MEMBACA MALUKU SEBAGAI BAILEO BESAR: SEJARAH, RESISTENSI, DAN DARAH EKOLOGI
![]() |
Gambar: Sketsa Baileo SUHATO Negeri Hatu, Kecamatan Tehoru |
Di balik penampilannya yang tenang, Baileo menyimpan sejarah yang jarang tersentuh. Ia bukan sekadar bangunan tua, melainkan saksi bisu dari sebuah era di mana fondasinya mungkin diperkuat bukan hanya oleh kayu dan batu, tetapi juga oleh ritual yang melibatkan pengorbanan manusia. Narasi inilah yang akhirnya membuat pemerintah kolonial melabelinya sebagai ancaman, hingga keberadaannya pun dilarang.
Dalam kesibukan mempersiapkan Ujian Tengah Semester, saya dan Sadrak Wutres, seorang magister Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada, menyisihkan waktu untuk menelusuri arsip kolonial Belanda tentang Baileo. Di situlah kami menemukan karya etnografi G. de Vries, Bij de Berg-Alfoeren op West-Seran (1927), gambaran mendalam tentang masyarakat Berg-Alfoeren (Alifuru) di Seram Barat. Membaca laporan Vries seperti menyusun kembali puzzle ingatan yang sengaja dipreteli. Kami menemukan bahwa Baileo bukan satu entitas tunggal. Ia memiliki banyak rupa dan fungsi. Sebagai: (1) Sisine héna (Baileo Desa), yang dalam proses pembangunan atau renovasinya kemungkinan memerlukan pengorbanan kepala (kop). Kepala yang dipenggal akan digantung di balok bubungan setelah prosesi tarian. (2) Sisine latoe: Baileo milik Latoe (kepala adat) yang juga memerlukan pengorbanan manusia saat pembangunannya. (3) Sisine anakota: Baileo milik pemimpin ritual utama (hoofd-maoewin). Ini adalah tempat musyawarah untuk semua urusan Kakihan dan sering menjadi alasan untuk mengadakan pesta Kakihan. (4) Sisiomine: Baileo yang digunakan khusus untuk merayakan aksi pemenggalan kepala (snellen).
Ritual-ritual yang menjadi bagian penting dalam proses pembangunan Baileo ini menjadi alasan utama campur tangan Pemerintah Kolonial untuk menghilangkannya. Vries dengan jelas menunjukkan bahwa Baileo-Baileo yang terkait dengan Kakihan dan praktik headhunting dilarang pembangunannya. Baileo Kakihan bahkan dilaporkan telah menghilang akibat kebijakan ini. Jika ada pelanggaran adat yang memerlukan ritual, masyarakat terpaksa membangun gubuk kecil di hutan sebagai pengganti Baileo yang dilarang.
Namun, larangan ini tidak mematikan praktik tersebut sepenuhnya. Kami menemukan laporan tentang upaya pembangunan Baileo yang terus berlanjut secara diam-diam. Pada Maret 1917, sebuah Baileo yang sedang dibangun di Honitetoe langsung dihentikan, meskipun Radja setempat mengklaim itu bukan Baileo Kakihan. Kemudian, pada Oktober 1917, sebuah Baileo Kakihan yang sebenarnya ditemukan tersembunyi dekat Hoekoe Anakota dan Watoei. Bangunan ini diduga kuat dibangun selama masa pemberontakan tahun 1915, yang menunjukkan resistensi masyarakat terhadap aturan kolonial.
Inilah gambaran awal yang kompleks dari Baileo di Pulau Seram. Ia bukan sekadar bangunan tua yang masih terpelihara dengan cantik di negeri-negeri adat Pulau Seram, Lease, dan Ambon. Ia adalah monumen yang menyimpan memori kolektif tentang kuasa, resistensi, dan sebuah peradaban yang berusaha bertahan di tengah tekanan, meninggalkan jejak yang bisa kita telusuri hingga detik ini.
Di era sekarang, bangunan ini masih tetap kokoh berdiri, kendati ritual-ritual yang disebutkan di atas sudah tidak lagi dipraktikkan saat pembangunan Kembali Baileo. Di Lease misalanya, saat Pembangunan Baileo, masing-masing mata rumah menyiapkan tiangnya sendiri, juga membawa serta pada proses pembangunan, atap, untuk menutup Baileo. Di Seram Selatan, semua mata rumah berpartisipasi dalam menurunkan tiang utama Baileo dari tempat keramat. Saat kemudian Baileo berdiri kokoh, semangat solidaritas turut berdiri dalam satu arsitektur yang luar biasa. Alih-alih sebagai bangunan, ia menjadi dokumen yang memiliki banyak halaman untuk dibaca. Ada gotong royong di sana, ada kesetaraan kosmik di sana, ada kesetaraan relasi di sana, ada nilai etis di sana.
