Di hutan pulau Seram abad ke-17, dua pria paruh baya berjumpa, satu berikat kepala dengan kain merah dan bertelanjangkan badan, sementara yang satu lagi melilit tubuhnya dengan kain tebal bertekstil tinggi – sebuah mahakarya kapitalis Eropa. Ya identitasnya lahir dari apa yang melekat pada diri masing-masing individu. Dua pria yang tidak saling mengenal, memberanikan diri untuk berkenalan, daun-daun, gunung dan tanah saling bersahutan, bingung dan bertanya-tanya pada semesta luas, apa yang hendak mereka percakapkan. Tidak hanya manusia yang berbeda, namun bahasa, dialek dan tuturnya juga tidak saling mengenal. Seakan cinta yang paling murni tolak menolak seperti dua kutub bidang magnet.
Tiba pada akhir perbincangan, entah apa kesimpulannya, matahari telah mencapai peraduan, memberi isyarat bahwa perpisahan lekas terjadi. Lelaki berikat kepala merah mendaki bukit dan gunung dan seorang lainnya menyusuri rumput berduri turun ke tepian Pantai. Gemuruh ombak-ombak di tanjung Sial, teluk Elpaputih, teluk Telutuh, teluk Ambon, dan muara sungai menyambutnya. Nyatanya kapal-kapal raksasa peradaban telah berjejer anggun di lautan. Alih-alih membela lautan, ia tiba untuk membela gunung keramat dan batu-batu pamali.
Hampir tiga setengah abad – 350 tahun- kematian para datuk-datuk, mati Bersama kesakralan gunung-gunung keramat. Lahir dari kematian itu daging-daging gila peradaban, gila kehormatan dan gila ideologi dominan. Mereka perlahan merobek unjung sakral berang (ikat kepala sang lelaki tua), dan menyulamnya dengan kain-kain hitam pada emanasi kapitalis yang tumpah riuh di pesisir pantai. Seutas rotan yang mengikat erat Baileo mulai dibuka – kendor sudah ikatan kosmos, menuju ke manusia modern. Sakral berubah menjadi dosa hina, keindahan disematkan kafir, dan lahatalah bergantikan Yesus.
Yesus? Orang seperti apa itu? Dia Tuhan dan Manusia? Ternyata batu dan pohon-pohon kami juga Yesus. Kami raba, sentuh, peluk dan sembah (yang) dalam hening. Namun pada waktu yang sedikit telah lupa, seutas berang telah diubah wujudnya menjadi Kristen, Islam dan sebagainya. Kepercayaan baru menggema di seantero Maluku dan kita semua menjadi Malu pada ku (aku) – malu diri sendiri. Matahari terus menjadi dirinya dari timur ke barat, nous terus berhembus dari utara ke Selatan, namun puting beliung peradaban meniup kembali angin suci itu ke tempatnya, ia menjadi emas, intan, biji besi, cengkih dan pala yang siap disantap nilai ekonominya.
Gereja – apa itu? - ia di bangun oleh manusia-manusia berang, berdampingan dengan rumah tua mereka. Sebuah lanskap peradaban siung-siung kuku – ya kukunya cepat membusuk pada badan berang itu sendiri, ia rusak karena ia menilai dari kacamata yang berbeda. Pada hari ini, banyak aku menjadi sadar bahwa perbincangan awal si ikat kepala merah dan tekstil kapitalis tidak mendapat kesepakatan. Sudah terlambat ternyata kesadaran itu. Berang yang adalah darah, air liur sirih-pinang yang adalah darah, kini menjadi anggur manis dan pahit – dikotomi hidup ku. Pohon dan batu keramat ditinggalkan dan nafas kita beralih pada peti derma, pada dinding beton, mimbar menjulang setara gunung dan altar suci, lebih suci dari dasar bambu dalam rumah tua.
Hutan, cengkih pala, hutan harta murni, jatuh harga: harga diri. Harta di sasi, namanya sasi tetapi disalib dengan ayat kitab suci dan lambang suci. Apakah salib menyalibkan salib atas dalil ekonomi beton dan mimbar?. Manusia berang yang tinggal sisa, remah-remah kolonial, duduk pada emperan rumah tua dan bertanya-tanya apakah aku masih malu? Ataukah aku mesti Malu-Ku. Yang sepertinya harus Maluku. Aku harus terlanjang Kembali dalam asalku, saat hanya berang di pinggan, dada dan kepala. Setiap kali aku pergi di dalam dinding beton, aku menjadi malu karena rumah tua masih beratap rumbia. Sekali aku duduk beralaskan bambu, malu-ku gelisah karena terlanjur nyaman dengan dasar licin pemantul wajah. Ohhhhhhh Maluku – malu-ku, ku, malu, aku runtuh, berantakan.
