Skip to main content

Epistemologi Luka: Ketika Pelecehan Tak Bersuara Melukai Ruang Akademik






Opini ini saya buat sebagai respons atas perayaan hari Kesehatan mental sedunia tanggal pada 10 Oktober 2025 – beberapa  hari lagi di depan. Tidak untuk membela dan juga menyudutkan pihak-pihak tertentu, ini hanya refleksi epistemik semata. Banyak fenomena kesehatan mental muncul dalam realitas bersama. Salah satunya ialah kekerasan seksual non-verbal di lingkungan akademik. Karena tak tampak, beberapa kasus kekerasan seksual non-verbal  telah membentuk demarkasi di kalangan masyarakat. Oleh sebab itu, saya mencoba  melihatnya melalui tiga teori kebenaran dalam epistemologi, serta berupaya membangun satu bentuk epistemologi luka – rekomendasi epistemik yang menjadi ruang evaluatif dan reflektif bersama, baik sebagai para akademisi maupun masyarakat luas. Pada peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia setiap 10 Oktober—sebuah momen yang berakar dari inisiatif Federasi Kesehatan Mental Dunia sejak 1992 untuk mengadvokasi kesadaran global—kita diingatkan bahwa kesehatan mental bukan sekadar absennya gangguan jiwa, melainkan juga terpeliharanya martabat dan keutuhan psikologis seseorang. Dalam konteks ini, ada sebuah paradoks yang kerap muncul: jika seseorang menampar wajah Anda, lalu memohon maaf, permintaan maaf itu—seberapa tulus pun—tidak akan menghapus memar di kulit Anda, apalagi menghilangkan rasa perih yang tertinggal. Demikian pula dengan luka-luka yang tak kasat mata: sebuah permintaan maaf tidak serta-merta memulihkan keretakan jiwa yang diakibatkan oleh kekerasan nonverbal, pelecehan terselubung, atau pelanggaran batas diri yang diam-diam melukai.

Ruang akademis beberapa waktu belakangan menjadi sorotan banyak manusia, ketika kemudian fakta-fakta kekerasan seksual muncul ke permukaan. Alih-alih menyebutnya gunung es, ia telah mengubah wujud sebagai gunung berapi yang suatu waktu diam nan anggun sebagai objek wisata, namun dalam diamnya sekali-kali lahar panasnya tumpah  ke luar – ke permukaan -  untuk dilihat dan dirasakan panasnya. 

Lingkungan kampus, dengan cita-citanya sebagai sanctum academium—ruang suci untuk mengejar kebenaran dan membangun peradaban—ironisnya tidak luput dari bayang-bayang pelecehan seksual. Selama ini, pemahaman publik seringkali terbatas pada pelecehan fisik: sentuhan yang tidak diinginkan, pemerkosaan, atau serangan langsung lainnya. Namun, gelombang kesadaran baru dalam beberapa dekade terakhir mengungkap sebuah realitas yang lebih kompleks dan tersamar: pelecehan seksual non-fisik dan non-verbal. Bentuk pelecehan ini tidak meninggalkan bekas luka di kulit, tetapi menggoreskan lukanya jauh di dalam jiwa dan identitas korban. Pelecehan non-verbal adalah serangan yang dilakukan tanpa kata-kata eksplisit, namun bermuatan seksual yang kuat dan merendahkan. Ia bisa berupa tatapan yang membuat seseorang merasa tak berdaya dan diobjektifikasi, penyebaran foto atau gambar intim tanpa persetujuan (non-consensual image sharing), penggunaan ekspresi tubuh atau gerakan yang bersifat seksual untuk membuat tidak nyaman, atau bahkan manipulasi dalam ruang digital seperti menyebarkan konten pribadi untuk dievaluasi secara seksual oleh orang lain.

