Skip to main content

Ibu kehidupan, Ibu pengetahuan

 




Eden adalah goa awal ketika Platon mendefinisikan idea; dualisme dunia yang memenjarakan jiwa dalam tubuh. Kapan kemudian, sebuah cahaya di balik tulang belakang manusia berputar 180 derajat, menghadap pada muka sang makhluk. Nyatanya, semua itu tak semudah menyalakan pelita dan meletakkannya tepat di depan mata. Semua berawal dari rasa ingin tahu.

Sebuah jejak anamnesis mendorong wanita itu. Dia, Hawa, dia liar dalam nafsu akan pengetahuan, berdiri dan mengingat jejak-jejak kehadirannya. Hayy Ibn Yaqzhan bersuara dalam penciptaan tanpa alur biologis, membawa manusia dalam pencarian akan dunia yang jauh di sana - Hawa berkelana dalam pengembaraan jiwa; jiwa yang haus akan pengetahuan, jiwa yang bersemedi dalam tenggorokan zaman-zaman purba. Dia menerobos goa sang Platon, berlari ke sisi paling luar gua. Namun, malam lebih dulu menjemput semesta yang masih perawan. Ia memilih untuk kembali, akan tetapi nafsunya pada pengetahuan sangat bergelora. Ia menahan konak itu dalam keheningan malam, menatap pada rembulan dan bintang-bintang—masih ada sepercik cahaya, namun tak sebesar cahaya goa yang memunculkan jiwa: siluet nan jauh di sana.

Hawa tertidur dalam pelukan dingin malam, Ia terlelap pada akar pohon yang kelak ia sadari nanti. Seutas akar, dalam malam penuh harapan, menusuk jantung wanita muda itu; wanita yang baru lahir atas percintaan daging dan tulang sang tanah. Tanpa sadar, entah pukul berapa, entah waktu di tangan para cendekiawan Renaisans menunjukkan ke mana arah matahari, ia dibangunkan dalam “kaget”—sebuah keheranan akan surya, yang cahayanya terang-benderang menerobos masuk ke dalam goa asalnya. Hawa berada di Eden, lingkungan baru yang kaya akan ide-ide cemerlang, Eden yang merangsang, namun sepi.

Tak kalah dari sinar surya, buah oranye itu—pada pohon yang akarnya menusuk jantung Hawa sejak malam—menunjukkan keseksiannya. Kejantanannya lebih jantan dari milik lelaki tanah itu. Ia membuat sang wanita horni dalam hasrat yang ia pendam sejak malam-malam itu. Semilir angin timur membawa napas sang kebijaksanaan; ular yang kurus merayap menghampirinya, meminta makanan—karena sejak penciptaan ia belum makan dari tanah. Ia bercakap-cakap, ia menjadi architectonic cause, memperkenalkan cara memuaskan hasrat keingintahuan yang hebat. Ia menjadi bidan bedah, namun ia datang bukan dengan pisau bedah; ia menggunakan lidah cerdiknya, dan menjadi saksi bisu, ketika Hawa, wanita perawan itu, bercinta dalam kebahagiaan; ketika ia menyambut kejantanan sang buah oranye.

Ia tenggelam dalam kenikmatan pengetahuan. Matanya terbuka lebar, cahayanya mengalahkan surya siang itu. Tak lama, sang pemilik goa di Eden merasa risih. Dunia idea-nya menjadi sobek oleh nyali besar sang wanita. Dileparkanlah dia pada realitas yang indah, karena sang pemilik goa sadar: wanita itu telah hamil—hamil pengetahuan. Dalam kehamilan, Hawa dicerca, dibuang, dituduh sebagai pembangkang. Bersamaan dengan itu, ia melihat sang bijaksana—merayap memakan tanah dan telah gemuk. Sejak tuduhan dan kesakitan itu ia terima, ia telah memberi hidup pada sang bijaksana, sang ular. Hawa, berjalan berkelana, tertatih-tatih, mengumpulkan lembar demi lembar daun binayana  merajutnya dalam peluh dan asah, sebagai penghangat tubuh, dan tempat untuk bayinya.

