![]() |
Ilustrasi: CICI AI |
Bayangkan ini: ada sebuah kota bernama Pengetahuan. Sebelum Kant, orang-orang ribut. Kelompok Rasionalis bersikeras bahwa peta kota yang mereka gambar di dalam kamar—hanya dengan logika—adalah yang paling benar, sekalipun tidak persis cocok dengan jalan-jalannya yang berliku. Kelompok Empiris, sebaliknya, bilang, "Lupakan peta! Jelajahi saja dengan kakimu, catat apa yang kau lihat, dan itulah kebenaran." Tapi lalu David Hume datang dan berbisik, "Bagaimana kau yakin jalan yang kau lewati kemarin akan ada lagi besok? Mungkin saja ia menghilang." Kota itu tiba-tiba terasa rapuh.
Lalu, datanglah Immanuel Kant, sang penjaga pintu. Dengan wajah tenang dan sistem pemikiran yang rapi, dia berkata, "Tenang. Kota ini tidak rapuh. Ia kokoh karena penglihatannymu sendirilah yang membangunnya."
Inilah yang dia sebut "Revolusi Copernican". Bukan kita yang mengitari dunia, tapi dunialah yang harus berputar mengikuti teleskop pikiran kita. Dan teleskop ini punya lensa bawaan yang tak bisa dilepas: ruang, waktu, dan segudang kategori seperti "sebab-akibat" dan "substansi". Data mentah dari luar masuk, lalu diolah oleh mesin apriori ini menjadi sebuah pengalaman yang teratur. Hasil olahan inilah yang disebut "sintesis apriori" — pengetahuan baru yang merasa pasti, karena hukumnya datang dari dalam diri si pengolah, bukan dari dunia luar.
Kant pikir dia sudah menyelamatkan ilmu pengetahuan. Dia pikir dia sudah menemukan fondasi. Tapi tanpa sadar, dia justru membangun sebuah jerat yang elegan.
Jerat pertama: Kita menjadi tahanan di balik lensa kita sendiri. Kant membagi realitas menjadi dua: fenomena (dunia yang tampak oleh kita) dan noumena (dunia pada dirinya sendiri). Nah, noumena ini tak pernah bisa kita kenal. Kita terkurung dalam ruang tontonan bernama fenomena, tanpa pernah bisa menyentuh panggung sebenarnya. Kita jadi Raja yang sekaligus Narapidana di dalam istana persepsi kita sendiri.
Jerat kedua — dan ini yang paling membuat saya tidak sepaham — sang subjek Kantian adalah hantu. Ia adalah sebuah "kesadaran murni" yang terlepas dari tubuh, dari sejarah, dari budaya, dari keringat, dari bahasa. Ia dilahirkan dengan sebuah "kotak peralatan" kategoris yang sudah penuh dan final. Ini subjek yang dingin dan statis. Bagaimana mungkin? Manusia-manusia yang saya lihat, yang saya ajak berdebat, yang belajar dari kesalahan, yang pemikirannya berubah — mereka semua adalah makhluk yang menjadi. Bukan mesin logika yang sudah selesai.
Dan jerat ketiga: apriori-nya Kant itu beku. Kategori-kategori itu dianggap abadi dan tak berubah. Tapi lihatlah sejarah ilmu! Konsep "ruang" dan "waktu" Newton berbeda dengan Einstein. Apa yang "pasti" bagi satu generasi, bisa saja ternyata hanya asumsi bagi generasi berikutnya. Kant lupa bahwa bahkan lensa teleskop pun bisa berdebu, retak, atau diganti dengan yang lebih baik.
Pada akhirnya, proyek penyelamatan Kant justru berakhir dengan pengasingan. Subjek ditinggikan takhta, tapi takhtanya berada di dalam sel. Sintesis apriorinya yang megah, terputus dari denyut nadi pengalaman yang sebenarnya — yang berdarah, yang mencoba-coba, yang bertumbuh.
Dia adalah penjaga pintu yang terlalu fokus membersihkan dan mengunci pintu gerbang, sampai lupa bahwa kebenaran bukan hanya tentang fondasi yang kokoh, tapi juga tentang kebun yang hidup dan subur di dalamnya — sebuah kebun yang harus ditaklukkan dan dipahami melalui kerja keras, dengan sekop dan cangkul, bukan hanya dengan membaca peta bawaan lahir.