Di kampus, dinamika kuasa yang timpang—seperti antara dosen dan mahasiswa, senior dan junior, atau bahkan antar rekan sejawat yang memiliki popularitas berbeda—menjadi lahan subur bagi praktik semacam ini. Seorang dosen/mahasiswa yang secara konsisten menerawang atau menatap tubuh mahasiswa/dosennya selama konsultasi, misalnya, sedang melakukan sebuah bentuk kontrol dan penciptaan lingkungan yang tidak aman, meskipun tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Sebuah grup chat yang digunakan untuk membagikan foto mahasiswa/dosen tertentu disertai komentar dan rating nonverbal (seperti emoji tertentu) telah menciptakan sebuah ruang pelecehan yang sistematis dan meninggalkan jejak digital yang memperparah trauma.

Bahaya utama dari pelecehan non-verbal ini justru terletak pada sifatnya yang "abu-abu" dan sulit dibuktikan secara hukum formal. Korban sering kali dihadapkan pada pertanyaan yang meragukan pengalamannya sendiri: "Apa memang ada yang salah? Mungkin aku yang terlalu sensitif. Dia kan tidak mengatakan apa-apa." Inilah yang disebut gaslighting struktural, di mana sistem dan norma sosial yang belum sepenuhnya paham membuat korban meragukan validitas perasaannya sendiri.
Oleh karena itu, mendefinisikan ulang pelecehan seksual di lingkungan kampus menjadi sebuah keharusan. Definisi ini harus melampaui paradigma kekerasan fisik dan verbal kasar, dan memasukkan spektrum perilaku non-verbal yang menciptakan lingkungan belajar yang intimidatif, bermusuhan, dan merendahkan martabat manusia. Upaya ini bukan tentang menciptakan budaya saling melaporkan (cancel culture), melainkan tentang membangun budaya kesadaran dan penghormatan (culture of consent and respect) yang memahami bahwa setiap individu memiliki batasan tubuh dan psikologis yang harus dihormati, bahkan dalam bentuk komunikasi yang paling diam sekalipun. Masa depan integritas akademik bergantung pada kemampuan kita untuk menjaga keamanan dan martabat setiap orang yang berada di dalamnya.



Kebenaran yang Tersembunyi: Menggunakan Pisau Bedah Epistemologi untuk Membongkar Pelecehan Non-Verbal

Dalam upaya memahami dan menilai pelecehan non-verbal yang sering kali tidak kasat mata, kerangka epistemologi—studi tentang asal-usul, hakikat, dan validitas pengetahuan—menawarkan alat analisis yang sangat vital. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk beralih dari pertanyaan subjektif "Apakah ini terasa seperti pelecehan?" menuju pertanyaan yang lebih mendasar: "Bagaimana kita dapat mengetahui dan membuktikan bahwa suatu tindakan non-verbal merupakan sebuah pelecehan?" Pertanyaan ini menjadi sentral karena sifat pelanggaran ini sering kali menggugat fondasi dari apa yang dianggap sebagai "bukti" dalam sistem hukum dan sosial kita.

Pertama-tama, mari kita tinjau melalui Teori Korespondensi Kebenaran. Teori ini menyatakan bahwa sebuah pernyataan dianggap benar jika ia sesuai dengan fakta dan realitas objektif di dunia. Dalam konteks pelecehan non-verbal, tantangannya terletak pada mendefinisikan "fakta objektif" tersebut. Sebuah tatapan yang terlalu lama atau sebuah foto yang dibagikan adalah fakta objektif yang tak terbantahkan. Namun, muatan pelecehan dari tindakan tersebut sering kali dianggap sebagai tafsir subjektif semata. Di sinilah kita harus memperluas definisi "fakta". Fakta tidak hanya pada tindakan fisik (apa yang dilakukan), tetapi juga pada konteks relasi kuasa (misalnya, antara dosen dan mahasiswa), norma sosial yang berlaku (apakah tindakan itu pantas dalam situasi akademik?), dan dampak yang dapat diamati pada korban, seperti perubahan perilaku, kecemasan, atau penurunan prestasi akademik. Sebuah tatapan dari seorang dosen yang berkuasa kepada mahasiswanya atau sebaliknya, dalam ruang tertutup, adalah sebuah fakta yang berbeda secara kualitatif dengan tatapan sesama mahasiswa/dosen di kafetaria. Dengan demikian, kebenaran dari sebuah klaim pelecehan non-verbal sesuai dengan realitas objektif yang kompleks ini, yang melampaui sekadar gerak tubuh atau gambar belaka.

