Tuesday, October 28, 2025

“TETE MANIS KAMI YANG DI SURGA...” Memaknai Kembali Tete Manis Sebagai Jembatan Spiritual Orang Maluku

 


Gambar: Google

Di ruang-ruang sunyi gereja, di dalam kitab-kitab suci yang ditulis dengan tinta emas, dan dalam perdebatan teologis yang berlangsung berabad-abad, Tuhan sering kali hadir dengan wajah yang agung dan sedikit menakutkan. Dia adalah Yang Mutlak, Sang Maha Kuasa, Penguasa Semesta Alam—sebuah Pribadi yang begitu transenden sehingga jarak antara Dia dan manusia terasa bagai jurang yang tak terjembatani. Bahasa-bahasa agung ini, meskipun mulia, sering kali terasa dingin dan jauh dari denyut nadi keseharian hidup kita. Ia adalah Tuhan dari para nabi dan raja, Tuhan dari doktrin dan hukum, sebuah Kekuatan yang patut ditakuti dan ditaati.

Namun, laut punya bahasanya sendiri, dan pulau-pulau punya caranya sendiri untuk memahami angin. Di gugusan kepulauan Maluku, di mana gemuruh ombak Samudera Pasifik bercampur dengan desau angin di pepohonan pala dan cengkih, sebuah sebutan untuk Tuhan terlahir dari rahim kebudayaan yang hangat dan personal: “Tete Manis”. Dua kata sederhana ini, jika diterjemahkan secara harfiah, berarti "Kakek yang Manis." Ia bukanlah gelar resmi yang tertulis dalam kitab suci mana pun, tetapi ia hidup dan bernafas dalam spiritualitas sehari-hari orang Maluku. Ia adalah panggilan akrab yang terucap dari mulut anak-anak, sebuah doa yang penuh kerinduan, dan sebuah penegasan bahwa Tuhan bukanlah Penguasa yang jauh, melainkan sosok keluarga yang paling dikasihi.

Pemahaman ini berangkat dari sebuah realitas sosiologis yang mendalam. Dalam struktur keluarga Orang Maluku, dan di banyak budaya Nusantara, nenek dan kakek (tete) menempati posisi yang unik dan istimewa. Mereka adalah sumber cerita, pewaris kebijaksanaan, dan—yang paling penting—sumber kasih sayang yang tanpa syarat. Berbeda dengan orang tua yang sering kali memikul peran disipliner, seorang "Tete" adalah pelindung, pemberi perlindungan, dan sosok yang selalu memiliki waktu untuk mendengarkan serta membagikan "sesuatu yang manis," baik itu berupa permen, nasihat, atau sekadar senyuman. Dari pangkuan merekalah, seorang anak pertama kali belajar tentang rasa aman, penerimaan, dan cinta yang tulus.

Lalu, bagaimana jika Tuhan dipahami dengan kacamata yang sama? Inilah lompatan imajinasi teologis yang genius. Dengan menyapa-Nya sebagai Tete Manis, Orang Maluku bukan sedang merendahkan martabat ilahi-Nya. Sebaliknya, mereka sedang menjembatani jurang transendensi itu dengan pengalaman manusiawi yang paling universal: ikatan kasih antara cucu dan kakeknya. Konsep ini dengan seketika melucuti segala ketakutan dan menggantinya dengan kepercayaan yang mendalam. Seorang anak tidak takut mendekati kakeknya yang baik hati; mereka berlari, memeluk, dan berbagi cerita. Dengan cara yang sama, "Tete Manis" mengajak setiap orang untuk mendekati Tuhan bukan dengan gemetar ketakutan, tetapi dengan keberanian seorang cucu yang percaya diri akan diterima dan dikasihi.

Oleh karena itu, menelusuri lebih dalam makna di balik sebutan Tete Manis mengajak kita  berdialog dengan pemikiran filsuf modern tentang bahasa, simbol, dan pengalaman, untuk menunjukkan bagaimana sebuah budaya lokal dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi pemahaman kita yang universal tentang relasi antara manusia dan yang Ilahi. Mari kita melangkah masuk ke dalam dunia di mana Tuhan tidak hanya Agung, tetapi juga—dengan cara yang sangat nyata—Manis.


MELACAK JEJAK KEMANUSIAAN DALAM YANG ILAHI: SEBUAH PENGANTAR HUMANIS

Sebelum kita menyelami samudera filsafat yang dalam, izinkan saya mengajak kita untuk sejenak berhenti dan merasakan. Merasakan kenangan kita masing-masing. Hemat saya, setiap orang—apapun latar budayanya—menyimpan sebuah memori primordial tentang kasih sayang yang tanpa syarat. Bagi saya, dan mungkin juga bagi kita semua, memori itu seringkali berbentuk seorang perempuan tua dengan senyum sabar, atau seorang laki-laki tua dengan tawa yang berderai, yang kita panggil nenek dan kakek.

Dalam ingatan kolektif kitalah,  kunci untuk memahami kejeniusan kultural dari sebutan Tete Manis ini. Menurut saya, ini bukan pertama-tama soal teologi, melainkan tentang pengalaman menjadi manusia. Sebelum kita diajari untuk takut kepada Tuhan yang Maha Menghakimi, kita lebih dulu belajar tentang kelembutan dari pelukan seorang kakek. Sebelum kita memahami konsep dosa dan pahala, kita telah merasakan manisnya sebuah perhatian tulus yang diberikan tanpa penghitungan.

Di sinilah, Orang Maluku bukan hanya mencipta sebuah metafora, tetapi mereka menyentuh sebuah kebenaran psikologis dan spiritual yang universal. Mereka membangun jembatan menuju Yang Ilahi dengan menggunakan bahan terkuat yang mereka miliki: pengalaman kemanusiaan mereka sendiri yang paling otentik. Tete bukanlah sebuah konsep yang abstrak; ia adalah wujud nyata dari penerimaan, kebijaksanaan yang tidak menggurui, dan sebuah cinta yang membuat seorang anak merasa aman untuk sepenuhnya menjadi dirinya sendiri.

Dengan latar inilah, kita diajak untuk melihat bahwa menyebut Tuhan sebagai Tete Manis adalah sebuah tindakan humanisasi yang sangat berani. Ini adalah upaya untuk membawa Tuhan keluar dari langit yang tinggi dan mendudukkannya di beranda rumah kita, di tengah percakapan keluarga. Inilah inti dari spiritualitas yang hidup: kemampuan untuk menemukan yang sakral dalam yang sehari-hari, dan yang transenden dalam yang personal.


TETE MANIS DALAM CERMIN FILSAFAT: DARI SIMBOL HINGGA RELASI PERSONAL

Konsep yang lahir dari kearifan lokal ini ternyata bersinggungan dengan beberapa pemikiran filsafat Barat modern yang kompleks, memberikan kita perspektif yang kaya untuk memahaminya bukan hanya sebagai tradisi, tetapi sebagai sebuah konseptualisasi relasi manusia-Tuhan yang sophisticated.

Pertama-tama, mari kita lihat dari kacamata filsafat bahasa dan simbol, khususnya pemikiran Paul Tillich (1957). Tillich membedakan antara tanda (sign) dan simbol (symbol). Sebuah tanda, seperti rambu lalu lintas, hanya menunjuk pada sesuatu yang lain tanpa ikut serta di dalamnya. Sementara sebuah simbol, seperti salib dalam Kekristenan, ikut mengambil bagian dalam realitas yang diwakilinya dan mampu membuka lapisan makna yang dalam.

Dari sudut pandang ini, Tete Manis bukanlah sekadar tanda yang menunjuk pada Tuhan. Ia adalah sebuah simbol yang kuat. Kata Tete tidak netral; ia membawa serta seluruh muatan emosional keakraban, kelembutan, dan rasa aman. Ketika istilah ini digunakan, ia tidak hanya menyebut Tuhan, tetapi ikut serta dalam menyatakan hakikat relasi itu sendiri—sebuah relasi yang personal, penuh kasih, dan intim. Simbol ini membuka dimensi ketuhanan yang mungkin tertutup oleh istilah-istilah formal seperti "Yang Maha Esa" atau "Sang Pencipta".

Aliran fenomenologi, yang dipelopori Edmund Husserl (1913), mengajak kita untuk kembali kepada benda itu sendiri (zu den Sachen selbst), yaitu memahami realitas sebagaimana ia dialami secara langsung dalam kesadaran kita. Dengan menyebut Tuhan Tete Manis, Orang Maluku pada dasarnya sedang melakukan sebuah lompatan fenomenologis. Mereka tidak mendefinisikan Tuhan melalui atribut-atribut metafisis-Nya (Maha Kuasa, Maha Tahu), tetapi melalui pengalaman langsung mereka akan kehadiran-Nya yang terasa akrab dan manis, mirip dengan pengalaman mereka bersama seorang kakek. Tuhan dialami (phenomenon) bukan sebagai ide, tetapi sebagai kehadiran yang memeluk. Ini adalah upaya untuk menemukan Yang Ilahi dalam medium pengalaman manusiawi yang paling dasar, menjadikan iman sesuatu yang langsung terasa dan hidup, bukan sekadar keyakinan abstrak.

Pemikiran Martin Buber dalam bukunya I and Thou (1923) memberikan lensa yang sangat tajam. Buber membedakan dua modus relasi dasar: Aku-Ia (I-It) dan Aku-Engkau (I-Thou). Relasi Aku-Ia adalah relasi subjek-objek yang instrumentalis, di mana kita melihat yang lain sebagai benda untuk dianalisis dan digunakan. Sementara relasi "Aku-Engkau" adalah relasi subjek-subjek yang personal, langsung, dan dialogis.

