyusun kembali puzzle ingatan yang sengaja dipreteli. Kami menemukan bahwa Baileo bukan satu entitas tunggal. Ia memiliki banyak rupa dan fungsi.  Sebagai: (1) Sisine héna (Baileo Desa), yang dalam proses pembangunan atau renovasinya kemungkinan memerlukan pengorbanan kepala (kop). Kepala yang dipenggal akan digantung di balok bubungan setelah prosesi tarian. (2) Sisine latoe: Baileo milik Latoe (kepala adat) yang juga memerlukan pengorbanan manusia saat pembangunannya. (3) Sisine anakota: Baileo milik pemimpin ritual utama (hoofd-maoewin). Ini adalah tempat musyawarah untuk semua urusan Kakihan dan sering menjadi alasan untuk mengadakan pesta Kakihan. (4) Sisiomine: Baileo yang digunakan khusus untuk merayakan aksi pemenggalan kepala (snellen). 

Ritual-ritual yang menjadi bagian penting dalam proses pembangunan Baileo ini menjadi alasan utama campur tangan Pemerintah Kolonial untuk menghilangkannya. Vries dengan jelas menunjukkan bahwa Baileo-Baileo yang terkait dengan Kakihan dan praktik headhunting dilarang pembangunannya. Baileo Kakihan bahkan dilaporkan telah menghilang akibat kebijakan ini. Jika ada pelanggaran adat yang memerlukan ritual, masyarakat terpaksa membangun gubuk kecil di hutan sebagai pengganti Baileo yang dilarang.

Namun, larangan ini tidak mematikan praktik tersebut sepenuhnya. Kami menemukan laporan tentang upaya pembangunan Baileo yang terus berlanjut secara diam-diam. Pada Maret 1917, sebuah Baileo yang sedang dibangun di Honitetoe langsung dihentikan, meskipun Radja setempat mengklaim itu bukan Baileo Kakihan. Kemudian, pada Oktober 1917, sebuah Baileo Kakihan yang sebenarnya ditemukan tersembunyi dekat Hoekoe Anakota dan Watoei. Bangunan ini diduga kuat dibangun selama masa pemberontakan tahun 1915, yang menunjukkan resistensi masyarakat terhadap aturan kolonial.

Inilah gambaran awal yang kompleks dari Baileo di Pulau Seram. Ia bukan sekadar bangunan tua yang masih terpelihara dengan cantik di negeri-negeri adat Pulau Seram, Lease, dan Ambon. Ia adalah monumen yang menyimpan memori kolektif tentang kuasa, resistensi, dan sebuah peradaban yang berusaha bertahan di tengah tekanan, meninggalkan jejak yang bisa kita telusuri hingga detik ini.

Di era sekarang, bangunan ini masih tetap kokoh berdiri, kendati ritual-ritual yang disebutkan di atas sudah tidak lagi dipraktikkan saat pembangunan Kembali Baileo. Di Lease misalanya, saat Pembangunan Baileo, masing-masing mata rumah menyiapkan tiangnya sendiri, juga membawa serta pada proses pembangunan, atap, untuk menutup Baileo. Di Seram Selatan, semua mata rumah berpartisipasi dalam menurunkan tiang utama Baileo dari tempat keramat. Saat kemudian Baileo berdiri kokoh, semangat solidaritas turut berdiri dalam satu arsitektur yang luar biasa. Alih-alih sebagai bangunan, ia menjadi dokumen yang memiliki banyak halaman untuk dibaca. Ada gotong royong di sana, ada kesetaraan kosmik di sana, ada kesetaraan relasi di sana, ada nilai etis di sana. 

Sejenak kita menemukan semacam ruang negosiasi budaya yang terjadi saat kemudian adat istiadat di Maluku bersentuhan dengan budaya baru. Mereka tidak anti peradaban, mereka melindungi identitas dan bergerak dalam kemajuan tanpa menghilangkan jati diri. Dalam seluruh kebersamaan itu, Baileo yang Tunggal di tengah bangunan modern menjadi rumah besar, atau dalam skala  makro ia adalah pulau yang memberi kehangatan pada semua elemen.