Selanjutnya, Teori Koherensi Kebenaran menuntut kita untuk melihat apakah klaim pelecehan non-verbal koheren atau konsisten dengan sistem keyakinan dan norma yang lebih luas. Di Indonesia, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) No.2 tahun 2022 telah memberikan kerangka hukum yang sangat relevan. UU ini secara tegas mengakui bahwa kekerasan seksual tidak hanya fisik tetapi juga non-fisik, termasuk yang menciptakan lingkungan yang tidak kondusif. Sebuah tindakan non-verbal, seperti menyebarkan foto seseorang untuk dievaluasi secara seksual tanpa izinnya, adalah koheren dengan definisi pelecehan seksual dalam UU TPKS yang menyebutkan perbuatan "merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang." Oleh karena itu, klaim seorang korban bahwa ia dilecehkan secara non-verbal adalah benar karena koheren dengan sistem hukum nasional yang progresif. Sebaliknya, menyangkal klaim tersebut dengan alasan "tidak ada kekerasan fisik" justru menjadi tidak koheren dengan semangat dan letter of the law dari UU TPKS itu sendiri.

Terakhir, Teori Pragmatis Kebenaran mengajak kita untuk menilai kebenaran berdasarkan konsekuensi dan fungsinya. Apa konsekuensi jika kita menerima klaim pelecehan non-verbal sebagai sebuah kebenaran? Konsekuensinya adalah korban mendapatkan validasi, rasa aman mulai dipulihkan, dan sebuah preseden diciptakan untuk mencegah perilaku serupa di masa depan. Kebenaran dalam hal ini "berfungsi" untuk memulihkan keadilan dan membangun lingkungan kampus yang lebih sehat. Sebaliknya, apa konsekuensi jika kita menolak klaim tersebut sebagai kebenaran? Konsekuensinya adalah reviktimisasi korban (trauma yang berlapis), pengabaian terhadap penderitaan mereka, dan terpeliharanya budaya diam yang memungkinkan pelaku terus beraksi. Dengan demikian, menerima kebenaran pengalaman korban adalah pilihan yang secara pragmatis lebih fungsional dan bermanfaat bagi ekosistem kampus secara keseluruhan.
Dengan demikian, epistemologi bukanlah sekadar permainan filsafat di menara gading. Ia adalah alat praktis untuk membongkar kompleksitas pelecehan non-verbal. Dengan memeriksa korespondensinya dengan realitas kontekstual, koherensinya dengan sistem hukum, dan konsekuensi pragmatisnya, kita dapat sampai pada sebuah kesimpulan yang lebih teguh: klaim pelecehan non-verbal dapat dan harus divalidasi sebagai sebuah kebenaran yang sah, demi terciptanya keadilan yang sesungguhnya di lingkungan akademik.

Di Luar Putusan Hukum: Mediasi, Maaf, dan Bahaya Tuduhan yang Keliru dalam Lanskap Pelecehan Non-Verbal

Setelah kebenaran suatu peristiwa pelecehan non-verbal berusaha ditegakkan melalui lensa epistemologi, langkah selanjutnya mari kita masuk pada ranah yang lebih rumit: penyelesaian. Dalam ruang ini, konsep-konsep seperti mediasi, permintaan maaf, potensi kesalahan tuduhan, dan klaim putusan lainnya yang saling beririsan, menciptakan medan yang sarat dengan ketegangan antara rekonsiliasi dan akuntabilitas. Memisahkan benang kusut ini sangat penting untuk mencapai keadilan yang sesungguhnya, bukan sekadar penyelesaian administratif yang rapuh.