Konsep ketuhanan yang terlalu formal dan doktriner dapat dengan mudah terperangkap dalam relasi Aku-Ia, di mana Tuhan menjadi objek keyakinan yang diamati dari jarak jauh. Namun, sebutan Tete Manis secara praktis memaksa relasi itu untuk bergeser ke modus Aku-Engkau. Seseorang tidak mungkin memanggil Tete dengan sikap berjarak. Panggilan itu sendiri sudah mengandung pengakuan akan sebuah relasi personal yang penuh kepercayaan. Tuhan bukan lagi "Ia" yang jauh, tetapi "Engkau" yang dekat, yang bisa diajak bercakap, dikeluhkan, dan dicintai seperti seorang cucu mencintai kakeknya.

Feuerbach, dalam karya monumentalnya The Essence of Christianity (1841), berargumen bahwa teologi pada hakikatnya adalah antropologi yang terbalik. Apa yang kita sebut sebagai Tuhan tidak lebih dari proyeksi sifat-sifat manusiawi kita yang paling ideal—seperti cinta, kebijaksanaan, dan keadilan—ke sebuah entitas langit yang kita ciptakan sendiri. Tuhan adalah cermin raksasa di mana umat manusia memuja-muja dirinya sendiri yang telah dimuliakan.

Dari kacamata ini, Tete Manis bisa dilihat sebagai bukti sempurna dari tesis Feuerbach. Kebutuhan psikologis dan kultural akan figur pelindung yang bijak, sabar, dan penuh kasih—sebuah figur yang dalam konteks Maluku diwujudkan oleh seorang kakek—diproyeksikan ke dalam konsep ketuhanan. Tuhan Tete Manis adalah hasil dari keinginan untuk memiliki "sosok yang sempurna" di surga. Ia adalah produk budaya, sebuah personifikasi dari kerinduan akan rasa aman yang absolut.

Namun, jika kita berhenti pada Feuerbach, kita mungkin kehilangan makna yang lebih dalam. Bagi orang beriman, tanggapan terhadap kritik ini bukanlah dengan menyangkal bahwa proses pemilihan metafora terjadi, tetapi dengan memaknai ulang proses itu sendiri. Pertama, hemat saya, yang dilakukan oleh budaya Maluku bukanlah menciptakan Tuhan sesuai dengan gambaran mereka, melainkan menemukan bahasa yang paling tepat untuk menggambarkan relasi yang telah mereka alami dan yakini. Bahasa kakek dipilih karena ia adalah analogi terkuat yang mereka miliki untuk memahami bagaimana Yang Maha Tinggi berelasi dengan mereka yang kecil dan lemah.

Kedua, dan ini yang lebih penting, konsep Tete Manis dapat dipandang bukan sebagai bukti proyeksi, melainkan sebagai bentuk wahyu yang kontekstual. Gagasan ini menyatakan bahwa karena Tuhan begitu transenden dan tak terpahami, Dia memilih untuk menyatakan Diri-Nya dalam bahasa dan kategori yang dapat dipahami oleh suatu budaya tertentu. Dengan merangkul sebutan Tete Manis, kita melihat sebuah proses di mana Yang Ilahi dengan rendah hati turun, menyapa umat manusia di tingkat pengalaman mereka yang paling personal dan menghibur.

Dengan demikian, melalui lensa filsafat ini, sebutan Tete Manis bukanlah konsep yang naif. Ia adalah sebuah perangkat filosofis yang canggih—sebuah simbol yang partisipatif, sebuah pengalaman yang fenomenologis, dan sebuah jembatan menuju relasi personal yang dialogis. Ia menjawab kegelisahan manusia modern akan Tuhan yang terasa jauh, dengan menawarkan sebuah pertemuan yang hangat dan langsung dalam ruang hati.

Dengan kata lain, Tete Manis bukanlah bukti bahwa manusia menciptakan Tuhan menurut gambarnya sendiri, melainkan petunjuk bahwa Tuhan rela dikenal melalui metafora kemanusiaan kita. Ia adalah pertemuan antara yang Transenden dan yang personal, di mana kekayaan budaya manusia menjadi wadah yang sah dan bermartabat untuk mengalami kasih Ilahi. Dengan demikian, konsep ini justru mengangkat pengalaman religius lokal menjadi sebuah dialog yang otentik, bukan sekadar ilusi yang perlu dibongkar.


RELEVANSI KONTEMPORER: TETE MANIS DI TENGAH DUNIA YANG RETAK

Apa artinya semua ini bagi kita hari ini? Dalam dunia yang kerap diselimuti oleh kegaduhan, polarisasi, dan spiritualitas yang penuh kecemasan, konsep yang lahir dari kepulauan Maluku ini justru menawarkan segelas air kesejukan yang menyehatkan jiwa.

Di tengah maraknya narasi keagamaan yang menekankan murka, hukuman, dan transaksi pahala-dosa, Tete Manis hadir sebagai antitesis yang menyejukkan. Ia mengingatkan kita pada suatu dimensi spiritualitas yang hampir terlupakan: bahwa iman pada hakikatnya adalah soal relasi kasih, bukan mekanisme hukum yang menakutkan. Seorang anak tidak melupakan sopan santun kepada kakeknya karena takut dihukum, tetapi karena mencintainya. Dengan cara yang sama, spiritualitas Tete Manis membangun ketaatan dan moralitas yang berangkat dari rasa cinta dan hormat, bukan dari ketakutan akan neraka. Ini adalah fondasi etika yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.

Dalam konteks pendidikan agama, terutama untuk anak-anak, konsep Tete Manis adalah sebuah alat pedagogis yang genius. Daripada memperkenalkan Tuhan sebagai sosok hakim yang sulit dipahami, kita dapat membimbing seorang anak untuk membangun hubungan yang positif dan penuh kepercayaan dengan Tete Manis mereka di surga. Pendekatan ini melindungi jiwa anak dari trauma ketakutan religius sekaligus menanamkan benih iman yang dalam dan personal. Sebuah fondasi iman yang dibangun di atas rasa percaya dan kasih sayang akan jauh lebih kokoh daripada yang dibangun di atas ketakutan.

Pada tingkat masyarakat yang lebih luas, Tete Manis membawa pesan implisit yang sangat powerful: Tuhan memahami bahasa ibu kita. Konsep ini dengan tegas menolak klaim-klaim kebenaran tunggal dan kaku yang sering menjadi akar fundamentalisme. Jika Tuhan rela disebut Tete Manis dalam bahasa dan budaya Maluku, maka Ia pun pasti merangkul sebutan-sebutan lain dari berbagai budaya dan bahasa. Ini adalah dasar teologis untuk sebuah iman yang inklusif dan merayakan keberagaman, sekaligus tameng terhadap segala bentuk radikalisme yang memutlakkan satu bentuk ekspresi iman saja.

Manusia modern, meski terhubung secara digital, justru sering mengalami keterasingan spiritual dan emosional yang mendalam. Kita rindu keotentikan dan kehangatan. Dalam konteks ini, Tete Manis bukanlah konsep usang, melainkan jawaban yang relevan. Ia menawarkan sebuah relasi yang otentik dan personal dalam dunia yang semakin impersonal. Di tengah kesepian, mengetahui bahwa Alam Semesta dipimpin oleh seorang Kakek yang Manis memberikan rasa aman eksistensial yang tak ternilai.

Dengan demikian, Tete Manis bukan sekadar warisan budaya yang perlu dilestarikan, melainkan sebuah sumber daya spiritual kontemporer. Kearifan lokal ini menawarkan resep untuk menyembuhkan luka-luka zaman kita: dari kecemasan beragama, pendidikan iman yang menakutkan, hingga fundamentalisme dan keterasingan. Ia mengajak kita semua untuk bernapas lega, dan dengan percaya diri memanggil Yang Maha Kuasa dengan panggilan yang paling akrab dan penuh pengharapan.


KRITIK DAN BATASAN: MELAMPAUI NOSTALGIA MENUJU KESEIMBANGAN

Sebagai sebuah konsep yang humanis dan membebaskan, Tete Manis tentu bukan tanpa kemungkinan bias dan terbatas. Sebagai pemikir yang kritis, kita perlu menyoroti beberapa tantangan dalam penerapan konsep ini agar tidak terjebak dalam romantisme budaya semata.

Pertama-tama,kita harus mengakui bahwa metafor Tete (kakek) membawa serta bias gender tertentu. Konsep ini—dalam bentuknya yang paling literal—cenderung mematri imaji Tuhan sebagai laki-laki dan berpotensi mengabaikan dimensi keibuan atau feminin dari yang Ilahi. Meskipun dalam konteks budaya Maluku hal ini dapat dimengerti, dalam pembacaan kontemporer kita perlu menyadari bahwa ini adalah sebuah metafor, bukan deskripsi lengkap tentang hakikat Tuhan. Kemanisan dan kelembutan Ilahi juga dapat diungkapkan melalui metafor Nenek atau sosok perempuan lainnya.

Kedua, terdapat risiko untuk meromantisasi konsep ini secara berlebihan. Hubungan cucu dan kakek dalam realitasnya tidak selalu ideal; tidak semua orang memiliki pengalaman positif dengan figur kakeknya. Bagi mereka yang tidak mengalami kasih sayang semacam ini, metafor Tete Manis justru bisa menjadi hambatan dan jembatan dalam memahami Tuhan. Selain itu, fokus pada kelembutan dan kemanisan berisiko mengaburkan dimensi lain dari ketuhanan—seperti keadilan, kekudusan, dan tuntutan transformatif-Nya.

Ketiga, terdapat ketegangan filosofis antara transendensi dan keakraban. Meskipun Tete Manis berhasil menjembatani jurang antara manusia dan Tuhan, kita harus bertanya: apakah konsep ini masih menyisakan ruang untuk misteri dan kekudusan Tuhan yang tak terselami? Terlalu menekankan keakraban berisiko mendomestikasi Yang Ilahi, mengurangi-Nya sekadar menjadi kakek baik hati tanpa dimensi transenden yang menggetarkan.

