Skip to main content

Dokumen Srjarah Negeri Hatu (Walaya), kec. Tehoru

Dokumen sejarah Negeri hatu, Kecamatan Tehoru. WALAYA (lali supu lali hutua supu hutua) ini merupakan dokumen-dokumen sejarah. Negeri Hatu, kecanatan Tehoru adalah sebuah desa yang dahulu dalam kerusuhan 1999-2000 tidak mengalami kerusakan atau kehancuran sama sekali. Dengan berpatokan pada identitas Injil yang bercocok di Negeri Hatu (Walaya), negeri hatu pada tangal 05 Desember 1905 mengabadikan waktu itu sebagai hari bersejarah dan sekaligus identitas Negeri Hatu berada. Sekilas ini adalah dokumen yang hampir punah, saat orang tua-tua, hala tiang tengah Rumah Adat Negeri Hatu (Walaya). Dengan semboyan LALI SUPU LALI HUTUA SUPU HUTUA, sama-sama kaum lelaki berpartisipasi dalam kegiatn ini.

Comments

Popular posts from this blog

Epistemologi Luka: Ketika Pelecehan Tak Bersuara Melukai Ruang Akademik

Opini ini saya buat sebagai respons atas perayaan hari Kesehatan mental sedunia tanggal pada 10 Oktober 2025 – beberapa  hari lagi di depan. Tidak untuk membela dan juga menyudutkan pihak-pihak tertentu, ini hanya refleksi epistemik semata. Banyak fenomena kesehatan mental muncul dalam realitas bersama. Salah satunya ialah kekerasan seksual non-verbal di lingkungan akademik. Karena tak tampak, beberapa kasus kekerasan seksual non-verbal  telah membentuk demarkasi di kalangan masyarakat. Oleh sebab itu, saya mencoba  melihatnya melalui tiga teori kebenaran dalam epistemologi, serta berupaya membangun satu bentuk epistemologi luka – rekomendasi epistemik yang menjadi ruang evaluatif dan reflektif bersama, baik sebagai para akademisi maupun masyarakat luas. Pada peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia setiap 10 Oktober—sebuah momen yang berakar dari inisiatif Federasi Kesehatan Mental Dunia sejak 1992 untuk mengadvokasi kesadaran global—kita diingatkan bahwa kesehatan menta...

Burung Tantina; Wasiat Sactje Hehanusa

Udara malam terasa lembap dan diam, hanya ditemani oleh suara desau kipas angin kecil di samping tempat tidurku. Layar komputerku memancarkan cahaya merah yang pudar, menyinari wajah yang lelah namun penuh ketekunan. Jari-jemariku menari pelan di atas keyboard, mencoba mengejar bayangan makna yang lebih dalam, dari maha karya Sactje Hehanusa, pencipta lagu  “Burung Tantina”. Namanya terasa seperti sebuah kerinduan yang tertahan di kerongkongan. Sebuah lagu dari Maluku, yang aku temukan dalam kegelisahan, tersembunyi di balik algoritma internet yang dingin. Aku putar rekaman amatir itu—suara seorang anak kecil yang jernih, diiringi petikan ukulele yang sumbang namun penuh perasaan, seolah direkam di sebuah teras rumah yang menghadap laut. Sio tantina burung tantina … Liriknya sederhana, hampir kekanak-kanakan. Tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuatku terdiam. Sesuatu yang menusuk dan asing, namun terasa sangat akrab, seperti kenangan dari kehidupan lain. Aku mencoba menelusuri ma...

JERAT KANTIAN SANG PENJAGA PINTU

  Ilustrasi: CICI AI Bayangkan ini: ada sebuah kota bernama Pengetahuan. Sebelum Kant, orang-orang ribut. Kelompok Rasionalis bersikeras bahwa peta kota yang mereka gambar di dalam kamar—hanya dengan logika—adalah yang paling benar, sekalipun tidak persis cocok dengan jalan-jalannya yang berliku. Kelompok Empiris, sebaliknya, bilang, "Lupakan peta! Jelajahi saja dengan kakimu, catat apa yang kau lihat, dan itulah kebenaran." Tapi lalu David Hume datang dan berbisik, "Bagaimana kau yakin jalan yang kau lewati kemarin akan ada lagi besok? Mungkin saja ia menghilang." Kota itu tiba-tiba terasa rapuh. Lalu, datanglah Immanuel Kant, sang penjaga pintu. Dengan wajah tenang dan sistem pemikiran yang rapi, dia berkata, "Tenang. Kota ini tidak rapuh. Ia kokoh karena penglihatannymu sendirilah yang membangunnya." Inilah yang dia sebut "Revolusi Copernican". Bukan kita yang mengitari dunia, tapi dunialah yang harus berputar mengikuti teleskop pikiran kita. ...