Pertama, perlu dipahami dengan tegas bahwa mediasi bukanlah alat untuk menentukan ada tidaknya kebenaran suatu peristiwa. Mediasi adalah proses prosedural yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik setelah suatu fakta atau pelanggaran diakui atau setidaknya diidentifikasi. Menggunakan mediasi sebagai pintu pertama—sebelum investigasi mendalam—dalam kasus pelecehan seksual, termasuk non-verbal, sangatlah berisiko. Proses ini dapat mendorong korban untuk berkompromi atas martabat dan rasa amannya demi sebuah kesepakatan damai, sementara akar masalahnya—yaitu penyalahgunaan kuasa dan pelanggaran etik—tidak pernah benar-benar diselesaikan. Mediasi yang etis harus didahului oleh pengakuan institusi bahwa sebuah pelanggaran serius sedang ditangani, dan proses tersebut harus berfokus pada bentuk pertanggungjawaban pelaku dan pemulihan korban, bukan pada "perdamaian" yang dipaksakan.

Kedua, permintaan maaf memainkan peran yang ambigu namun krusial. Sebuah permintaan maaf yang otentik dapat menjadi pengakuan atas kesalahan (accountability) yang sangat powerful, yang memvalidasi pengalaman korban dan menjadi dasar untuk pemulihan. Namun, dalam praktiknya, permintaan maaf sering kali berubah menjadi alat taktis untuk mengakhiri konflik tanpa konsekuensi lebih lanjut bagi pelaku—sebuah "penutup mulut" yang murah. Lebih buruk lagi, jika permintaan maaf disamarkan sebagai pengakuan atas "kesalahpahaman" dan bukan atas perbuatan pelecehan itu sendiri, maka ia justru menjadi bentuk penyangkalan dan pengaburan kebenaran yang lebih halus. Oleh karena itu, nilai sebuah permintaan maaf harus diukur dari kesediaan pelaku untuk menerima konsekuensi penuh atas tindakannya, bukan sekadar dari kata-kata yang diucapkan.

Ketiga, dalam setiap kasus tuduhan pelecehan, hantu kesalahan tuduhan (false accusation) selalu menghantui. Memang, secara statistik dan faktual, kasus tuduhan palsu dalam kekerasan seksual sangatlah kecil dibandingkan dengan kasus pelecehan yang tidak terlapor. Namun, ketakutan akan hal ini sering kali digunakan untuk membalikkan narasi dan mengalihkan perhatian dari substansi laporan korban. Institusi harus sangat berhati-hati agar kekhawatiran yang valid ini tidak kemudian menjadi senjata untuk menciptakan iklim ketakutan dan skeptisisme yang sistemik terhadap para pelapor. Proses investigasi yang adil dan profesional dibentuk untuk menyaring laporan yang tidak berdasar, dan fokus harus tetap pada pengumpulan bukti untuk membuktikan atau menyangkal tuduhan, bukan pada upaya prematur untuk membuktikan niat pelapor.

Oleh karena itu, navigasi di ranah ini membutuhkan prinsip yang jelas: kebenaran dan akuntabilitas harus menjadi fondasinya. Mediasi tidak boleh menggantikan keadilan, maaf tidak boleh menghapus konsekuensi, kekhawatiran akan tuduhan palsu tidak boleh membenarkan sikap apriori,  untuk membungkam korban. Hanya dengan menjaga prinsip-prinsip inilah proses penyelesaian dapat membawa pada kedamaian yang sesungguhnya, bukan sekadar penguburan masalah dalam-dalam.

Epistemologi Luka - Mencari Bahasa untuk Rasa Sakit yang Tak Terucap

Dalam diskursus kekerasan seksual, terdapat sebuah wilayah sunyi yang paling sulit diartikulasikan: wilayah luka yang disebabkan oleh kekerasan non-verbal. Di sinilah kita membutuhkan sebuah kerangka epistemologi khusus—sebuah epistemologi luka—yang tidak hanya berusaha memahami apa yang kita ketahui tentang kekerasan semacam ini, tetapi lebih mendasar lagi: bagaimana kita bisa mengetahui sebuah luka yang sering kali tak memiliki bahasa untuk mengatakannya?