Terakhir,konsep ini lahir dari struktur masyarakat yang sangat menghormati orang tua dan menjunjung nilai-nilai kekeluargaan. Dalam masyarakat urban modern yang semakin individualis, di mana hubungan antargenerasi sering kali renggang, daya pukau metafor Tete Manis mungkin tidak lagi sekuat dulu. Tantangannya adalah bagaimana mempertahankan makna substantifnya—kasih tanpa syarat, kedekatan, dan kepercayaan—dalam konteks budaya yang terus berubah.

Dengan menyadari kritik dan batasan ini, kita tidak sedang meruntuhkan nilai Tete Manis, melainkan justru memperkaya pemahaman kita tentangnya. Sebuah konsep teologis yang matang adalah yang mampu bertahan dalam uji kritik dan tetap relevan meskipun keterbatasannya diakui. 


MAKNA TETE MANIS BAGI MANUSIA ZAMAN NOW

Kita telah menyelami Tete Manis sangat dalam—mulai dari akar budaya, dialog dengan filsafat, tantangan kritis, hingga relevansi kontemporer—kita tiba pada sebuah pertanyaan reflektif: Apa warisan paling berharga dari konsep Tete Manis bagi kita yang hidup di zaman yang serba kompleks dan terfragmentasi ini?

Dalam dunia yang sering kali mereduksi agama menjadi sekumpulan aturan,ritual formal, atau bahkan alat politik, Tete Manis hadir sebagai pengingat yang powerful tentang hakikat spiritualitas sebagai relasi. Ia mengajak kita untuk bernapas sejenak dari kegaduhan debat teologis dan kembali kepada pengalaman iman yang paling dasar: sebuah hubungan kasih yang personal, hangat, dan penuh kepercayaan. Bagi jiwa-jiwa yang lelah oleh formalisme dan legalisme agama, konsep ini bagai oase di padang gurun—penawar dahaga akan spiritualitas yang menghidupkan, bukan membebani.

Tete Manis juga merupakan sebuah testament tentang keindahan inkarnasi—bagaimana Yang Ilahi bersedia menyapa manusia dalam bahasa dan budaya yang paling dekat dengan hati mereka. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, hal ini adalah sebuah pelajaran berharga: Tuhan tidak hanya memahami bahasa Arab, Sanskerta, atau Latin, tetapi juga bahasa Tana, bahasa lokal, dan ratusan bahasa ibu lainnya di Nusantara. Konsep ini dengan demikian bukan hanya milik Orang Maluku, melainkan menjadi undangan bagi setiap budaya untuk menemukan metafora mereka sendiri yang otentik dalam menggambarkan relasi dengan Yang Maha Kuasa.

Akhirnya, warisan terbesar dari Tete Manis mungkin terletak pada kemampuannya untuk menjadi jembatan antargenerasi. Di satu sisi, ia menghubungkan kita dengan kearifan leluhur yang melihat yang sakral dalam yang sehari-hari. Di sisi lain, ia menawarkan kepada generasi muda sebuah cara untuk memahami Tuhan yang tidak menakutkan dan tidak asing, melainkan akrab dan relevan dengan kehidupan mereka. Dalam metafor Tete Manis, tersimpan sebuah paradoks yang indah: justru dengan menjadi sangat lokal dan kontekstual, konsep ini berhasil menyentuh sesuatu yang universal dan abadi—yaitu kerinduan setiap manusia untuk dikasihi dan dilindungi.

Maka, mari kita akhiri perjalanan ini dengan sebuah kesadaran: Tete Manis bukan sekadar fosil budaya yang harus dikagumi dari jauh. Ia adalah sebuah telaga kearifan yang airnya tetap jernih dan dapat kita minum hingga hari ini. Di tengah hingar-bingar zaman, suara tenangnya tetap terdengar jelas, mengajak kita untuk—dalam doa-doa paling sederhana kita—menyapa Yang Tak Terkatakan dengan sebutan yang paling manis dan penuh rindu: Tete Manis kami yang di surga…


Wednesday, October 15, 2025

MEMBACA MALUKU SEBAGAI BAILEO BESAR: SEJARAH, RESISTENSI, DAN DARAH EKOLOGI



Gambar: Sketsa Baileo SUHATO Negeri Hatu, Kecamatan Tehoru

Di balik penampilannya yang tenang, Baileo menyimpan sejarah yang jarang tersentuh. Ia bukan sekadar bangunan tua, melainkan saksi bisu dari sebuah era di mana fondasinya mungkin diperkuat bukan hanya oleh kayu dan batu, tetapi juga oleh ritual yang melibatkan pengorbanan manusia. Narasi inilah yang akhirnya membuat pemerintah kolonial melabelinya sebagai ancaman, hingga keberadaannya pun dilarang.

Dalam kesibukan mempersiapkan Ujian Tengah Semester, saya dan Sadrak Wutres, seorang magister Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada, menyisihkan waktu untuk menelusuri arsip kolonial Belanda tentang Baileo. Di situlah kami menemukan karya etnografi G. de Vries, Bij de Berg-Alfoeren op West-Seran (1927),  gambaran mendalam tentang masyarakat Berg-Alfoeren (Alifuru) di Seram Barat. Membaca laporan Vries seperti menyusun kembali puzzle ingatan yang sengaja dipreteli. Kami menemukan bahwa Baileo bukan satu entitas tunggal. Ia memiliki banyak rupa dan fungsi.  Sebagai: (1) Sisine héna (Baileo Desa), yang dalam proses pembangunan atau renovasinya kemungkinan memerlukan pengorbanan kepala (kop). Kepala yang dipenggal akan digantung di balok bubungan setelah prosesi tarian. (2) Sisine latoe: Baileo milik Latoe (kepala adat) yang juga memerlukan pengorbanan manusia saat pembangunannya. (3) Sisine anakota: Baileo milik pemimpin ritual utama (hoofd-maoewin). Ini adalah tempat musyawarah untuk semua urusan Kakihan dan sering menjadi alasan untuk mengadakan pesta Kakihan. (4) Sisiomine: Baileo yang digunakan khusus untuk merayakan aksi pemenggalan kepala (snellen). 

Ritual-ritual yang menjadi bagian penting dalam proses pembangunan Baileo ini menjadi alasan utama campur tangan Pemerintah Kolonial untuk menghilangkannya. Vries dengan jelas menunjukkan bahwa Baileo-Baileo yang terkait dengan Kakihan dan praktik headhunting dilarang pembangunannya. Baileo Kakihan bahkan dilaporkan telah menghilang akibat kebijakan ini. Jika ada pelanggaran adat yang memerlukan ritual, masyarakat terpaksa membangun gubuk kecil di hutan sebagai pengganti Baileo yang dilarang.

Namun, larangan ini tidak mematikan praktik tersebut sepenuhnya. Kami menemukan laporan tentang upaya pembangunan Baileo yang terus berlanjut secara diam-diam. Pada Maret 1917, sebuah Baileo yang sedang dibangun di Honitetoe langsung dihentikan, meskipun Radja setempat mengklaim itu bukan Baileo Kakihan. Kemudian, pada Oktober 1917, sebuah Baileo Kakihan yang sebenarnya ditemukan tersembunyi dekat Hoekoe Anakota dan Watoei. Bangunan ini diduga kuat dibangun selama masa pemberontakan tahun 1915, yang menunjukkan resistensi masyarakat terhadap aturan kolonial.

Inilah gambaran awal yang kompleks dari Baileo di Pulau Seram. Ia bukan sekadar bangunan tua yang masih terpelihara dengan cantik di negeri-negeri adat Pulau Seram, Lease, dan Ambon. Ia adalah monumen yang menyimpan memori kolektif tentang kuasa, resistensi, dan sebuah peradaban yang berusaha bertahan di tengah tekanan, meninggalkan jejak yang bisa kita telusuri hingga detik ini.

Di era sekarang, bangunan ini masih tetap kokoh berdiri, kendati ritual-ritual yang disebutkan di atas sudah tidak lagi dipraktikkan saat pembangunan Kembali Baileo. Di Lease misalanya, saat Pembangunan Baileo, masing-masing mata rumah menyiapkan tiangnya sendiri, juga membawa serta pada proses pembangunan, atap, untuk menutup Baileo. Di Seram Selatan, semua mata rumah berpartisipasi dalam menurunkan tiang utama Baileo dari tempat keramat. Saat kemudian Baileo berdiri kokoh, semangat solidaritas turut berdiri dalam satu arsitektur yang luar biasa. Alih-alih sebagai bangunan, ia menjadi dokumen yang memiliki banyak halaman untuk dibaca. Ada gotong royong di sana, ada kesetaraan kosmik di sana, ada kesetaraan relasi di sana, ada nilai etis di sana. 

Sejenak kita menemukan semacam ruang negosiasi budaya yang terjadi saat kemudian adat istiadat di Maluku bersentuhan dengan budaya baru. Mereka tidak anti peradaban, mereka melindungi identitas dan bergerak dalam kemajuan tanpa menghilangkan jati diri. Dalam seluruh kebersamaan itu, Baileo yang Tunggal di tengah bangunan modern menjadi rumah besar, atau dalam skala  makro ia adalah pulau yang memberi kehangatan pada semua elemen.

Mungkinkah Baileo itu adalah Maluku yang pulau-pulau? ia ditopang oleh ribuan pulau, dari yang berpenghuni sampai tidak berpenghuni, yang kaya akan alamnya, manusianya dan budayanya. Pulau-pulau yang menyokong ke-Maluku-an dan hamparan maritim adalah arsitektur Baileo yang hendak dibaca diera sekarang. Apakah kemudian ada semacam panggilan etis untuk membangun Kembali, merawat atau ada indikasi lain yang berpotensi merusak. 