Dan di antara reruntuhan itu, aku melihatnya kini: tali-temali rotan yang mematung di Baileo telah berubah menjadi rantai besi berkarat. Ikat kepala merah yang dulu menyala seperti bara di tengah hutan, kini tergantung lesu di museum kaca—dipajang sebagai artefak mati, diberi label "Peninggalan Prasejarah". Museum? Apa itu museum? Sebuah peti mati bagi jiwa-jiwa yang masih bernapas dalam daging? Di sana, berang—darah kami—dipotong-potong lalu dijual dalam lembar katalog. Setiap jahitan kain hitam kapitalis yang merobek unjung sakral kini bersulam emas, dipamerkan sebagai "karya seni kolonial". Sementara batu pamali yang kami sembah, dihancurkan lalu dijadikan fondasi rumah ibadat. Dasar batu itu masih menangis, bisikku dalam gelap, tapi siapa yang mendengar tangisan bebatuan?
Angin pesisir membawa bau cengkeh busuk—wangi peradaban yang membusuk dalam perut bumi. Kapal-kapal raksasa itu masih berjejer di lautan, kini berganti nama menjadi "pelabuhan internasional". Mereka menelan teluk Elpaputih, menenggelamkan nyiur melambai, dan memuntahkan limbah plastik ke perut ikan-ikan kami. Lautan yang dulu kami peluk sebagai ibu, kini jadi pelacur bagi kapal-kapal bajak laut modern. Aku ingat lelaki berikat kepala merah itu: alih-alih membela lautan, ia memilih gunung. Tapi gunung pun kini terkikis—dibongkar untuk bijih besi. Batu-batu pamali kami dijadikan aspal. Mereka mengecatnya abu-abu, lalu menyebutnya "kemajuan".
Di rumah ibadat yang menjulang setara gunung, mimbar itu berteriak tentang "kasih". Tapi kasih apa yang mereka maksud? Kasih yang mengubah air sirih-pinang menjadi anggur pahit? Kasih yang menyebut pohon keramat kami "berhala"? Di altar suci itu, lilin-lilin menangis meleleh—lilin dari lemak ikan paus yang dibantai di lautan. Padahal di rumah tua kami, cahaya hanya datang dari api unggun yang dinyalakan dengan kayu gaharu. Api itu tidak pernah mati selama 350 tahun—sampai datanglah pendeta dengan botol minyak zaitun impor. Dia memadamkan api kami, lalu menyalakan lilin. Lilin itu mati dalam semalam.
Dan aku? Aku menjadi hantu di antara dua dunia. Di Baileo, mereka menyebutku "pengkhianat" karena memakai kemeja kapitalis. Di gereja, mereka menatapku curiga karena tanganku masih terbiasa memegang parang. Aku terlalu Maluku untuk mereka, terlalu asing untuk tanahku sendiri. Malu itu—rasa malu yang mereka tanamkan—tumbuh seperti jamur di hati. Ia merayap hingga ke ujung jari, membuatku takut menyentuh kulit kayu yang dulu kusentuh dengan cinta. Tapi di malam hari, ketika rumah ibadat tidur dalam betonnya, aku kembali ke hutan. Aku memeluk pohon tua itu, menghirup bau tanah basah, dan menangis diam-diam di antara akar-akarnya. Aku minta maaf pada leluhur: Maafkan kami yang telah menjual jiwa untuk selembar kain hitam.
Matahari masih terbit dari timur, tapi cahayanya kini terhalau asap pabrik. Angin masih bertiup dari utara, tapi bau anyaman daun lontar telah terganti bau knalpot. Peradaban itu datang seperti puting beliung—mencabut akar, memutar tubuh, lalu menjatuhkan kami sebagai bangkai. Tapi di antara reruntuhan, sesuatu masih berdenyut: denyut batu di bawah aspal, denyut pohon di tengah beton, denyut lautan di balik tumpahan limbah. Mereka masih ingat kami. Mungkin suatu hari nanti, ketika kapal-kapal raksasa itu tenggelam dalam lautan sampahnya sendiri, ikat kepala merah itu akan kembali menyala. Dan kali ini, tidak ada kain hitam yang bisa memadamkan bara.
Comments
Post a Comment