Mungkinkah Baileo itu adalah Maluku yang pulau-pulau? ia ditopang oleh ribuan pulau, dari yang berpenghuni sampai tidak berpenghuni, yang kaya akan alamnya, manusianya dan budayanya. Pulau-pulau yang menyokong ke-Maluku-an dan hamparan maritim adalah arsitektur Baileo yang hendak dibaca diera sekarang. Apakah kemudian ada semacam panggilan etis untuk membangun Kembali, merawat atau ada indikasi lain yang berpotensi merusak. 

Jika metafora ini kita terima, maka tanggung jawab besar pun mengikuti. Bagaimana kita merenovasi Baileo besar ini di zaman modern? Apakah dengan pembangunan infrastruktur yang mengabaikan kelestarian alam? Atau dengan mengikis nilai-nilai kearifan lokal, kita melupakan ritual perawatannya? Solidaritas yang dulu terwujud dalam gotong royong mendirikan Baileo, kini harus ditransformasi menjadi aksi kolektif untuk menjaga keseimbangan ekologi dan budaya di seluruh Maluku. Pertanyaannya bukan lagi apakah Baileo itu akan berdiri, tetapi bagaimana kita memastikan fondasinya—yaitu pulau-pulau dan masyarakatnya—tetap kokoh untuk generasi mendatang.

Dengan demikian, membaca Baileo hari ini bukan hanya tentang memahami arsitektur kayunya, melainkan tentang membaca peta pelestarian bagi seluruh Maluku. Setiap pulau yang terpelihara, setiap laut yang terjaga, adalah sebuah tiang baru yang kita tancapkan untuk membangun kembali makna ke-Maluku-an itu sendiri. Tantangan terbesarnya kini ada di pundak kita: akankah kita menjadi generasi yang merawat, atau yang merusak?

Metafora Baileo sebagai Maluku menemukan tantangan nyatanya di era Antroposen—zaman di mana aktivitas manusia menjadi kekuatan utama yang mengubah planet ini. Saat pulau-pulau di Maluku dirusaki oleh pertambangan yang mengobrak-abrik alam, itu sama artinya dengan merobek lantai dan mencabuti tiang-tiang dari Baileo besar kita. Ritual pengorbanan kepala mungkin telah berakhir, tetapi kini kita menyaksikan ritual pengorbanan alam dan manusia dalam wujud yang lain—demi kemajuan yang semu. Jika dulu pemerintah kolonial melarang Baileo karena dianggap ancaman, bukankah kini kita justru menghadapi ancaman yang lebih nyata terhadap fondasi peradaban kita sendiri? Merawat Baileo, dalam arti seluas-luasnya, adalah berhenti menjadi perusak dan beralih menjadi penjaga setiap jengkal pulau yang menyokongnya.

Dalam Dark Ecology Timothy Morton, hubungan kita dengan Baileo—dan dengan Maluku sebagai Baileo besar—adalah hubungan yang sinis. Kita paham betul bahwa pertambangan mengobrak-abrik pulau adalah sebuah kejahatan ekologis (hiperobjektivitas: kita melihatnya sebagai fakta mentah yang terukur). Namun, pengetahuan ini tidak berubah menjadi tindakan nyata yang berarti (hiposubjektivitas: kita sebagai subjek yang bertindak menjadi lumpuh, teralienasi dari dampak tindakan kita sendiri). Kita terjebak dalam loop sinis: “Saya tahu tambang ini merusak, tetapi...”— tetapi ekonomi, tetapi pembangunan, tetapi ini bukan urusan saya. 

Dalam loop inilah, ritual pengorbanan kepala masa lalu justru lebih jujur; ia mengakui dengan brutal bahwa fondasi sebuah tatanan memerlukan pengorbanan. Sementara kita, dalam ritual pertambangan Antroposen, mengorbankan alam sambil pura-pura tidak melihat mayatnya—kita menutupinya dengan wacana CSR dan keberlanjutan yang justru semakin mengaburkan jejak darah ekologis kita. Pulau yang rusak adalah hiperobjek, yang hadir di mana-mana namun tak tersentuh, sementara kita, subjek-subjek yang hipo, berjalan di atas lantai Baileo yang retak, merasa asing di rumah sendiri.