Jika metafora ini kita terima, maka tanggung jawab besar pun mengikuti. Bagaimana kita merenovasi Baileo besar ini di zaman modern? Apakah dengan pembangunan infrastruktur yang mengabaikan kelestarian alam? Atau dengan mengikis nilai-nilai kearifan lokal, kita melupakan ritual perawatannya? Solidaritas yang dulu terwujud dalam gotong royong mendirikan Baileo, kini harus ditransformasi menjadi aksi kolektif untuk menjaga keseimbangan ekologi dan budaya di seluruh Maluku. Pertanyaannya bukan lagi apakah Baileo itu akan berdiri, tetapi bagaimana kita memastikan fondasinya—yaitu pulau-pulau dan masyarakatnya—tetap kokoh untuk generasi mendatang.

Dengan demikian, membaca Baileo hari ini bukan hanya tentang memahami arsitektur kayunya, melainkan tentang membaca peta pelestarian bagi seluruh Maluku. Setiap pulau yang terpelihara, setiap laut yang terjaga, adalah sebuah tiang baru yang kita tancapkan untuk membangun kembali makna ke-Maluku-an itu sendiri. Tantangan terbesarnya kini ada di pundak kita: akankah kita menjadi generasi yang merawat, atau yang merusak?

Metafora Baileo sebagai Maluku menemukan tantangan nyatanya di era Antroposen—zaman di mana aktivitas manusia menjadi kekuatan utama yang mengubah planet ini. Saat pulau-pulau di Maluku dirusaki oleh pertambangan yang mengobrak-abrik alam, itu sama artinya dengan merobek lantai dan mencabuti tiang-tiang dari Baileo besar kita. Ritual pengorbanan kepala mungkin telah berakhir, tetapi kini kita menyaksikan ritual pengorbanan alam dan manusia dalam wujud yang lain—demi kemajuan yang semu. Jika dulu pemerintah kolonial melarang Baileo karena dianggap ancaman, bukankah kini kita justru menghadapi ancaman yang lebih nyata terhadap fondasi peradaban kita sendiri? Merawat Baileo, dalam arti seluas-luasnya, adalah berhenti menjadi perusak dan beralih menjadi penjaga setiap jengkal pulau yang menyokongnya.

Dalam Dark Ecology Timothy Morton, hubungan kita dengan Baileo—dan dengan Maluku sebagai Baileo besar—adalah hubungan yang sinis. Kita paham betul bahwa pertambangan mengobrak-abrik pulau adalah sebuah kejahatan ekologis (hiperobjektivitas: kita melihatnya sebagai fakta mentah yang terukur). Namun, pengetahuan ini tidak berubah menjadi tindakan nyata yang berarti (hiposubjektivitas: kita sebagai subjek yang bertindak menjadi lumpuh, teralienasi dari dampak tindakan kita sendiri). Kita terjebak dalam loop sinis: “Saya tahu tambang ini merusak, tetapi...”— tetapi ekonomi, tetapi pembangunan, tetapi ini bukan urusan saya. 

Dalam loop inilah, ritual pengorbanan kepala masa lalu justru lebih jujur; ia mengakui dengan brutal bahwa fondasi sebuah tatanan memerlukan pengorbanan. Sementara kita, dalam ritual pertambangan Antroposen, mengorbankan alam sambil pura-pura tidak melihat mayatnya—kita menutupinya dengan wacana CSR dan keberlanjutan yang justru semakin mengaburkan jejak darah ekologis kita. Pulau yang rusak adalah hiperobjek, yang hadir di mana-mana namun tak tersentuh, sementara kita, subjek-subjek yang hipo, berjalan di atas lantai Baileo yang retak, merasa asing di rumah sendiri.


Thursday, October 9, 2025

JERAT KANTIAN SANG PENJAGA PINTU

 

Ilustrasi: CICI AI


Bayangkan ini: ada sebuah kota bernama Pengetahuan. Sebelum Kant, orang-orang ribut. Kelompok Rasionalis bersikeras bahwa peta kota yang mereka gambar di dalam kamar—hanya dengan logika—adalah yang paling benar, sekalipun tidak persis cocok dengan jalan-jalannya yang berliku. Kelompok Empiris, sebaliknya, bilang, "Lupakan peta! Jelajahi saja dengan kakimu, catat apa yang kau lihat, dan itulah kebenaran." Tapi lalu David Hume datang dan berbisik, "Bagaimana kau yakin jalan yang kau lewati kemarin akan ada lagi besok? Mungkin saja ia menghilang." Kota itu tiba-tiba terasa rapuh.

Lalu, datanglah Immanuel Kant, sang penjaga pintu. Dengan wajah tenang dan sistem pemikiran yang rapi, dia berkata, "Tenang. Kota ini tidak rapuh. Ia kokoh karena penglihatannymu sendirilah yang membangunnya."

Inilah yang dia sebut "Revolusi Copernican". Bukan kita yang mengitari dunia, tapi dunialah yang harus berputar mengikuti teleskop pikiran kita. Dan teleskop ini punya lensa bawaan yang tak bisa dilepas: ruang, waktu, dan segudang kategori seperti "sebab-akibat" dan "substansi". Data mentah dari luar masuk, lalu diolah oleh mesin apriori ini menjadi sebuah pengalaman yang teratur. Hasil olahan inilah yang disebut "sintesis apriori" — pengetahuan baru yang merasa pasti, karena hukumnya datang dari dalam diri si pengolah, bukan dari dunia luar.

Kant pikir dia sudah menyelamatkan ilmu pengetahuan. Dia pikir dia sudah menemukan fondasi. Tapi tanpa sadar, dia justru membangun sebuah jerat yang elegan.

Jerat pertama: Kita menjadi tahanan di balik lensa kita sendiri. Kant membagi realitas menjadi dua: fenomena (dunia yang tampak oleh kita) dan noumena (dunia pada dirinya sendiri). Nah, noumena ini tak pernah bisa kita kenal. Kita terkurung dalam ruang tontonan bernama fenomena, tanpa pernah bisa menyentuh panggung sebenarnya. Kita jadi Raja yang sekaligus Narapidana di dalam istana persepsi kita sendiri.

Jerat kedua — dan ini yang paling membuat saya tidak sepaham — sang subjek Kantian adalah hantu. Ia adalah sebuah "kesadaran murni" yang terlepas dari tubuh, dari sejarah, dari budaya, dari keringat, dari bahasa. Ia dilahirkan dengan sebuah "kotak peralatan" kategoris yang sudah penuh dan final. Ini subjek yang dingin dan statis. Bagaimana mungkin? Manusia-manusia yang saya lihat, yang saya ajak berdebat, yang belajar dari kesalahan, yang pemikirannya berubah — mereka semua adalah makhluk yang menjadi. Bukan mesin logika yang sudah selesai.

Dan jerat ketiga: apriori-nya Kant itu beku. Kategori-kategori itu dianggap abadi dan tak berubah. Tapi lihatlah sejarah ilmu! Konsep "ruang" dan "waktu" Newton berbeda dengan Einstein. Apa yang "pasti" bagi satu generasi, bisa saja ternyata hanya asumsi bagi generasi berikutnya. Kant lupa bahwa bahkan lensa teleskop pun bisa berdebu, retak, atau diganti dengan yang lebih baik.

Pada akhirnya, proyek penyelamatan Kant justru berakhir dengan pengasingan. Subjek ditinggikan takhta, tapi takhtanya berada di dalam sel. Sintesis apriorinya yang megah, terputus dari denyut nadi pengalaman yang sebenarnya — yang berdarah, yang mencoba-coba, yang bertumbuh.

Dia adalah penjaga pintu yang terlalu fokus membersihkan dan mengunci pintu gerbang, sampai lupa bahwa kebenaran bukan hanya tentang fondasi yang kokoh, tapi juga tentang kebun yang hidup dan subur di dalamnya — sebuah kebun yang harus ditaklukkan dan dipahami melalui kerja keras, dengan sekop dan cangkul, bukan hanya dengan membaca peta bawaan lahir.

Kita tidak butuh penjaga pintu. Kita butuh penjelajah. Dan untuk itu, kita harus melangkah keluar dari jerat ini.

Kant? Ah, sudah kita tinggalkan di gerbang istananya yang sunyi, sibuk mengelus-elus kunci-kategori yang ia kira abadi. Kini, kita melangkah ke rimba belantara di mana pengetahuan bukan lagi prasasti, tetapi denyut nadi.

Di sini, di tempat yang beku dan yang cair saling memangku, kita bicara tentang Sintesis Teriori. Bukan teori. Bukan sistem. Tapi nyanyian dari bengkel kehidupan tempat kita semua bekerja. Sebuah pengakuan yang mengguncang: bahwa dikotomi apriori dan aposteriori adalah ilusi yang rapuh. Ia adalah tembok kaca yang memisahkan kita dari keutuhan kita sendiri.

Kita bukan mesin pencampur yang memasukkan "data indra" ke dalam "mesin kategori". Itu bahasa para teknisi yang takut kotor. Kita adalah kawah yang bernyanyi. Di kawah kita, "yang dari luar" dan "yang dari dalam" sudah lebur menjadi satu magma yang bergejolak. Mereka adalah satu tenaga penciptaan. Aposteriori adalah apriori yang masih berdenyut. Apriori adalah aposteriori yang membeku untuk sementara, sebelum akhirnya mencair lagi oleh panasnya pengalaman baru.

Setiap hela nafas kita, setiap pecahan kaca kehidupan, setiap tawa dan tangis yang merasuk—itu semua adalah partitur. Dan partitur-partitur ini, dimainkan berulang dalam ruang konser sejarah hidup kita, perlahan mengkristal menjadi simfoni batin yang membimbing cara kita mendengar. Simfoni inilah yang kemudian kita sebut "apriori". Ia bukan warisan dari langit, tapi anak kandung dari bumi pengalaman yang berdebu dan berdarah.