Sejak pengusiran Hawa, rasa sakit dan malu atas tuduhan terus membuntutinya. Hawa berubah menjadi sang pengembara, melintasi ruang dan waktu mencari tempat kelahiran sang bayi. Tanpa ia sadari, rumor kelam telah diciptakan para penghuni goa yang lain. Mereka mencari validitas jati diri baru, menunggangi identitas Hawa, menginjak harga dirinya hanya untuk kemakmuran identitas. Rumor ciptaan itu digoreskan di atas tanah oleh lelaki tanah. Embrionya cepat menerobos zaman—lambat laun, cerita palsu berubah menjadi larva mitos, berkembang menjadi pupa legenda, dan terbang dalam imago iman, menyebar ke seluruh jagat raya.

Di waktu yang berbeda, wanita itu menemukan data indriawinya yang pertama: pergerakan sang bayi telah gelisah akan zaman yang kacau atas pengkhianatan sang ibu. Wanita itu, dalam semangat juang yang berdarah-darah, menyaksikan sang bayi pengetahuan menatap dunia. Sang ibu telah melahirkan; ia berdarah-darah untuk satu bayi pengetahuan. Bayi yang lahir atas hasrat besar untuk tahu, ia tumbuh dalam cinta kasih, moralitas, akal budi, dan kompleksitas manusia. Sang wanita hebat itu telah membuka mata jiwa, telah menjadi pelopor ide—bukan lagi idea. Ia membayar pengetahuan dengan darah janinnya, sebuah harga mahal yang tidak dapat dibayar dengan seempuk kertas bernilai dalam peti derman.

Sang ibu dan anak tumbuh kuat, namun mereka terasing oleh zaman. Peradaban telah lebih awal menjadi serbuk sari bunga yang berpacu lidah dengan imago iman. Wanita hebat, ibu biologis dan ibu epistemik semua yang hidup, kini dikenal sebagai pendamping lelaki tanah: sosok lemah, sosok rapuh, sosok tak berdaya. Namun dalam pengasingannya, tersembunyi sebuah daya yang luput dari catatan sejarah. Darah yang tertumpah itu tidak pernah benar-benar kering; ia meresap jauh ke dalam tanah, menjadi sungai dan membasahi akar-akar pohon pengetahuan di setiap peradaban. Setiap kali seorang perempuan melahirkan dengan rasa sakit yang sama, setiap kali seorang pemikir mempertanyakan otoritas, di situlah napas Hawa dan anaknya berhembus. Mereka ada dan hidup bersama sang ular. 

Sang ibu pengetahuan sering dikubur dalam ketidaksadaran, sebuah tindakan putus asa untuk membungkam gema jejak-jejaknya. Bagaimana mungkin jejak-jejak itu dapat benar-benar hilang? Ia hidup di setiap tarian Sufi yang berputar mencari Ilahi, dalam setiap bunyi mesin uap yang membelah angkuhnya zaman industri, bahkan dalam setiap kode digital yang membisikkan kebebasan informasi. Sang "bayi pengetahuan" telah bertumbuh dan terus tumbuh; ia adalah jiwa sejarah yang senantiasa menggerus fondasi basa-basi.

Eden bukanlah surga yang hilang, melainkan rahim yang terlempar. Dengan memakan buah itu, Hawa tidak mengusir manusia dari surga; ia mengusir ketidaktahuan dari manusia. Ia membayarnya dengan darah dan pengasingan—mata uang yang paling jujur yang pernah ada—jauh melampaui nilai kertas papirus usang yang kini diimani manusia sejagat raya.

Mari mendengarkan lagi gemuruh yang tertahan dalam pusaran zaman. Membedah "imago iman" yang lahir dari pupa legenda palsu, dan bisikan orisinal sang "ibu epistemik" yang masih berdarah-darah. Sebab, kebenaran tidak pernah mati; ia hanya terlelap dan akan bangkit kembali. 