Thursday, October 9, 2025

JERAT KANTIAN SANG PENJAGA PINTU

 

Ilustrasi: CICI AI


Bayangkan ini: ada sebuah kota bernama Pengetahuan. Sebelum Kant, orang-orang ribut. Kelompok Rasionalis bersikeras bahwa peta kota yang mereka gambar di dalam kamar—hanya dengan logika—adalah yang paling benar, sekalipun tidak persis cocok dengan jalan-jalannya yang berliku. Kelompok Empiris, sebaliknya, bilang, "Lupakan peta! Jelajahi saja dengan kakimu, catat apa yang kau lihat, dan itulah kebenaran." Tapi lalu David Hume datang dan berbisik, "Bagaimana kau yakin jalan yang kau lewati kemarin akan ada lagi besok? Mungkin saja ia menghilang." Kota itu tiba-tiba terasa rapuh.

Lalu, datanglah Immanuel Kant, sang penjaga pintu. Dengan wajah tenang dan sistem pemikiran yang rapi, dia berkata, "Tenang. Kota ini tidak rapuh. Ia kokoh karena penglihatannymu sendirilah yang membangunnya."

Inilah yang dia sebut "Revolusi Copernican". Bukan kita yang mengitari dunia, tapi dunialah yang harus berputar mengikuti teleskop pikiran kita. Dan teleskop ini punya lensa bawaan yang tak bisa dilepas: ruang, waktu, dan segudang kategori seperti "sebab-akibat" dan "substansi". Data mentah dari luar masuk, lalu diolah oleh mesin apriori ini menjadi sebuah pengalaman yang teratur. Hasil olahan inilah yang disebut "sintesis apriori" — pengetahuan baru yang merasa pasti, karena hukumnya datang dari dalam diri si pengolah, bukan dari dunia luar.

Kant pikir dia sudah menyelamatkan ilmu pengetahuan. Dia pikir dia sudah menemukan fondasi. Tapi tanpa sadar, dia justru membangun sebuah jerat yang elegan.

Jerat pertama: Kita menjadi tahanan di balik lensa kita sendiri. Kant membagi realitas menjadi dua: fenomena (dunia yang tampak oleh kita) dan noumena (dunia pada dirinya sendiri). Nah, noumena ini tak pernah bisa kita kenal. Kita terkurung dalam ruang tontonan bernama fenomena, tanpa pernah bisa menyentuh panggung sebenarnya. Kita jadi Raja yang sekaligus Narapidana di dalam istana persepsi kita sendiri.

Jerat kedua — dan ini yang paling membuat saya tidak sepaham — sang subjek Kantian adalah hantu. Ia adalah sebuah "kesadaran murni" yang terlepas dari tubuh, dari sejarah, dari budaya, dari keringat, dari bahasa. Ia dilahirkan dengan sebuah "kotak peralatan" kategoris yang sudah penuh dan final. Ini subjek yang dingin dan statis. Bagaimana mungkin? Manusia-manusia yang saya lihat, yang saya ajak berdebat, yang belajar dari kesalahan, yang pemikirannya berubah — mereka semua adalah makhluk yang menjadi. Bukan mesin logika yang sudah selesai.

Dan jerat ketiga: apriori-nya Kant itu beku. Kategori-kategori itu dianggap abadi dan tak berubah. Tapi lihatlah sejarah ilmu! Konsep "ruang" dan "waktu" Newton berbeda dengan Einstein. Apa yang "pasti" bagi satu generasi, bisa saja ternyata hanya asumsi bagi generasi berikutnya. Kant lupa bahwa bahkan lensa teleskop pun bisa berdebu, retak, atau diganti dengan yang lebih baik.

Pada akhirnya, proyek penyelamatan Kant justru berakhir dengan pengasingan. Subjek ditinggikan takhta, tapi takhtanya berada di dalam sel. Sintesis apriorinya yang megah, terputus dari denyut nadi pengalaman yang sebenarnya — yang berdarah, yang mencoba-coba, yang bertumbuh.

Dia adalah penjaga pintu yang terlalu fokus membersihkan dan mengunci pintu gerbang, sampai lupa bahwa kebenaran bukan hanya tentang fondasi yang kokoh, tapi juga tentang kebun yang hidup dan subur di dalamnya — sebuah kebun yang harus ditaklukkan dan dipahami melalui kerja keras, dengan sekop dan cangkul, bukan hanya dengan membaca peta bawaan lahir.

Kita tidak butuh penjaga pintu. Kita butuh penjelajah. Dan untuk itu, kita harus melangkah keluar dari jerat ini.

