Skip to main content

Posts

JERAT KANTIAN SANG PENJAGA PINTU

  Ilustrasi: CICI AI Bayangkan ini: ada sebuah kota bernama Pengetahuan. Sebelum Kant, orang-orang ribut. Kelompok Rasionalis bersikeras bahwa peta kota yang mereka gambar di dalam kamar—hanya dengan logika—adalah yang paling benar, sekalipun tidak persis cocok dengan jalan-jalannya yang berliku. Kelompok Empiris, sebaliknya, bilang, "Lupakan peta! Jelajahi saja dengan kakimu, catat apa yang kau lihat, dan itulah kebenaran." Tapi lalu David Hume datang dan berbisik, "Bagaimana kau yakin jalan yang kau lewati kemarin akan ada lagi besok? Mungkin saja ia menghilang." Kota itu tiba-tiba terasa rapuh. Lalu, datanglah Immanuel Kant, sang penjaga pintu. Dengan wajah tenang dan sistem pemikiran yang rapi, dia berkata, "Tenang. Kota ini tidak rapuh. Ia kokoh karena penglihatannymu sendirilah yang membangunnya." Inilah yang dia sebut "Revolusi Copernican". Bukan kita yang mengitari dunia, tapi dunialah yang harus berputar mengikuti teleskop pikiran kita. ...
Recent posts

Malu-ku adalah Maluku

Di  hutan  pulau Seram abad ke-17,  dua pria paruh baya berjumpa, satu berikat kepala dengan kain merah dan bertelanjangkan badan, sementara yang satu lagi melilit tubuhnya dengan kain tebal bertekstil tinggi – sebuah mahakarya kapitalis Eropa. Ya identitasnya lahir dari apa yang melekat pada diri masing-masing individu. Dua pria yang tidak saling mengenal, memberanikan diri untuk berkenalan, daun-daun, gunung dan tanah saling bersahutan, bingung dan bertanya-tanya pada semesta luas, apa yang hendak mereka percakapkan. Tidak hanya manusia yang berbeda, namun bahasa, dialek dan tuturnya juga tidak saling mengenal. Seakan cinta yang paling murni tolak menolak seperti dua kutub bidang magnet.  Tiba pada akhir perbincangan, entah apa kesimpulannya, matahari telah mencapai peraduan, memberi isyarat bahwa perpisahan lekas terjadi. Lelaki berikat kepala merah mendaki bukit dan gunung dan seorang lainnya menyusuri rumput berduri turun ke tepian Pantai. Gemuruh ombak-ombak di...

Ibu kehidupan, Ibu pengetahuan

  Eden adalah goa awal ketika Platon mendefinisikan idea; dualisme dunia yang memenjarakan jiwa dalam tubuh. Kapan kemudian, sebuah cahaya di balik tulang belakang manusia berputar 180 derajat, menghadap pada muka sang makhluk. Nyatanya, semua itu tak semudah menyalakan pelita dan meletakkannya tepat di depan mata. Semua berawal dari rasa ingin tahu. Sebuah jejak anamnesis mendorong wanita itu. Dia, Hawa, dia liar dalam nafsu akan pengetahuan, berdiri dan mengingat jejak-jejak kehadirannya. Hayy Ibn Yaqzhan bersuara dalam penciptaan tanpa alur biologis, membawa manusia dalam pencarian akan dunia yang jauh di sana - Hawa berkelana dalam pengembaraan jiwa; jiwa yang haus akan pengetahuan, jiwa yang bersemedi dalam tenggorokan zaman-zaman purba. Dia menerobos goa sang Platon, berlari ke sisi paling luar gua. Namun, malam lebih dulu menjemput semesta yang masih perawan. Ia memilih untuk kembali, akan tetapi nafsunya pada pengetahuan sangat bergelora. Ia menahan konak itu dalam kehening...

Epistemologi Luka: Ketika Pelecehan Tak Bersuara Melukai Ruang Akademik

Opini ini saya buat sebagai respons atas perayaan hari Kesehatan mental sedunia tanggal pada 10 Oktober 2025 – beberapa  hari lagi di depan. Tidak untuk membela dan juga menyudutkan pihak-pihak tertentu, ini hanya refleksi epistemik semata. Banyak fenomena kesehatan mental muncul dalam realitas bersama. Salah satunya ialah kekerasan seksual non-verbal di lingkungan akademik. Karena tak tampak, beberapa kasus kekerasan seksual non-verbal  telah membentuk demarkasi di kalangan masyarakat. Oleh sebab itu, saya mencoba  melihatnya melalui tiga teori kebenaran dalam epistemologi, serta berupaya membangun satu bentuk epistemologi luka – rekomendasi epistemik yang menjadi ruang evaluatif dan reflektif bersama, baik sebagai para akademisi maupun masyarakat luas. Pada peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia setiap 10 Oktober—sebuah momen yang berakar dari inisiatif Federasi Kesehatan Mental Dunia sejak 1992 untuk mengadvokasi kesadaran global—kita diingatkan bahwa kesehatan menta...

Burung Tantina; Wasiat Sactje Hehanusa

Udara malam terasa lembap dan diam, hanya ditemani oleh suara desau kipas angin kecil di samping tempat tidurku. Layar komputerku memancarkan cahaya merah yang pudar, menyinari wajah yang lelah namun penuh ketekunan. Jari-jemariku menari pelan di atas keyboard, mencoba mengejar bayangan makna yang lebih dalam, dari maha karya Sactje Hehanusa, pencipta lagu  “Burung Tantina”. Namanya terasa seperti sebuah kerinduan yang tertahan di kerongkongan. Sebuah lagu dari Maluku, yang aku temukan dalam kegelisahan, tersembunyi di balik algoritma internet yang dingin. Aku putar rekaman amatir itu—suara seorang anak kecil yang jernih, diiringi petikan ukulele yang sumbang namun penuh perasaan, seolah direkam di sebuah teras rumah yang menghadap laut. Sio tantina burung tantina … Liriknya sederhana, hampir kekanak-kanakan. Tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuatku terdiam. Sesuatu yang menusuk dan asing, namun terasa sangat akrab, seperti kenangan dari kehidupan lain. Aku mencoba menelusuri ma...

Dokumen Srjarah Negeri Hatu (Walaya), kec. Tehoru

Dokumen sejarah Negeri hatu, Kecamatan Tehoru. WALAYA (lali supu lali hutua supu hutua) ini merupakan dokumen-dokumen sejarah. Negeri Hatu, kecanatan Tehoru adalah sebuah desa yang dahulu dalam kerusuhan 1999-2000 tidak mengalami kerusakan atau kehancuran sama sekali. Dengan berpatokan pada identitas Injil yang bercocok di Negeri Hatu (Walaya), negeri hatu pada tangal 05 Desember 1905 mengabadikan waktu itu sebagai hari bersejarah dan sekaligus identitas Negeri Hatu berada. Sekilas ini adalah dokumen yang hampir punah, saat orang tua-tua, hala tiang tengah Rumah Adat Negeri Hatu (Walaya). Dengan semboyan LALI SUPU LALI HUTUA SUPU HUTUA, sama-sama kaum lelaki berpartisipasi dalam kegiatn ini.