Epistemologi luka berangkat dari pengakuan bahwa pengalaman traumatis, terutama yang disebabkan oleh kekerasan non-verbal seperti tatapan mesum, gesture tubuh yang merendahkan, atau penyebaran gambar intim tanpa konsen, sering kali tersimpan dalam bentuk pengetahuan yang berbeda. Pengetahuan ini bukanlah fakta empiris yang mudah diukur, melainkan kenangan sensorial yang terpatri dalam tubuh: sebuah rasa mual yang tiba-tiba, detak jantung yang berpacu tanpa alasan jelas, atau keengganan untuk memasuki ruangan tertentu. Ini adalah pengetahuan yang lebih dahulu hadir dalam tubuh sebelum bisa diartikulasikan dalam kata.

Tantangan terberat dari luka semacam ini adalah paradoks ketidakterlihatannya. Bagaimana membuktikan sesuatu yang "hanya" dirasakan? Bagaimana membuat pengalaman subjektif akan rasa tidak nyaman, terancam, atau terobjektifikasi itu diakui sebagai sebuah kebenaran yang sah? Di sinilah sistem hukum dan sosial sering kali gagap. Mereka terbiasa dengan bukti-bukti yang kasat mata: luka fisik, kata-kata kasar, atau bukti digital yang eksplisit. Sementara luka non-verbal bersembunyi dalam ruang gelap antara yang terucap dan yang tak terucap, antara yang terlihat dan yang hanya bisa dirasakan.

Epistemologi luka mengajak kita untuk menggeser pertanyaan dari "Bisakah kamu membuktikannya?" menuju "Bisakah kita memahami bagaimana luka ini hadir dalam dirimu?" Ini adalah peralihan dari paradigma pembuktian menuju paradigma pengakuan. Sebuah tatapan yang melecehkan mungkin tidak akan pernah bisa "dibuktikan" di pengadilan, tetapi ia bisa dikenali melalui cara korban mengencengkan genggaman tangannya, melalui perubahan pola tidurnya, atau melalui kecemasan yang tiba-tiba menghantuinya saat bertemu dengan si pelaku. Dalam konteks kekerasan non-verbal, epistemologi luka menjadi alat yang vital karena: (1) Ia mengakui bahasa tubuh sebagai sumber pengetahuan yang sah tentang pengalaman kekerasan. (2) Ia memahami bahwa luka sering kali bercerita melalui gejala, bukan melalui narasi yang runtuh. (3) Ia menantang kita untuk memperluas definisi "bukti" melampaui yang kasat mata.

Dengan kerangka inilah kita akan menyelami lebih dalam bagaimana kekerasan non-verbal meninggalkan jejaknya, bagaimana luka yang tak terlihat itu meminta untuk diakui, dan yang paling penting: bagaimana kita sebagai masyarakat bisa belajar "membaca" kesaksian-kesaksian yang tak terucap ini. Sebab, dalam diam pun, sebenarnya ada sebuah kebenaran yang sedang berteriak.

Seni Membaca Diam yang Bicara

Pada akhirnya, perjalanan kita dalam memahami pelecehan non-verbal membawa kita pada sebuah kesadaran yang lebih dalam: bahwa kepekaan adalah bentuk kecerdasan tertinggi dalam ruang-ruang manusiawi. Layaknya seorang ahli kaligrafi yang mampu membaca makna di balik ketebalan dan ketipisan goresan tinta, atau seperti musikus yang memahami kekuatan not-not yang sengaja diistirahatkan, kita ditantang untuk menjadi lebih arif dalam "membaca" bahasa yang tak terucap.