Kita tidak butuh penjaga pintu. Kita butuh penjelajah. Dan untuk itu, kita harus melangkah keluar dari jerat ini.
Kant? Ah, sudah kita tinggalkan di gerbang istananya yang sunyi, sibuk mengelus-elus kunci-kategori yang ia kira abadi. Kini, kita melangkah ke rimba belantara di mana pengetahuan bukan lagi prasasti, tetapi denyut nadi.
Di sini, di tempat yang beku dan yang cair saling memangku, kita bicara tentang Sintesis Teriori. Bukan teori. Bukan sistem. Tapi nyanyian dari bengkel kehidupan tempat kita semua bekerja. Sebuah pengakuan yang mengguncang: bahwa dikotomi apriori dan aposteriori adalah ilusi yang rapuh. Ia adalah tembok kaca yang memisahkan kita dari keutuhan kita sendiri.
Kita bukan mesin pencampur yang memasukkan "data indra" ke dalam "mesin kategori". Itu bahasa para teknisi yang takut kotor. Kita adalah kawah yang bernyanyi. Di kawah kita, "yang dari luar" dan "yang dari dalam" sudah lebur menjadi satu magma yang bergejolak. Mereka adalah satu tenaga penciptaan. Aposteriori adalah apriori yang masih berdenyut. Apriori adalah aposteriori yang membeku untuk sementara, sebelum akhirnya mencair lagi oleh panasnya pengalaman baru.
Setiap hela nafas kita, setiap pecahan kaca kehidupan, setiap tawa dan tangis yang merasuk—itu semua adalah partitur. Dan partitur-partitur ini, dimainkan berulang dalam ruang konser sejarah hidup kita, perlahan mengkristal menjadi simfoni batin yang membimbing cara kita mendengar. Simfoni inilah yang kemudian kita sebut "apriori". Ia bukan warisan dari langit, tapi anak kandung dari bumi pengalaman yang berdebu dan berdarah.
Lihatlah seorang anak! Kant melihatnya sebagai logika mungil yang sudah terpasang rapi.Kita melihatnya sebagai penjelajah liar yang menjilat dunia, menggigit realitas, melempar keributan. Dari kekacauan sensorik inilah—dari symphony of nonsense—barulah lahir melodi. Melodi "benda", ritme "sebab-akibat", harmoni "ruang dan waktu". Kategori-kategori itu tidak turun dari langit; mereka terjelma dari bumi, dari tubiran, dari jatuh-bangun yang nyata.
Maka, subjek Sintesis Teriori bukanlah hantu dalam mesin. Ia adalah Sang Penjelma. Sebuah tubuh yang menulis sejarah dengan luka dan tawa. Sebuah kesadaran yang dirajut dari bahasa, keringat, dan kenangan. Setiap sintesis yang dilakukannya adalah sebuah tarian—sebuah gerak utuh yang melibatkan otot, syaraf, getar hati, dan endapan zaman.
Kita bukan lagi bertanya, “Apa syarat kemungkinan?” Itu pertanyaan sang penjaga yang takut pada badai. Kita kini menggema, “Bagaimana kita terus-menerus menjadi mungkin?” Itu gema sang pelaut yang mengarungi badai. Sintesis Teriori adalah jawabannya. Ia adalah perahu kita. Sebuah perahu yang terus dicatat di tengah lautan, dengan papan-papan yang direbut dari gelombang, dari pulau-pulau asing yang kita tanduskan.
Kita adalah sang pelaut dan perahu itu sendiri. Kita adalah kawah dan nyala api. Kita adalah nyanyian dan suara yang parau. Dalam Sintesis Teriori, kita akhirnya pulang. Bukan ke fondasi yang kokoh, tapi ke keutuhan kita yang paling liar dan paling benar: sebuah nyanyian dari darah dan lensa yang retak, yang justru karena retaknya itu, mampu menangkap cahaya dari sudut-sudut yang tak terduga.
Comments
Post a Comment