Kant? Ah, sudah kita tinggalkan di gerbang istananya yang sunyi, sibuk mengelus-elus kunci-kategori yang ia kira abadi. Kini, kita melangkah ke rimba belantara di mana pengetahuan bukan lagi prasasti, tetapi denyut nadi.

Di sini, di tempat yang beku dan yang cair saling memangku, kita bicara tentang Sintesis Teriori. Bukan teori. Bukan sistem. Tapi nyanyian dari bengkel kehidupan tempat kita semua bekerja. Sebuah pengakuan yang mengguncang: bahwa dikotomi apriori dan aposteriori adalah ilusi yang rapuh. Ia adalah tembok kaca yang memisahkan kita dari keutuhan kita sendiri.

Kita bukan mesin pencampur yang memasukkan "data indra" ke dalam "mesin kategori". Itu bahasa para teknisi yang takut kotor. Kita adalah kawah yang bernyanyi. Di kawah kita, "yang dari luar" dan "yang dari dalam" sudah lebur menjadi satu magma yang bergejolak. Mereka adalah satu tenaga penciptaan. Aposteriori adalah apriori yang masih berdenyut. Apriori adalah aposteriori yang membeku untuk sementara, sebelum akhirnya mencair lagi oleh panasnya pengalaman baru.

Setiap hela nafas kita, setiap pecahan kaca kehidupan, setiap tawa dan tangis yang merasuk—itu semua adalah partitur. Dan partitur-partitur ini, dimainkan berulang dalam ruang konser sejarah hidup kita, perlahan mengkristal menjadi simfoni batin yang membimbing cara kita mendengar. Simfoni inilah yang kemudian kita sebut "apriori". Ia bukan warisan dari langit, tapi anak kandung dari bumi pengalaman yang berdebu dan berdarah.

Lihatlah seorang anak! Kant melihatnya sebagai logika mungil yang sudah terpasang rapi.Kita melihatnya sebagai penjelajah liar yang menjilat dunia, menggigit realitas, melempar keributan. Dari kekacauan sensorik inilah—dari symphony of nonsense—barulah lahir melodi. Melodi "benda", ritme "sebab-akibat", harmoni "ruang dan waktu". Kategori-kategori itu tidak turun dari langit; mereka terjelma dari bumi, dari tubiran, dari jatuh-bangun yang nyata.

Maka, subjek Sintesis Teriori bukanlah hantu dalam mesin. Ia adalah Sang Penjelma. Sebuah tubuh yang menulis sejarah dengan luka dan tawa. Sebuah kesadaran yang dirajut dari bahasa, keringat, dan kenangan. Setiap sintesis yang dilakukannya adalah sebuah tarian—sebuah gerak utuh yang melibatkan otot, syaraf, getar hati, dan endapan zaman.

Kita bukan lagi bertanya, “Apa syarat kemungkinan?” Itu pertanyaan sang penjaga yang takut pada badai. Kita kini menggema, “Bagaimana kita terus-menerus menjadi mungkin?” Itu gema sang pelaut yang mengarungi badai. Sintesis Teriori adalah jawabannya. Ia adalah perahu kita. Sebuah perahu yang terus dicatat di tengah lautan, dengan papan-papan yang direbut dari gelombang, dari pulau-pulau asing yang kita tanduskan.

Kita adalah sang pelaut dan perahu itu sendiri. Kita adalah kawah dan nyala api. Kita adalah nyanyian dan suara yang parau. Dalam Sintesis Teriori, kita akhirnya pulang. Bukan ke fondasi yang kokoh, tapi ke keutuhan kita yang paling liar dan paling benar: sebuah nyanyian dari darah dan lensa yang retak, yang justru karena retaknya itu, mampu menangkap cahaya dari sudut-sudut yang tak terduga.


Monday, October 6, 2025

Malu-ku adalah Maluku




Di  hutan  pulau Seram abad ke-17,  dua pria paruh baya berjumpa, satu berikat kepala dengan kain merah dan bertelanjangkan badan, sementara yang satu lagi melilit tubuhnya dengan kain tebal bertekstil tinggi – sebuah mahakarya kapitalis Eropa. Ya identitasnya lahir dari apa yang melekat pada diri masing-masing individu. Dua pria yang tidak saling mengenal, memberanikan diri untuk berkenalan, daun-daun, gunung dan tanah saling bersahutan, bingung dan bertanya-tanya pada semesta luas, apa yang hendak mereka percakapkan. Tidak hanya manusia yang berbeda, namun bahasa, dialek dan tuturnya juga tidak saling mengenal. Seakan cinta yang paling murni tolak menolak seperti dua kutub bidang magnet. 