Devins Yonci Walalayo

Yogyakarta; 12 September 2025, 02.16 WIB


Comments

Popular posts from this blog

Epistemologi Luka: Ketika Pelecehan Tak Bersuara Melukai Ruang Akademik

Opini ini saya buat sebagai respons atas perayaan hari Kesehatan mental sedunia tanggal pada 10 Oktober 2025 – beberapa  hari lagi di depan. Tidak untuk membela dan juga menyudutkan pihak-pihak tertentu, ini hanya refleksi epistemik semata. Banyak fenomena kesehatan mental muncul dalam realitas bersama. Salah satunya ialah kekerasan seksual non-verbal di lingkungan akademik. Karena tak tampak, beberapa kasus kekerasan seksual non-verbal  telah membentuk demarkasi di kalangan masyarakat. Oleh sebab itu, saya mencoba  melihatnya melalui tiga teori kebenaran dalam epistemologi, serta berupaya membangun satu bentuk epistemologi luka – rekomendasi epistemik yang menjadi ruang evaluatif dan reflektif bersama, baik sebagai para akademisi maupun masyarakat luas. Pada peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia setiap 10 Oktober—sebuah momen yang berakar dari inisiatif Federasi Kesehatan Mental Dunia sejak 1992 untuk mengadvokasi kesadaran global—kita diingatkan bahwa kesehatan menta...

Burung Tantina; Wasiat Sactje Hehanusa

Udara malam terasa lembap dan diam, hanya ditemani oleh suara desau kipas angin kecil di samping tempat tidurku. Layar komputerku memancarkan cahaya merah yang pudar, menyinari wajah yang lelah namun penuh ketekunan. Jari-jemariku menari pelan di atas keyboard, mencoba mengejar bayangan makna yang lebih dalam, dari maha karya Sactje Hehanusa, pencipta lagu  “Burung Tantina”. Namanya terasa seperti sebuah kerinduan yang tertahan di kerongkongan. Sebuah lagu dari Maluku, yang aku temukan dalam kegelisahan, tersembunyi di balik algoritma internet yang dingin. Aku putar rekaman amatir itu—suara seorang anak kecil yang jernih, diiringi petikan ukulele yang sumbang namun penuh perasaan, seolah direkam di sebuah teras rumah yang menghadap laut. Sio tantina burung tantina … Liriknya sederhana, hampir kekanak-kanakan. Tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuatku terdiam. Sesuatu yang menusuk dan asing, namun terasa sangat akrab, seperti kenangan dari kehidupan lain. Aku mencoba menelusuri ma...

JERAT KANTIAN SANG PENJAGA PINTU

  Ilustrasi: CICI AI Bayangkan ini: ada sebuah kota bernama Pengetahuan. Sebelum Kant, orang-orang ribut. Kelompok Rasionalis bersikeras bahwa peta kota yang mereka gambar di dalam kamar—hanya dengan logika—adalah yang paling benar, sekalipun tidak persis cocok dengan jalan-jalannya yang berliku. Kelompok Empiris, sebaliknya, bilang, "Lupakan peta! Jelajahi saja dengan kakimu, catat apa yang kau lihat, dan itulah kebenaran." Tapi lalu David Hume datang dan berbisik, "Bagaimana kau yakin jalan yang kau lewati kemarin akan ada lagi besok? Mungkin saja ia menghilang." Kota itu tiba-tiba terasa rapuh. Lalu, datanglah Immanuel Kant, sang penjaga pintu. Dengan wajah tenang dan sistem pemikiran yang rapi, dia berkata, "Tenang. Kota ini tidak rapuh. Ia kokoh karena penglihatannymu sendirilah yang membangunnya." Inilah yang dia sebut "Revolusi Copernican". Bukan kita yang mengitari dunia, tapi dunialah yang harus berputar mengikuti teleskop pikiran kita. ...