Sejenak kita menemukan semacam ruang negosiasi budaya yang terjadi saat kemudian adat istiadat di Maluku bersentuhan dengan budaya baru. Mereka tidak anti peradaban, mereka melindungi identitas dan bergerak dalam kemajuan tanpa menghilangkan jati diri. Dalam seluruh kebersamaan itu, Baileo yang Tunggal di tengah bangunan modern menjadi rumah besar, atau dalam skala makro ia adalah pulau yang memberi kehangatan pada semua elemen.
Mungkinkah Baileo itu adalah Maluku yang pulau-pulau? ia ditopang oleh ribuan pulau, dari yang berpenghuni sampai tidak berpenghuni, yang kaya akan alamnya, manusianya dan budayanya. Pulau-pulau yang menyokong ke-Maluku-an dan hamparan maritim adalah arsitektur Baileo yang hendak dibaca diera sekarang. Apakah kemudian ada semacam panggilan etis untuk membangun Kembali, merawat atau ada indikasi lain yang berpotensi merusak.
Jika metafora ini kita terima, maka tanggung jawab besar pun mengikuti. Bagaimana kita merenovasi Baileo besar ini di zaman modern? Apakah dengan pembangunan infrastruktur yang mengabaikan kelestarian alam? Atau dengan mengikis nilai-nilai kearifan lokal, kita melupakan ritual perawatannya? Solidaritas yang dulu terwujud dalam gotong royong mendirikan Baileo, kini harus ditransformasi menjadi aksi kolektif untuk menjaga keseimbangan ekologi dan budaya di seluruh Maluku. Pertanyaannya bukan lagi apakah Baileo itu akan berdiri, tetapi bagaimana kita memastikan fondasinya—yaitu pulau-pulau dan masyarakatnya—tetap kokoh untuk generasi mendatang.
Dengan demikian, membaca Baileo hari ini bukan hanya tentang memahami arsitektur kayunya, melainkan tentang membaca peta pelestarian bagi seluruh Maluku. Setiap pulau yang terpelihara, setiap laut yang terjaga, adalah sebuah tiang baru yang kita tancapkan untuk membangun kembali makna ke-Maluku-an itu sendiri. Tantangan terbesarnya kini ada di pundak kita: akankah kita menjadi generasi yang merawat, atau yang merusak?
Metafora Baileo sebagai Maluku menemukan tantangan nyatanya di era Antroposen—zaman di mana aktivitas manusia menjadi kekuatan utama yang mengubah planet ini. Saat pulau-pulau di Maluku dirusaki oleh pertambangan yang mengobrak-abrik alam, itu sama artinya dengan merobek lantai dan mencabuti tiang-tiang dari Baileo besar kita. Ritual pengorbanan kepala mungkin telah berakhir, tetapi kini kita menyaksikan ritual pengorbanan alam dan manusia dalam wujud yang lain—demi kemajuan yang semu. Jika dulu pemerintah kolonial melarang Baileo karena dianggap ancaman, bukankah kini kita justru menghadapi ancaman yang lebih nyata terhadap fondasi peradaban kita sendiri? Merawat Baileo, dalam arti seluas-luasnya, adalah berhenti menjadi perusak dan beralih menjadi penjaga setiap jengkal pulau yang menyokongnya.
Dalam Dark Ecology Timothy Morton, hubungan kita dengan Baileo—dan dengan Maluku sebagai Baileo besar—adalah hubungan yang sinis. Kita paham betul bahwa pertambangan mengobrak-abrik pulau adalah sebuah kejahatan ekologis (hiperobjektivitas: kita melihatnya sebagai fakta mentah yang terukur). Namun, pengetahuan ini tidak berubah menjadi tindakan nyata yang berarti (hiposubjektivitas: kita sebagai subjek yang bertindak menjadi lumpuh, teralienasi dari dampak tindakan kita sendiri). Kita terjebak dalam loop sinis: “Saya tahu tambang ini merusak, tetapi...”— tetapi ekonomi, tetapi pembangunan, tetapi ini bukan urusan saya.
Dalam loop inilah, ritual pengorbanan kepala masa lalu justru lebih jujur; ia mengakui dengan brutal bahwa fondasi sebuah tatanan memerlukan pengorbanan. Sementara kita, dalam ritual pertambangan Antroposen, mengorbankan alam sambil pura-pura tidak melihat mayatnya—kita menutupinya dengan wacana CSR dan keberlanjutan yang justru semakin mengaburkan jejak darah ekologis kita. Pulau yang rusak adalah hiperobjek, yang hadir di mana-mana namun tak tersentuh, sementara kita, subjek-subjek yang hipo, berjalan di atas lantai Baileo yang retak, merasa asing di rumah sendiri.
Comments
Post a Comment