Setiap tindakan kesalahan, termasuk pelecehan non-verbal yang sering kali tak berjejak fisik, sejatinya adalah seperti batu yang dilemparkan ke dalam danau kesadaran kolektif. Riak-nya mungkin tak selalu terlihat oleh mata, namun gelombangnya menyentuh setiap sudut danau yang tenang. Di sinilah kita diajak untuk tidak hanya menjadi pengamat yang reaktif, tetapi menjadi perenung yang memahami bahwa setiap diam yang berbicara, setiap tatapan yang menusuk, adalah sebuah narasi yang sedang bercerita tentang luka.

Dalam ruang akademi yang seharusnya menjadi taman penumbuhan jiwa-jiwa merdeka, kita perlu mengingat bahwa keadilan bukan hanya tentang menghukum yang salah, tetapi lebih tentang kemampuan kita merasakan getar rasa sesama. Kita adalah sekumpulan cerita yang saling bertaut, maka setiap tindakan yang merendahkan martabat orang lain adalah mengoyak halaman dari buku peradaban kita sendiri.

Mari kita berjalan di kampus-kampus kehidupan ini dengan kesadaran penuh, dengan mata yang tak hanya melihat tetapi merasakan, dengan telinga yang tak hanya mendengar tetapi menyelami, dengan hati yang tak hanya berdetak tetapi memahami. Sebab, pada akhirnya, menghargai martabat manusia adalah seni tertinggi dari segala ilmu yang kita pelajari di ruang-ruang akademis - seni memahami bahwa dalam setiap diam, ada suara yang menuntut untuk didengar; dalam setiap ruang hening, ada kebenaran yang menanti untuk diakui.

Comments

Popular posts from this blog

Burung Tantina; Wasiat Sactje Hehanusa

Udara malam terasa lembap dan diam, hanya ditemani oleh suara desau kipas angin kecil di samping tempat tidurku. Layar komputerku memancarkan cahaya merah yang pudar, menyinari wajah yang lelah namun penuh ketekunan. Jari-jemariku menari pelan di atas keyboard, mencoba mengejar bayangan makna yang lebih dalam, dari maha karya Sactje Hehanusa, pencipta lagu  “Burung Tantina”. Namanya terasa seperti sebuah kerinduan yang tertahan di kerongkongan. Sebuah lagu dari Maluku, yang aku temukan dalam kegelisahan, tersembunyi di balik algoritma internet yang dingin. Aku putar rekaman amatir itu—suara seorang anak kecil yang jernih, diiringi petikan ukulele yang sumbang namun penuh perasaan, seolah direkam di sebuah teras rumah yang menghadap laut. Sio tantina burung tantina … Liriknya sederhana, hampir kekanak-kanakan. Tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuatku terdiam. Sesuatu yang menusuk dan asing, namun terasa sangat akrab, seperti kenangan dari kehidupan lain. Aku mencoba menelusuri ma...

JERAT KANTIAN SANG PENJAGA PINTU

  Ilustrasi: CICI AI Bayangkan ini: ada sebuah kota bernama Pengetahuan. Sebelum Kant, orang-orang ribut. Kelompok Rasionalis bersikeras bahwa peta kota yang mereka gambar di dalam kamar—hanya dengan logika—adalah yang paling benar, sekalipun tidak persis cocok dengan jalan-jalannya yang berliku. Kelompok Empiris, sebaliknya, bilang, "Lupakan peta! Jelajahi saja dengan kakimu, catat apa yang kau lihat, dan itulah kebenaran." Tapi lalu David Hume datang dan berbisik, "Bagaimana kau yakin jalan yang kau lewati kemarin akan ada lagi besok? Mungkin saja ia menghilang." Kota itu tiba-tiba terasa rapuh. Lalu, datanglah Immanuel Kant, sang penjaga pintu. Dengan wajah tenang dan sistem pemikiran yang rapi, dia berkata, "Tenang. Kota ini tidak rapuh. Ia kokoh karena penglihatannymu sendirilah yang membangunnya." Inilah yang dia sebut "Revolusi Copernican". Bukan kita yang mengitari dunia, tapi dunialah yang harus berputar mengikuti teleskop pikiran kita. ...