Lihatlah seorang anak! Kant melihatnya sebagai logika mungil yang sudah terpasang rapi.Kita melihatnya sebagai penjelajah liar yang menjilat dunia, menggigit realitas, melempar keributan. Dari kekacauan sensorik inilah—dari symphony of nonsense—barulah lahir melodi. Melodi "benda", ritme "sebab-akibat", harmoni "ruang dan waktu". Kategori-kategori itu tidak turun dari langit; mereka terjelma dari bumi, dari tubiran, dari jatuh-bangun yang nyata.

Maka, subjek Sintesis Teriori bukanlah hantu dalam mesin. Ia adalah Sang Penjelma. Sebuah tubuh yang menulis sejarah dengan luka dan tawa. Sebuah kesadaran yang dirajut dari bahasa, keringat, dan kenangan. Setiap sintesis yang dilakukannya adalah sebuah tarian—sebuah gerak utuh yang melibatkan otot, syaraf, getar hati, dan endapan zaman.

Kita bukan lagi bertanya, “Apa syarat kemungkinan?” Itu pertanyaan sang penjaga yang takut pada badai. Kita kini menggema, “Bagaimana kita terus-menerus menjadi mungkin?” Itu gema sang pelaut yang mengarungi badai. Sintesis Teriori adalah jawabannya. Ia adalah perahu kita. Sebuah perahu yang terus dicatat di tengah lautan, dengan papan-papan yang direbut dari gelombang, dari pulau-pulau asing yang kita tanduskan.

Kita adalah sang pelaut dan perahu itu sendiri. Kita adalah kawah dan nyala api. Kita adalah nyanyian dan suara yang parau. Dalam Sintesis Teriori, kita akhirnya pulang. Bukan ke fondasi yang kokoh, tapi ke keutuhan kita yang paling liar dan paling benar: sebuah nyanyian dari darah dan lensa yang retak, yang justru karena retaknya itu, mampu menangkap cahaya dari sudut-sudut yang tak terduga.


Monday, October 6, 2025

Malu-ku adalah Maluku




Di  hutan  pulau Seram abad ke-17,  dua pria paruh baya berjumpa, satu berikat kepala dengan kain merah dan bertelanjangkan badan, sementara yang satu lagi melilit tubuhnya dengan kain tebal bertekstil tinggi – sebuah mahakarya kapitalis Eropa. Ya identitasnya lahir dari apa yang melekat pada diri masing-masing individu. Dua pria yang tidak saling mengenal, memberanikan diri untuk berkenalan, daun-daun, gunung dan tanah saling bersahutan, bingung dan bertanya-tanya pada semesta luas, apa yang hendak mereka percakapkan. Tidak hanya manusia yang berbeda, namun bahasa, dialek dan tuturnya juga tidak saling mengenal. Seakan cinta yang paling murni tolak menolak seperti dua kutub bidang magnet. 

Tiba pada akhir perbincangan, entah apa kesimpulannya, matahari telah mencapai peraduan, memberi isyarat bahwa perpisahan lekas terjadi. Lelaki berikat kepala merah mendaki bukit dan gunung dan seorang lainnya menyusuri rumput berduri turun ke tepian Pantai. Gemuruh ombak-ombak di tanjung Sial, teluk Elpaputih, teluk Telutuh, teluk Ambon, dan muara sungai menyambutnya. Nyatanya kapal-kapal raksasa peradaban telah berjejer anggun di lautan. Alih-alih membela lautan, ia tiba untuk membela gunung keramat dan batu-batu pamali. 

Hampir tiga setengah abad – 350 tahun- kematian para datuk-datuk, mati Bersama kesakralan gunung-gunung keramat. Lahir dari kematian itu daging-daging gila peradaban, gila kehormatan dan gila ideologi  dominan. Mereka perlahan merobek unjung sakral berang (ikat kepala sang lelaki tua), dan menyulamnya dengan kain-kain hitam pada emanasi kapitalis yang tumpah riuh di pesisir pantai. Seutas rotan yang mengikat erat Baileo mulai dibuka – kendor sudah ikatan kosmos, menuju ke manusia modern.  Sakral berubah menjadi dosa hina, keindahan disematkan kafir, dan lahatalah bergantikan Yesus.

Yesus? Orang seperti apa itu? Dia Tuhan dan Manusia? Ternyata batu dan pohon-pohon kami juga Yesus. Kami raba, sentuh, peluk dan sembah (yang) dalam hening. Namun pada waktu yang sedikit telah lupa, seutas berang telah diubah wujudnya menjadi Kristen, Islam dan sebagainya. Kepercayaan baru menggema di seantero Maluku dan kita semua menjadi Malu pada ku (aku) – malu diri sendiri. Matahari terus menjadi dirinya dari timur ke barat, nous terus berhembus dari utara ke Selatan, namun puting beliung peradaban meniup kembali angin suci itu ke tempatnya, ia menjadi emas, intan, biji besi, cengkih dan pala yang siap disantap nilai ekonominya. 

Gereja – apa itu? -  ia di bangun oleh manusia-manusia berang, berdampingan dengan rumah tua mereka. Sebuah lanskap peradaban siung-siung kuku – ya kukunya cepat membusuk pada badan berang itu sendiri, ia rusak karena ia menilai dari kacamata yang berbeda. Pada hari ini, banyak aku menjadi sadar bahwa perbincangan awal si ikat kepala merah dan tekstil kapitalis tidak mendapat kesepakatan. Sudah terlambat ternyata kesadaran itu. Berang yang adalah darah, air liur sirih-pinang yang adalah darah, kini menjadi anggur manis dan pahit – dikotomi hidup ku. Pohon dan batu keramat ditinggalkan dan nafas kita beralih pada peti derma, pada dinding beton, mimbar menjulang setara gunung dan altar suci, lebih suci dari dasar bambu dalam rumah tua. 

Hutan, cengkih pala, hutan harta murni, jatuh harga: harga diri. Harta di sasi, namanya sasi tetapi disalib dengan ayat kitab suci dan lambang suci. Apakah salib menyalibkan salib atas dalil ekonomi beton dan mimbar?. Manusia berang yang tinggal sisa, remah-remah kolonial, duduk pada emperan rumah tua dan bertanya-tanya apakah aku masih malu? Ataukah aku mesti Malu-Ku. Yang sepertinya harus Maluku. Aku harus terlanjang Kembali dalam asalku, saat hanya berang di pinggan, dada dan kepala. Setiap kali aku pergi di dalam dinding beton, aku menjadi malu karena rumah tua masih beratap rumbia. Sekali aku duduk beralaskan bambu, malu-ku gelisah karena terlanjur nyaman dengan dasar licin pemantul wajah. Ohhhhhhh Maluku – malu-ku, ku, malu, aku runtuh,  berantakan.

Dan di antara reruntuhan itu, aku melihatnya kini: tali-temali rotan yang mematung di Baileo telah berubah menjadi rantai besi berkarat. Ikat kepala merah yang dulu menyala seperti bara di tengah hutan, kini tergantung lesu di museum kaca—dipajang sebagai artefak mati, diberi label "Peninggalan Prasejarah". Museum? Apa itu museum? Sebuah peti mati bagi jiwa-jiwa yang masih bernapas dalam daging? Di sana, berang—darah kami—dipotong-potong lalu dijual dalam lembar katalog. Setiap jahitan kain hitam kapitalis yang merobek unjung sakral kini bersulam emas, dipamerkan sebagai "karya seni kolonial". Sementara batu pamali yang kami sembah, dihancurkan lalu dijadikan fondasi rumah ibadat. Dasar batu itu masih menangis, bisikku dalam gelap, tapi siapa yang mendengar tangisan bebatuan?

Angin pesisir membawa bau cengkeh busuk—wangi peradaban yang membusuk dalam perut bumi. Kapal-kapal raksasa itu masih berjejer di lautan, kini berganti nama menjadi "pelabuhan internasional". Mereka menelan teluk Elpaputih, menenggelamkan nyiur melambai, dan memuntahkan limbah plastik ke perut ikan-ikan kami. Lautan yang dulu kami peluk sebagai ibu, kini jadi pelacur bagi kapal-kapal bajak laut modern. Aku ingat lelaki berikat kepala merah itu: alih-alih membela lautan, ia memilih gunung. Tapi gunung pun kini terkikis—dibongkar untuk bijih besi. Batu-batu pamali kami dijadikan aspal. Mereka mengecatnya abu-abu, lalu menyebutnya "kemajuan".

Di rumah ibadat yang menjulang setara gunung, mimbar itu berteriak tentang "kasih". Tapi kasih apa yang mereka maksud? Kasih yang mengubah air sirih-pinang menjadi anggur pahit? Kasih yang menyebut pohon keramat kami "berhala"? Di altar suci itu, lilin-lilin menangis meleleh—lilin dari lemak ikan paus yang dibantai di lautan. Padahal di rumah tua kami, cahaya hanya datang dari api unggun yang dinyalakan dengan kayu gaharu. Api itu tidak pernah mati selama 350 tahun—sampai datanglah pendeta dengan botol minyak zaitun impor. Dia memadamkan api kami, lalu menyalakan lilin. Lilin itu mati dalam semalam.

Dan aku? Aku menjadi hantu di antara dua dunia. Di Baileo, mereka menyebutku "pengkhianat" karena memakai kemeja kapitalis. Di gereja, mereka menatapku curiga karena tanganku masih terbiasa memegang parang. Aku terlalu Maluku untuk mereka, terlalu asing untuk tanahku sendiri. Malu itu—rasa malu yang mereka tanamkan—tumbuh seperti jamur di hati. Ia merayap hingga ke ujung jari, membuatku takut menyentuh kulit kayu yang dulu kusentuh dengan cinta. Tapi di malam hari, ketika rumah ibadat tidur dalam betonnya, aku kembali ke hutan. Aku memeluk pohon tua itu, menghirup bau tanah basah, dan menangis diam-diam di antara akar-akarnya. Aku minta maaf pada leluhur: Maafkan kami yang telah menjual jiwa untuk selembar kain hitam.