Tiba pada akhir perbincangan, entah apa kesimpulannya, matahari telah mencapai peraduan, memberi isyarat bahwa perpisahan lekas terjadi. Lelaki berikat kepala merah mendaki bukit dan gunung dan seorang lainnya menyusuri rumput berduri turun ke tepian Pantai. Gemuruh ombak-ombak di tanjung Sial, teluk Elpaputih, teluk Telutuh, teluk Ambon, dan muara sungai menyambutnya. Nyatanya kapal-kapal raksasa peradaban telah berjejer anggun di lautan. Alih-alih membela lautan, ia tiba untuk membela gunung keramat dan batu-batu pamali. 

Hampir tiga setengah abad – 350 tahun- kematian para datuk-datuk, mati Bersama kesakralan gunung-gunung keramat. Lahir dari kematian itu daging-daging gila peradaban, gila kehormatan dan gila ideologi  dominan. Mereka perlahan merobek unjung sakral berang (ikat kepala sang lelaki tua), dan menyulamnya dengan kain-kain hitam pada emanasi kapitalis yang tumpah riuh di pesisir pantai. Seutas rotan yang mengikat erat Baileo mulai dibuka – kendor sudah ikatan kosmos, menuju ke manusia modern.  Sakral berubah menjadi dosa hina, keindahan disematkan kafir, dan lahatalah bergantikan Yesus.

Yesus? Orang seperti apa itu? Dia Tuhan dan Manusia? Ternyata batu dan pohon-pohon kami juga Yesus. Kami raba, sentuh, peluk dan sembah (yang) dalam hening. Namun pada waktu yang sedikit telah lupa, seutas berang telah diubah wujudnya menjadi Kristen, Islam dan sebagainya. Kepercayaan baru menggema di seantero Maluku dan kita semua menjadi Malu pada ku (aku) – malu diri sendiri. Matahari terus menjadi dirinya dari timur ke barat, nous terus berhembus dari utara ke Selatan, namun puting beliung peradaban meniup kembali angin suci itu ke tempatnya, ia menjadi emas, intan, biji besi, cengkih dan pala yang siap disantap nilai ekonominya. 

Gereja – apa itu? -  ia di bangun oleh manusia-manusia berang, berdampingan dengan rumah tua mereka. Sebuah lanskap peradaban siung-siung kuku – ya kukunya cepat membusuk pada badan berang itu sendiri, ia rusak karena ia menilai dari kacamata yang berbeda. Pada hari ini, banyak aku menjadi sadar bahwa perbincangan awal si ikat kepala merah dan tekstil kapitalis tidak mendapat kesepakatan. Sudah terlambat ternyata kesadaran itu. Berang yang adalah darah, air liur sirih-pinang yang adalah darah, kini menjadi anggur manis dan pahit – dikotomi hidup ku. Pohon dan batu keramat ditinggalkan dan nafas kita beralih pada peti derma, pada dinding beton, mimbar menjulang setara gunung dan altar suci, lebih suci dari dasar bambu dalam rumah tua. 

Hutan, cengkih pala, hutan harta murni, jatuh harga: harga diri. Harta di sasi, namanya sasi tetapi disalib dengan ayat kitab suci dan lambang suci. Apakah salib menyalibkan salib atas dalil ekonomi beton dan mimbar?. Manusia berang yang tinggal sisa, remah-remah kolonial, duduk pada emperan rumah tua dan bertanya-tanya apakah aku masih malu? Ataukah aku mesti Malu-Ku. Yang sepertinya harus Maluku. Aku harus terlanjang Kembali dalam asalku, saat hanya berang di pinggan, dada dan kepala. Setiap kali aku pergi di dalam dinding beton, aku menjadi malu karena rumah tua masih beratap rumbia. Sekali aku duduk beralaskan bambu, malu-ku gelisah karena terlanjur nyaman dengan dasar licin pemantul wajah. Ohhhhhhh Maluku – malu-ku, ku, malu, aku runtuh,  berantakan.

