Skip to main content

Burung Tantina; Wasiat Sactje Hehanusa








Udara malam terasa lembap dan diam, hanya ditemani oleh suara desau kipas angin kecil di samping tempat tidurku. Layar komputerku memancarkan cahaya merah yang pudar, menyinari wajah yang lelah namun penuh ketekunan. Jari-jemariku menari pelan di atas keyboard, mencoba mengejar bayangan makna yang lebih dalam, dari maha karya Sactje Hehanusa, pencipta lagu  “Burung Tantina”. Namanya terasa seperti sebuah kerinduan yang tertahan di kerongkongan. Sebuah lagu dari Maluku, yang aku temukan dalam kegelisahan, tersembunyi di balik algoritma internet yang dingin. Aku putar rekaman amatir itu—suara seorang anak kecil yang jernih, diiringi petikan ukulele yang sumbang namun penuh perasaan, seolah direkam di sebuah teras rumah yang menghadap laut.


Sio tantina burung tantina

Liriknya sederhana, hampir kekanak-kanakan. Tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuatku terdiam. Sesuatu yang menusuk dan asing, namun terasa sangat akrab, seperti kenangan dari kehidupan lain. Aku mencoba menelusuri maknanya. Pencarian digital hanya memberiku hampa. Tidak ada analisis mendalam, tidak ada penjelasan akademis, yang ada hanyalah  lagu itu sendiri, telanjang seperti adam dan hawa, menantang untuk ditafsirkan.

Lalu, dalam kesunyian sepertiga malam, makna itu mulai menetes perlahan, seperti rembesan air melalui dinding pintu kota di Pantai Airlow.


Mati dipanah Raja Nirwana

ini bukan tentang kematian. Ini tentang penyerahan. Tentang sebuah kehancuran yang diperlukan. Aku membayangkan seekor burung—bukan burung fisik, melainkan jiwa—terbang terlalu tinggi, mendekati matahari kebenaran, dan terbakar olehnya. "Raja Nirwana" bukan algojo, melainkan sang Kekasih yang kehadiran-Nya begitu dahsyat hingga sang diri yang fana ini harus "mati" lebih dulu sebelum bisa bersatu. 

Aku merasakannya sendiri. Bukankah semua pencarian pada akhirnya adalah keinginan untuk lepas dari diri sendiri? Keinginan untuk ditembus oleh sesuatu yang lebih besar, untuk dihancurkan dan dibentuk kembali.


Sakitnya bukan sakit penyakit

Aku menganggur pelan. Ya. Aku mengenal rasa sakit ini dengan intim. Ini adalah sakit yang tidak bisa diungkapkan pada BPJS kesehatan. Ini adalah kegelisahan eksistensial yang menggerogoti dasar jiwa. Rasanya seperti terpisah, terpotong dari sumberku sendiri. Seperti ada luka purba yang tidak bisa disembuhkan oleh dunia materi. Aku melihatnya di mata orang-orang di kereta komuter, di kedai kopi, di balik senyum-senyum yang sopan—semua kita memikul "sakit" yang sama, sakit kemanusiaan, sakit karena rindu untuk pulang.


Kabarnya datang dari Sri Rama

Dan di sini, aku tersenyum. Sebuah kejeniusan kultural. Lagu rakyat dari kepulauan terpencil itu justru menyambungkan titik-titik peradaban yang besar. Sri Rama, sang pahlawan epos India, tiba-tiba muncul dalam nyanyian Maluku. Ini adalah bukti bahwa jiwa manusia, di mana pun ia berada, selalu merindukan narasi yang sama tentang kebenaran, pengorbanan, dan jalan pulang. 

"Kabar" itu adalah kabar abadi bahwa jawaban atas penderitaan kita telah ada sejak zaman dahulu, menunggu untuk ditemukan kembali.

Aku memejamkan mata, Maluku-ku menyeretku ke bibir Pantai- aku  mencium aroma laut Banda, mendengar desir pohon kelapa, dan merasakan getar ukulele yang sederhana itu. Lagu ini bukan lagi sekadar objek penelitianku. Ia adalah cermin. Sebuah pengakuan kolektif yang puitis tentang kondisi manusia Maluku yang paling mendasar: bahwa kita semua adalah “Burung Tantina” yang terluka, terbang dalam kegelapan, dengan secarik harapan bahwa anak panah yang akan membunuh kita justru adalah anak panah yang akan membebaskan.


Aku mengetik kalimat terakhir, dan untuk pertama kalinya malam itu, aku merasa tidak terlalu kesepian.


Comments

Popular posts from this blog

Epistemologi Luka: Ketika Pelecehan Tak Bersuara Melukai Ruang Akademik

Opini ini saya buat sebagai respons atas perayaan hari Kesehatan mental sedunia tanggal pada 10 Oktober 2025 – beberapa  hari lagi di depan. Tidak untuk membela dan juga menyudutkan pihak-pihak tertentu, ini hanya refleksi epistemik semata. Banyak fenomena kesehatan mental muncul dalam realitas bersama. Salah satunya ialah kekerasan seksual non-verbal di lingkungan akademik. Karena tak tampak, beberapa kasus kekerasan seksual non-verbal  telah membentuk demarkasi di kalangan masyarakat. Oleh sebab itu, saya mencoba  melihatnya melalui tiga teori kebenaran dalam epistemologi, serta berupaya membangun satu bentuk epistemologi luka – rekomendasi epistemik yang menjadi ruang evaluatif dan reflektif bersama, baik sebagai para akademisi maupun masyarakat luas. Pada peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia setiap 10 Oktober—sebuah momen yang berakar dari inisiatif Federasi Kesehatan Mental Dunia sejak 1992 untuk mengadvokasi kesadaran global—kita diingatkan bahwa kesehatan menta...

JERAT KANTIAN SANG PENJAGA PINTU

  Ilustrasi: CICI AI Bayangkan ini: ada sebuah kota bernama Pengetahuan. Sebelum Kant, orang-orang ribut. Kelompok Rasionalis bersikeras bahwa peta kota yang mereka gambar di dalam kamar—hanya dengan logika—adalah yang paling benar, sekalipun tidak persis cocok dengan jalan-jalannya yang berliku. Kelompok Empiris, sebaliknya, bilang, "Lupakan peta! Jelajahi saja dengan kakimu, catat apa yang kau lihat, dan itulah kebenaran." Tapi lalu David Hume datang dan berbisik, "Bagaimana kau yakin jalan yang kau lewati kemarin akan ada lagi besok? Mungkin saja ia menghilang." Kota itu tiba-tiba terasa rapuh. Lalu, datanglah Immanuel Kant, sang penjaga pintu. Dengan wajah tenang dan sistem pemikiran yang rapi, dia berkata, "Tenang. Kota ini tidak rapuh. Ia kokoh karena penglihatannymu sendirilah yang membangunnya." Inilah yang dia sebut "Revolusi Copernican". Bukan kita yang mengitari dunia, tapi dunialah yang harus berputar mengikuti teleskop pikiran kita. ...