Matahari masih terbit dari timur, tapi cahayanya kini terhalau asap pabrik. Angin masih bertiup dari utara, tapi bau anyaman daun lontar telah terganti bau knalpot. Peradaban itu datang seperti puting beliung—mencabut akar, memutar tubuh, lalu menjatuhkan kami sebagai bangkai. Tapi di antara reruntuhan, sesuatu masih berdenyut: denyut batu di bawah aspal, denyut pohon di tengah beton, denyut lautan di balik tumpahan limbah. Mereka masih ingat kami. Mungkin suatu hari nanti, ketika kapal-kapal raksasa itu tenggelam dalam lautan sampahnya sendiri, ikat kepala merah itu akan kembali menyala. Dan kali ini, tidak ada kain hitam yang bisa memadamkan bara.


Sunday, October 5, 2025

Ibu kehidupan, Ibu pengetahuan

 




Eden adalah goa awal ketika Platon mendefinisikan idea; dualisme dunia yang memenjarakan jiwa dalam tubuh. Kapan kemudian, sebuah cahaya di balik tulang belakang manusia berputar 180 derajat, menghadap pada muka sang makhluk. Nyatanya, semua itu tak semudah menyalakan pelita dan meletakkannya tepat di depan mata. Semua berawal dari rasa ingin tahu.

Sebuah jejak anamnesis mendorong wanita itu. Dia, Hawa, dia liar dalam nafsu akan pengetahuan, berdiri dan mengingat jejak-jejak kehadirannya. Hayy Ibn Yaqzhan bersuara dalam penciptaan tanpa alur biologis, membawa manusia dalam pencarian akan dunia yang jauh di sana - Hawa berkelana dalam pengembaraan jiwa; jiwa yang haus akan pengetahuan, jiwa yang bersemedi dalam tenggorokan zaman-zaman purba. Dia menerobos goa sang Platon, berlari ke sisi paling luar gua. Namun, malam lebih dulu menjemput semesta yang masih perawan. Ia memilih untuk kembali, akan tetapi nafsunya pada pengetahuan sangat bergelora. Ia menahan konak itu dalam keheningan malam, menatap pada rembulan dan bintang-bintang—masih ada sepercik cahaya, namun tak sebesar cahaya goa yang memunculkan jiwa: siluet nan jauh di sana.

Hawa tertidur dalam pelukan dingin malam, Ia terlelap pada akar pohon yang kelak ia sadari nanti. Seutas akar, dalam malam penuh harapan, menusuk jantung wanita muda itu; wanita yang baru lahir atas percintaan daging dan tulang sang tanah. Tanpa sadar, entah pukul berapa, entah waktu di tangan para cendekiawan Renaisans menunjukkan ke mana arah matahari, ia dibangunkan dalam “kaget”—sebuah keheranan akan surya, yang cahayanya terang-benderang menerobos masuk ke dalam goa asalnya. Hawa berada di Eden, lingkungan baru yang kaya akan ide-ide cemerlang, Eden yang merangsang, namun sepi.

Tak kalah dari sinar surya, buah oranye itu—pada pohon yang akarnya menusuk jantung Hawa sejak malam—menunjukkan keseksiannya. Kejantanannya lebih jantan dari milik lelaki tanah itu. Ia membuat sang wanita horni dalam hasrat yang ia pendam sejak malam-malam itu. Semilir angin timur membawa napas sang kebijaksanaan; ular yang kurus merayap menghampirinya, meminta makanan—karena sejak penciptaan ia belum makan dari tanah. Ia bercakap-cakap, ia menjadi architectonic cause, memperkenalkan cara memuaskan hasrat keingintahuan yang hebat. Ia menjadi bidan bedah, namun ia datang bukan dengan pisau bedah; ia menggunakan lidah cerdiknya, dan menjadi saksi bisu, ketika Hawa, wanita perawan itu, bercinta dalam kebahagiaan; ketika ia menyambut kejantanan sang buah oranye.

Ia tenggelam dalam kenikmatan pengetahuan. Matanya terbuka lebar, cahayanya mengalahkan surya siang itu. Tak lama, sang pemilik goa di Eden merasa risih. Dunia idea-nya menjadi sobek oleh nyali besar sang wanita. Dileparkanlah dia pada realitas yang indah, karena sang pemilik goa sadar: wanita itu telah hamil—hamil pengetahuan. Dalam kehamilan, Hawa dicerca, dibuang, dituduh sebagai pembangkang. Bersamaan dengan itu, ia melihat sang bijaksana—merayap memakan tanah dan telah gemuk. Sejak tuduhan dan kesakitan itu ia terima, ia telah memberi hidup pada sang bijaksana, sang ular. Hawa, berjalan berkelana, tertatih-tatih, mengumpulkan lembar demi lembar daun binayana  merajutnya dalam peluh dan asah, sebagai penghangat tubuh, dan tempat untuk bayinya.

Sejak pengusiran Hawa, rasa sakit dan malu atas tuduhan terus membuntutinya. Hawa berubah menjadi sang pengembara, melintasi ruang dan waktu mencari tempat kelahiran sang bayi. Tanpa ia sadari, rumor kelam telah diciptakan para penghuni goa yang lain. Mereka mencari validitas jati diri baru, menunggangi identitas Hawa, menginjak harga dirinya hanya untuk kemakmuran identitas. Rumor ciptaan itu digoreskan di atas tanah oleh lelaki tanah. Embrionya cepat menerobos zaman—lambat laun, cerita palsu berubah menjadi larva mitos, berkembang menjadi pupa legenda, dan terbang dalam imago iman, menyebar ke seluruh jagat raya.

Di waktu yang berbeda, wanita itu menemukan data indriawinya yang pertama: pergerakan sang bayi telah gelisah akan zaman yang kacau atas pengkhianatan sang ibu. Wanita itu, dalam semangat juang yang berdarah-darah, menyaksikan sang bayi pengetahuan menatap dunia. Sang ibu telah melahirkan; ia berdarah-darah untuk satu bayi pengetahuan. Bayi yang lahir atas hasrat besar untuk tahu, ia tumbuh dalam cinta kasih, moralitas, akal budi, dan kompleksitas manusia. Sang wanita hebat itu telah membuka mata jiwa, telah menjadi pelopor ide—bukan lagi idea. Ia membayar pengetahuan dengan darah janinnya, sebuah harga mahal yang tidak dapat dibayar dengan seempuk kertas bernilai dalam peti derman.

Sang ibu dan anak tumbuh kuat, namun mereka terasing oleh zaman. Peradaban telah lebih awal menjadi serbuk sari bunga yang berpacu lidah dengan imago iman. Wanita hebat, ibu biologis dan ibu epistemik semua yang hidup, kini dikenal sebagai pendamping lelaki tanah: sosok lemah, sosok rapuh, sosok tak berdaya. Namun dalam pengasingannya, tersembunyi sebuah daya yang luput dari catatan sejarah. Darah yang tertumpah itu tidak pernah benar-benar kering; ia meresap jauh ke dalam tanah, menjadi sungai dan membasahi akar-akar pohon pengetahuan di setiap peradaban. Setiap kali seorang perempuan melahirkan dengan rasa sakit yang sama, setiap kali seorang pemikir mempertanyakan otoritas, di situlah napas Hawa dan anaknya berhembus. Mereka ada dan hidup bersama sang ular. 

Sang ibu pengetahuan sering dikubur dalam ketidaksadaran, sebuah tindakan putus asa untuk membungkam gema jejak-jejaknya. Bagaimana mungkin jejak-jejak itu dapat benar-benar hilang? Ia hidup di setiap tarian Sufi yang berputar mencari Ilahi, dalam setiap bunyi mesin uap yang membelah angkuhnya zaman industri, bahkan dalam setiap kode digital yang membisikkan kebebasan informasi. Sang "bayi pengetahuan" telah bertumbuh dan terus tumbuh; ia adalah jiwa sejarah yang senantiasa menggerus fondasi basa-basi.

Eden bukanlah surga yang hilang, melainkan rahim yang terlempar. Dengan memakan buah itu, Hawa tidak mengusir manusia dari surga; ia mengusir ketidaktahuan dari manusia. Ia membayarnya dengan darah dan pengasingan—mata uang yang paling jujur yang pernah ada—jauh melampaui nilai kertas papirus usang yang kini diimani manusia sejagat raya.

Mari mendengarkan lagi gemuruh yang tertahan dalam pusaran zaman. Membedah "imago iman" yang lahir dari pupa legenda palsu, dan bisikan orisinal sang "ibu epistemik" yang masih berdarah-darah. Sebab, kebenaran tidak pernah mati; ia hanya terlelap dan akan bangkit kembali. 

Devins Yonci Walalayo

Yogyakarta; 12 September 2025, 02.16 WIB


Epistemologi Luka: Ketika Pelecehan Tak Bersuara Melukai Ruang Akademik






Opini ini saya buat sebagai respons atas perayaan hari Kesehatan mental sedunia tanggal pada 10 Oktober 2025 – beberapa  hari lagi di depan. Tidak untuk membela dan juga menyudutkan pihak-pihak tertentu, ini hanya refleksi epistemik semata. Banyak fenomena kesehatan mental muncul dalam realitas bersama. Salah satunya ialah kekerasan seksual non-verbal di lingkungan akademik. Karena tak tampak, beberapa kasus kekerasan seksual non-verbal  telah membentuk demarkasi di kalangan masyarakat. Oleh sebab itu, saya mencoba  melihatnya melalui tiga teori kebenaran dalam epistemologi, serta berupaya membangun satu bentuk epistemologi luka – rekomendasi epistemik yang menjadi ruang evaluatif dan reflektif bersama, baik sebagai para akademisi maupun masyarakat luas. Pada peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia setiap 10 Oktober—sebuah momen yang berakar dari inisiatif Federasi Kesehatan Mental Dunia sejak 1992 untuk mengadvokasi kesadaran global—kita diingatkan bahwa kesehatan mental bukan sekadar absennya gangguan jiwa, melainkan juga terpeliharanya martabat dan keutuhan psikologis seseorang. Dalam konteks ini, ada sebuah paradoks yang kerap muncul: jika seseorang menampar wajah Anda, lalu memohon maaf, permintaan maaf itu—seberapa tulus pun—tidak akan menghapus memar di kulit Anda, apalagi menghilangkan rasa perih yang tertinggal. Demikian pula dengan luka-luka yang tak kasat mata: sebuah permintaan maaf tidak serta-merta memulihkan keretakan jiwa yang diakibatkan oleh kekerasan nonverbal, pelecehan terselubung, atau pelanggaran batas diri yang diam-diam melukai.