Dan di antara reruntuhan itu, aku melihatnya kini: tali-temali rotan yang mematung di Baileo telah berubah menjadi rantai besi berkarat. Ikat kepala merah yang dulu menyala seperti bara di tengah hutan, kini tergantung lesu di museum kaca—dipajang sebagai artefak mati, diberi label "Peninggalan Prasejarah". Museum? Apa itu museum? Sebuah peti mati bagi jiwa-jiwa yang masih bernapas dalam daging? Di sana, berang—darah kami—dipotong-potong lalu dijual dalam lembar katalog. Setiap jahitan kain hitam kapitalis yang merobek unjung sakral kini bersulam emas, dipamerkan sebagai "karya seni kolonial". Sementara batu pamali yang kami sembah, dihancurkan lalu dijadikan fondasi rumah ibadat. Dasar batu itu masih menangis, bisikku dalam gelap, tapi siapa yang mendengar tangisan bebatuan?

Angin pesisir membawa bau cengkeh busuk—wangi peradaban yang membusuk dalam perut bumi. Kapal-kapal raksasa itu masih berjejer di lautan, kini berganti nama menjadi "pelabuhan internasional". Mereka menelan teluk Elpaputih, menenggelamkan nyiur melambai, dan memuntahkan limbah plastik ke perut ikan-ikan kami. Lautan yang dulu kami peluk sebagai ibu, kini jadi pelacur bagi kapal-kapal bajak laut modern. Aku ingat lelaki berikat kepala merah itu: alih-alih membela lautan, ia memilih gunung. Tapi gunung pun kini terkikis—dibongkar untuk bijih besi. Batu-batu pamali kami dijadikan aspal. Mereka mengecatnya abu-abu, lalu menyebutnya "kemajuan".

Di rumah ibadat yang menjulang setara gunung, mimbar itu berteriak tentang "kasih". Tapi kasih apa yang mereka maksud? Kasih yang mengubah air sirih-pinang menjadi anggur pahit? Kasih yang menyebut pohon keramat kami "berhala"? Di altar suci itu, lilin-lilin menangis meleleh—lilin dari lemak ikan paus yang dibantai di lautan. Padahal di rumah tua kami, cahaya hanya datang dari api unggun yang dinyalakan dengan kayu gaharu. Api itu tidak pernah mati selama 350 tahun—sampai datanglah pendeta dengan botol minyak zaitun impor. Dia memadamkan api kami, lalu menyalakan lilin. Lilin itu mati dalam semalam.

Dan aku? Aku menjadi hantu di antara dua dunia. Di Baileo, mereka menyebutku "pengkhianat" karena memakai kemeja kapitalis. Di gereja, mereka menatapku curiga karena tanganku masih terbiasa memegang parang. Aku terlalu Maluku untuk mereka, terlalu asing untuk tanahku sendiri. Malu itu—rasa malu yang mereka tanamkan—tumbuh seperti jamur di hati. Ia merayap hingga ke ujung jari, membuatku takut menyentuh kulit kayu yang dulu kusentuh dengan cinta. Tapi di malam hari, ketika rumah ibadat tidur dalam betonnya, aku kembali ke hutan. Aku memeluk pohon tua itu, menghirup bau tanah basah, dan menangis diam-diam di antara akar-akarnya. Aku minta maaf pada leluhur: Maafkan kami yang telah menjual jiwa untuk selembar kain hitam.

Matahari masih terbit dari timur, tapi cahayanya kini terhalau asap pabrik. Angin masih bertiup dari utara, tapi bau anyaman daun lontar telah terganti bau knalpot. Peradaban itu datang seperti puting beliung—mencabut akar, memutar tubuh, lalu menjatuhkan kami sebagai bangkai. Tapi di antara reruntuhan, sesuatu masih berdenyut: denyut batu di bawah aspal, denyut pohon di tengah beton, denyut lautan di balik tumpahan limbah. Mereka masih ingat kami. Mungkin suatu hari nanti, ketika kapal-kapal raksasa itu tenggelam dalam lautan sampahnya sendiri, ikat kepala merah itu akan kembali menyala. Dan kali ini, tidak ada kain hitam yang bisa memadamkan bara.