Ruang akademis beberapa waktu belakangan menjadi sorotan banyak manusia, ketika kemudian fakta-fakta kekerasan seksual muncul ke permukaan. Alih-alih menyebutnya gunung es, ia telah mengubah wujud sebagai gunung berapi yang suatu waktu diam nan anggun sebagai objek wisata, namun dalam diamnya sekali-kali lahar panasnya tumpah  ke luar – ke permukaan -  untuk dilihat dan dirasakan panasnya. 

Lingkungan kampus, dengan cita-citanya sebagai sanctum academium—ruang suci untuk mengejar kebenaran dan membangun peradaban—ironisnya tidak luput dari bayang-bayang pelecehan seksual. Selama ini, pemahaman publik seringkali terbatas pada pelecehan fisik: sentuhan yang tidak diinginkan, pemerkosaan, atau serangan langsung lainnya. Namun, gelombang kesadaran baru dalam beberapa dekade terakhir mengungkap sebuah realitas yang lebih kompleks dan tersamar: pelecehan seksual non-fisik dan non-verbal. Bentuk pelecehan ini tidak meninggalkan bekas luka di kulit, tetapi menggoreskan lukanya jauh di dalam jiwa dan identitas korban. Pelecehan non-verbal adalah serangan yang dilakukan tanpa kata-kata eksplisit, namun bermuatan seksual yang kuat dan merendahkan. Ia bisa berupa tatapan yang membuat seseorang merasa tak berdaya dan diobjektifikasi, penyebaran foto atau gambar intim tanpa persetujuan (non-consensual image sharing), penggunaan ekspresi tubuh atau gerakan yang bersifat seksual untuk membuat tidak nyaman, atau bahkan manipulasi dalam ruang digital seperti menyebarkan konten pribadi untuk dievaluasi secara seksual oleh orang lain.

Di kampus, dinamika kuasa yang timpang—seperti antara dosen dan mahasiswa, senior dan junior, atau bahkan antar rekan sejawat yang memiliki popularitas berbeda—menjadi lahan subur bagi praktik semacam ini. Seorang dosen/mahasiswa yang secara konsisten menerawang atau menatap tubuh mahasiswa/dosennya selama konsultasi, misalnya, sedang melakukan sebuah bentuk kontrol dan penciptaan lingkungan yang tidak aman, meskipun tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Sebuah grup chat yang digunakan untuk membagikan foto mahasiswa/dosen tertentu disertai komentar dan rating nonverbal (seperti emoji tertentu) telah menciptakan sebuah ruang pelecehan yang sistematis dan meninggalkan jejak digital yang memperparah trauma.

Bahaya utama dari pelecehan non-verbal ini justru terletak pada sifatnya yang "abu-abu" dan sulit dibuktikan secara hukum formal. Korban sering kali dihadapkan pada pertanyaan yang meragukan pengalamannya sendiri: "Apa memang ada yang salah? Mungkin aku yang terlalu sensitif. Dia kan tidak mengatakan apa-apa." Inilah yang disebut gaslighting struktural, di mana sistem dan norma sosial yang belum sepenuhnya paham membuat korban meragukan validitas perasaannya sendiri.
Oleh karena itu, mendefinisikan ulang pelecehan seksual di lingkungan kampus menjadi sebuah keharusan. Definisi ini harus melampaui paradigma kekerasan fisik dan verbal kasar, dan memasukkan spektrum perilaku non-verbal yang menciptakan lingkungan belajar yang intimidatif, bermusuhan, dan merendahkan martabat manusia. Upaya ini bukan tentang menciptakan budaya saling melaporkan (cancel culture), melainkan tentang membangun budaya kesadaran dan penghormatan (culture of consent and respect) yang memahami bahwa setiap individu memiliki batasan tubuh dan psikologis yang harus dihormati, bahkan dalam bentuk komunikasi yang paling diam sekalipun. Masa depan integritas akademik bergantung pada kemampuan kita untuk menjaga keamanan dan martabat setiap orang yang berada di dalamnya.



Kebenaran yang Tersembunyi: Menggunakan Pisau Bedah Epistemologi untuk Membongkar Pelecehan Non-Verbal

Dalam upaya memahami dan menilai pelecehan non-verbal yang sering kali tidak kasat mata, kerangka epistemologi—studi tentang asal-usul, hakikat, dan validitas pengetahuan—menawarkan alat analisis yang sangat vital. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk beralih dari pertanyaan subjektif "Apakah ini terasa seperti pelecehan?" menuju pertanyaan yang lebih mendasar: "Bagaimana kita dapat mengetahui dan membuktikan bahwa suatu tindakan non-verbal merupakan sebuah pelecehan?" Pertanyaan ini menjadi sentral karena sifat pelanggaran ini sering kali menggugat fondasi dari apa yang dianggap sebagai "bukti" dalam sistem hukum dan sosial kita.

Pertama-tama, mari kita tinjau melalui Teori Korespondensi Kebenaran. Teori ini menyatakan bahwa sebuah pernyataan dianggap benar jika ia sesuai dengan fakta dan realitas objektif di dunia. Dalam konteks pelecehan non-verbal, tantangannya terletak pada mendefinisikan "fakta objektif" tersebut. Sebuah tatapan yang terlalu lama atau sebuah foto yang dibagikan adalah fakta objektif yang tak terbantahkan. Namun, muatan pelecehan dari tindakan tersebut sering kali dianggap sebagai tafsir subjektif semata. Di sinilah kita harus memperluas definisi "fakta". Fakta tidak hanya pada tindakan fisik (apa yang dilakukan), tetapi juga pada konteks relasi kuasa (misalnya, antara dosen dan mahasiswa), norma sosial yang berlaku (apakah tindakan itu pantas dalam situasi akademik?), dan dampak yang dapat diamati pada korban, seperti perubahan perilaku, kecemasan, atau penurunan prestasi akademik. Sebuah tatapan dari seorang dosen yang berkuasa kepada mahasiswanya atau sebaliknya, dalam ruang tertutup, adalah sebuah fakta yang berbeda secara kualitatif dengan tatapan sesama mahasiswa/dosen di kafetaria. Dengan demikian, kebenaran dari sebuah klaim pelecehan non-verbal sesuai dengan realitas objektif yang kompleks ini, yang melampaui sekadar gerak tubuh atau gambar belaka.

Selanjutnya, Teori Koherensi Kebenaran menuntut kita untuk melihat apakah klaim pelecehan non-verbal koheren atau konsisten dengan sistem keyakinan dan norma yang lebih luas. Di Indonesia, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) No.2 tahun 2022 telah memberikan kerangka hukum yang sangat relevan. UU ini secara tegas mengakui bahwa kekerasan seksual tidak hanya fisik tetapi juga non-fisik, termasuk yang menciptakan lingkungan yang tidak kondusif. Sebuah tindakan non-verbal, seperti menyebarkan foto seseorang untuk dievaluasi secara seksual tanpa izinnya, adalah koheren dengan definisi pelecehan seksual dalam UU TPKS yang menyebutkan perbuatan "merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang." Oleh karena itu, klaim seorang korban bahwa ia dilecehkan secara non-verbal adalah benar karena koheren dengan sistem hukum nasional yang progresif. Sebaliknya, menyangkal klaim tersebut dengan alasan "tidak ada kekerasan fisik" justru menjadi tidak koheren dengan semangat dan letter of the law dari UU TPKS itu sendiri.

Terakhir, Teori Pragmatis Kebenaran mengajak kita untuk menilai kebenaran berdasarkan konsekuensi dan fungsinya. Apa konsekuensi jika kita menerima klaim pelecehan non-verbal sebagai sebuah kebenaran? Konsekuensinya adalah korban mendapatkan validasi, rasa aman mulai dipulihkan, dan sebuah preseden diciptakan untuk mencegah perilaku serupa di masa depan. Kebenaran dalam hal ini "berfungsi" untuk memulihkan keadilan dan membangun lingkungan kampus yang lebih sehat. Sebaliknya, apa konsekuensi jika kita menolak klaim tersebut sebagai kebenaran? Konsekuensinya adalah reviktimisasi korban (trauma yang berlapis), pengabaian terhadap penderitaan mereka, dan terpeliharanya budaya diam yang memungkinkan pelaku terus beraksi. Dengan demikian, menerima kebenaran pengalaman korban adalah pilihan yang secara pragmatis lebih fungsional dan bermanfaat bagi ekosistem kampus secara keseluruhan.
Dengan demikian, epistemologi bukanlah sekadar permainan filsafat di menara gading. Ia adalah alat praktis untuk membongkar kompleksitas pelecehan non-verbal. Dengan memeriksa korespondensinya dengan realitas kontekstual, koherensinya dengan sistem hukum, dan konsekuensi pragmatisnya, kita dapat sampai pada sebuah kesimpulan yang lebih teguh: klaim pelecehan non-verbal dapat dan harus divalidasi sebagai sebuah kebenaran yang sah, demi terciptanya keadilan yang sesungguhnya di lingkungan akademik.

Di Luar Putusan Hukum: Mediasi, Maaf, dan Bahaya Tuduhan yang Keliru dalam Lanskap Pelecehan Non-Verbal

Setelah kebenaran suatu peristiwa pelecehan non-verbal berusaha ditegakkan melalui lensa epistemologi, langkah selanjutnya mari kita masuk pada ranah yang lebih rumit: penyelesaian. Dalam ruang ini, konsep-konsep seperti mediasi, permintaan maaf, potensi kesalahan tuduhan, dan klaim putusan lainnya yang saling beririsan, menciptakan medan yang sarat dengan ketegangan antara rekonsiliasi dan akuntabilitas. Memisahkan benang kusut ini sangat penting untuk mencapai keadilan yang sesungguhnya, bukan sekadar penyelesaian administratif yang rapuh.

Pertama, perlu dipahami dengan tegas bahwa mediasi bukanlah alat untuk menentukan ada tidaknya kebenaran suatu peristiwa. Mediasi adalah proses prosedural yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik setelah suatu fakta atau pelanggaran diakui atau setidaknya diidentifikasi. Menggunakan mediasi sebagai pintu pertama—sebelum investigasi mendalam—dalam kasus pelecehan seksual, termasuk non-verbal, sangatlah berisiko. Proses ini dapat mendorong korban untuk berkompromi atas martabat dan rasa amannya demi sebuah kesepakatan damai, sementara akar masalahnya—yaitu penyalahgunaan kuasa dan pelanggaran etik—tidak pernah benar-benar diselesaikan. Mediasi yang etis harus didahului oleh pengakuan institusi bahwa sebuah pelanggaran serius sedang ditangani, dan proses tersebut harus berfokus pada bentuk pertanggungjawaban pelaku dan pemulihan korban, bukan pada "perdamaian" yang dipaksakan.

Kedua, permintaan maaf memainkan peran yang ambigu namun krusial. Sebuah permintaan maaf yang otentik dapat menjadi pengakuan atas kesalahan (accountability) yang sangat powerful, yang memvalidasi pengalaman korban dan menjadi dasar untuk pemulihan. Namun, dalam praktiknya, permintaan maaf sering kali berubah menjadi alat taktis untuk mengakhiri konflik tanpa konsekuensi lebih lanjut bagi pelaku—sebuah "penutup mulut" yang murah. Lebih buruk lagi, jika permintaan maaf disamarkan sebagai pengakuan atas "kesalahpahaman" dan bukan atas perbuatan pelecehan itu sendiri, maka ia justru menjadi bentuk penyangkalan dan pengaburan kebenaran yang lebih halus. Oleh karena itu, nilai sebuah permintaan maaf harus diukur dari kesediaan pelaku untuk menerima konsekuensi penuh atas tindakannya, bukan sekadar dari kata-kata yang diucapkan.

Ketiga, dalam setiap kasus tuduhan pelecehan, hantu kesalahan tuduhan (false accusation) selalu menghantui. Memang, secara statistik dan faktual, kasus tuduhan palsu dalam kekerasan seksual sangatlah kecil dibandingkan dengan kasus pelecehan yang tidak terlapor. Namun, ketakutan akan hal ini sering kali digunakan untuk membalikkan narasi dan mengalihkan perhatian dari substansi laporan korban. Institusi harus sangat berhati-hati agar kekhawatiran yang valid ini tidak kemudian menjadi senjata untuk menciptakan iklim ketakutan dan skeptisisme yang sistemik terhadap para pelapor. Proses investigasi yang adil dan profesional dibentuk untuk menyaring laporan yang tidak berdasar, dan fokus harus tetap pada pengumpulan bukti untuk membuktikan atau menyangkal tuduhan, bukan pada upaya prematur untuk membuktikan niat pelapor.

Oleh karena itu, navigasi di ranah ini membutuhkan prinsip yang jelas: kebenaran dan akuntabilitas harus menjadi fondasinya. Mediasi tidak boleh menggantikan keadilan, maaf tidak boleh menghapus konsekuensi, kekhawatiran akan tuduhan palsu tidak boleh membenarkan sikap apriori,  untuk membungkam korban. Hanya dengan menjaga prinsip-prinsip inilah proses penyelesaian dapat membawa pada kedamaian yang sesungguhnya, bukan sekadar penguburan masalah dalam-dalam.

Epistemologi Luka - Mencari Bahasa untuk Rasa Sakit yang Tak Terucap

Dalam diskursus kekerasan seksual, terdapat sebuah wilayah sunyi yang paling sulit diartikulasikan: wilayah luka yang disebabkan oleh kekerasan non-verbal. Di sinilah kita membutuhkan sebuah kerangka epistemologi khusus—sebuah epistemologi luka—yang tidak hanya berusaha memahami apa yang kita ketahui tentang kekerasan semacam ini, tetapi lebih mendasar lagi: bagaimana kita bisa mengetahui sebuah luka yang sering kali tak memiliki bahasa untuk mengatakannya?

Epistemologi luka berangkat dari pengakuan bahwa pengalaman traumatis, terutama yang disebabkan oleh kekerasan non-verbal seperti tatapan mesum, gesture tubuh yang merendahkan, atau penyebaran gambar intim tanpa konsen, sering kali tersimpan dalam bentuk pengetahuan yang berbeda. Pengetahuan ini bukanlah fakta empiris yang mudah diukur, melainkan kenangan sensorial yang terpatri dalam tubuh: sebuah rasa mual yang tiba-tiba, detak jantung yang berpacu tanpa alasan jelas, atau keengganan untuk memasuki ruangan tertentu. Ini adalah pengetahuan yang lebih dahulu hadir dalam tubuh sebelum bisa diartikulasikan dalam kata.

Tantangan terberat dari luka semacam ini adalah paradoks ketidakterlihatannya. Bagaimana membuktikan sesuatu yang "hanya" dirasakan? Bagaimana membuat pengalaman subjektif akan rasa tidak nyaman, terancam, atau terobjektifikasi itu diakui sebagai sebuah kebenaran yang sah? Di sinilah sistem hukum dan sosial sering kali gagap. Mereka terbiasa dengan bukti-bukti yang kasat mata: luka fisik, kata-kata kasar, atau bukti digital yang eksplisit. Sementara luka non-verbal bersembunyi dalam ruang gelap antara yang terucap dan yang tak terucap, antara yang terlihat dan yang hanya bisa dirasakan.

Epistemologi luka mengajak kita untuk menggeser pertanyaan dari "Bisakah kamu membuktikannya?" menuju "Bisakah kita memahami bagaimana luka ini hadir dalam dirimu?" Ini adalah peralihan dari paradigma pembuktian menuju paradigma pengakuan. Sebuah tatapan yang melecehkan mungkin tidak akan pernah bisa "dibuktikan" di pengadilan, tetapi ia bisa dikenali melalui cara korban mengencengkan genggaman tangannya, melalui perubahan pola tidurnya, atau melalui kecemasan yang tiba-tiba menghantuinya saat bertemu dengan si pelaku. Dalam konteks kekerasan non-verbal, epistemologi luka menjadi alat yang vital karena: (1) Ia mengakui bahasa tubuh sebagai sumber pengetahuan yang sah tentang pengalaman kekerasan. (2) Ia memahami bahwa luka sering kali bercerita melalui gejala, bukan melalui narasi yang runtuh. (3) Ia menantang kita untuk memperluas definisi "bukti" melampaui yang kasat mata.

Dengan kerangka inilah kita akan menyelami lebih dalam bagaimana kekerasan non-verbal meninggalkan jejaknya, bagaimana luka yang tak terlihat itu meminta untuk diakui, dan yang paling penting: bagaimana kita sebagai masyarakat bisa belajar "membaca" kesaksian-kesaksian yang tak terucap ini. Sebab, dalam diam pun, sebenarnya ada sebuah kebenaran yang sedang berteriak.

Seni Membaca Diam yang Bicara

Pada akhirnya, perjalanan kita dalam memahami pelecehan non-verbal membawa kita pada sebuah kesadaran yang lebih dalam: bahwa kepekaan adalah bentuk kecerdasan tertinggi dalam ruang-ruang manusiawi. Layaknya seorang ahli kaligrafi yang mampu membaca makna di balik ketebalan dan ketipisan goresan tinta, atau seperti musikus yang memahami kekuatan not-not yang sengaja diistirahatkan, kita ditantang untuk menjadi lebih arif dalam "membaca" bahasa yang tak terucap.

Setiap tindakan kesalahan, termasuk pelecehan non-verbal yang sering kali tak berjejak fisik, sejatinya adalah seperti batu yang dilemparkan ke dalam danau kesadaran kolektif. Riak-nya mungkin tak selalu terlihat oleh mata, namun gelombangnya menyentuh setiap sudut danau yang tenang. Di sinilah kita diajak untuk tidak hanya menjadi pengamat yang reaktif, tetapi menjadi perenung yang memahami bahwa setiap diam yang berbicara, setiap tatapan yang menusuk, adalah sebuah narasi yang sedang bercerita tentang luka.

Dalam ruang akademi yang seharusnya menjadi taman penumbuhan jiwa-jiwa merdeka, kita perlu mengingat bahwa keadilan bukan hanya tentang menghukum yang salah, tetapi lebih tentang kemampuan kita merasakan getar rasa sesama. Kita adalah sekumpulan cerita yang saling bertaut, maka setiap tindakan yang merendahkan martabat orang lain adalah mengoyak halaman dari buku peradaban kita sendiri.

Mari kita berjalan di kampus-kampus kehidupan ini dengan kesadaran penuh, dengan mata yang tak hanya melihat tetapi merasakan, dengan telinga yang tak hanya mendengar tetapi menyelami, dengan hati yang tak hanya berdetak tetapi memahami. Sebab, pada akhirnya, menghargai martabat manusia adalah seni tertinggi dari segala ilmu yang kita pelajari di ruang-ruang akademis - seni memahami bahwa dalam setiap diam, ada suara yang menuntut untuk didengar; dalam setiap ruang hening, ada kebenaran yang menanti untuk diakui.